Monday, December 8, 2008

Pukulan Pada Pelipis Bisa Mengubah Cara Berpikir

SALAH seorang keponakan saya bertanya ke saya, mengapa saya begitu tidak menyukai pelajaran matematika. Saya jawab, “Om Anto baru mau belajar matematika kalau 1 + 1 bukan sama dengan 2, tapi bisa 1, 3, 10, atau 1 juta.”

Keponakan saya yang waktu itu masih kelas 4 sekolah dasar protes, “Ya, nggak mungkin, Om! 1 + 1 = 2. Udah pasti 2.”

“Om Anto nggak suka sama yang pasti-pasti,” kata saya, berkilah. “Satu kelompok beranggotakan 10 orang + 1 kelompok beranggotakan 20 orang = berapa?”

Keponakan saya ragu menjawabnya. “Dua kelompok?” Saya membenarkan, tetapi sekalian memberitahunya bahwa masih ada kemungkinan lainnya. “Menurut Om Anto berapa?” tanya keponakan saya.

“Sama dengan satu kelompok beranggotakan 30 orang. Kelompoknya kan ditambahkan, dan Om Anto pikir kenapa para anggotanya nggak bersatu aja daripada entar berantem.”

Keponakan saya memperlihatkan tampang seperti sedang menimbang-nimbang. Saya pun memberi soal berikutnya: “Satu pesawat yang bisa terbang tambah satu pesawat yang tidak bisa terbang sama dengan berapa pesawat?” Keponakan saya menjawab pasti, “Dua pesawat!”

Saya mengangguk-angguk. “Benar, sih, tapi masak ya cuman itu?! Menurut Om Anto, dua pesawat yang diparkir di ramp (bagian dari bandar udara yang digunakan sebagai tempat parkir pesawat yang sedang tidak bertugas), atau dua pesawat yang tidak bisa terbang setelah keduanya dipreteli dan diterbangkan oleh pesawat lain yang lebih besar.” Begitu banyak kemungkinan, mengapa harus terpatri pada satu jawaban yang benar?

Suatu saat, keponakan saya lainnya, adik dari keponakan yang tersebut pertama, mengejek saya yang, ia tahu, tidak suka dan tidak mengerti matematika. “Om Anto, jika sekian + n = sekian, berapakah "n"? Yee, nggak tau kan?!” Dia sendiri yang menjawab soal itu untuk mengejek saya.

Saya lantas berkata kepada keponakan saya itu, “Kalau kamu terdampar di tengah hutan setelah pesawat yang kamu tumpangi jatuh dan kamu satu-satunya yang selamat, gimana caranya "n" bisa bantu kamu?” Kontan wajahnya memimiki orang yang kena batunya.

“Anak-anak mulai bersekolah sebagai tanda tanya dan keluar sebagai titik,” ujar Neil Postman, seorang pendidik, yang kata-katanya dikutip oleh Roger von Oech dalam bukunya, Whack—Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer—Kelompok Gramedia, 2008). Dalam buku setebal 321 halaman ini, von Oech, yang merupakan pendiri dan direktur Creative Think, sebuah perusahaan konsultan berbasis di Menlo Park, California, yang mengkhususkan diri dalam kreativitas stimulatif, itu mengeritik model pendidikan selama ini, yang diterapkan baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang: siswa tidak diizinkan menciptakan jawabannya sendiri, melainkan dituntut untuk menebak pikiran guru. Akibatnya, anak-anak—yang sesungguhnya merupakan energi kreativitas tanpa batas—mewujud menjadi manusia-manusia yang tidak mampu menemukan solusi bagi masalah-masalah yang bakal mereka hadapi dalam hidup. Bagaimana "n", pengalian kuadrat, atau bilangan cacah bisa memberi bantuan bagi seorang anak yang terdesak di jalan buntu, sementara di belakangnya seekor anjing galak mengejarnya? Mungkinkah nilai 8,5 untuk pelajaran fisika di rapor bisa dipakai untuk mengatasi kesulitan akibat krisis global?

Hmm, bisa ya, bisa pula tidak. Tergantung dari apakah sang pemilik rapor bersekolah di sekolah yang selain memperkaya otak kiri juga melatih otak kanannya, atau tidak. Problema hidup biasanya membuat seseorang mampu berpikir secara berbeda, alias kreatif. Tulis von Oech di halaman 22 Whack, sesekali kita memerlukan "pukulan di pelipis" (a whack on the side of the head, judul asli buku ini) untuk melepaskan diri dari pola-pola rutin, untuk memaksa kita memikirkan ulang masalah-masalah kita, dan untuk merangsang kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bisa menuntun kita ke jawaban-jawaban benar lain. Pukulan memaksa kita—setidaknya untuk sementara waktu—untuk "memikirkan hal yang berbeda". Von Oech membuat "daftar pukulan" untuk memberi gambaran kepada pembaca, antara lain:
• Masalah atau kegagalan
• Lelucon atau paradox
• Kejutan atau keadaan tak terduga
• PHK
• Tugas dari guru dengan tenggat waktu yang ketat
• Pertanyaan-pertanyaan yang tidak terpikirkan sebelumnya, misalnya: Bila unta disebut "kapal di gurun", mengapa kapal tidak disebut "unta di lautan"?

Mencari jawaban yang berbeda untuk sebuah masalah bukan berarti "satu jawaban yang benar". Kita perlu membangkitkan sebanyak mungkin jawaban—yang benar menurut fokus perhatian Anda. Linus Pauling, seorang ahli kimia pemenang Nobel, seperti dikutip von Oech di halaman 40, berkata, “Cara terbaik untuk mendapatkan ide yang baik adalah mendapatkan banyak ide yang baik.” Von Oech menekankan bahwa mungkin kita tidak bisa menggunakan semuanya, tetapi dari sekian banyak ide yang kita bangkitkan, kita mungkin saja menemukan beberapa ide yang memang cukup berarti. “Inilah alasan mengapa para fotografer profesional menjepret berkali-kali saat memotret subjek yang penting. Mereka melakukan itu karena tahu bahwa dari sekian banyak foto yang mereka ambil, mungkin hanya beberapa saja yang mampu menangkap apa yang mereka harapkan,” tulis doktor "Sejarah Ide" lulusan Stanford University ini di halaman 40 bukunya.

Sekolah—sebagai lembaga pendidikan yang, meminjam istilah sejarawan besar Inggris, Arnold Toynbee, merupakan minoritas kreatif (creative minority) itu—justru mementingkan "satu jawaban yang benar". Sekolah, seperti ditulis oleh majalah Hati Baru, edisi Februari 2008, karena kebanyakan berada di tengah-tengah masyarakat, seyogianya memiliki kreativitas dan program untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Program sekolah tidak hanya mematuhi target program kurikulum pemerintah, tetapi juga harus bermanfaat bagi orang lain di sekitar sekolah. Di sini, sekolah memiliki tanggung jawab atas perubahan-perubahan positif di mana ia berada. Dengan kata lain, para siswa pun mesti punya lebih banyak "jawaban yang benar".

Di halaman 36, lulusan Phi Beta Kappa dari negara bagian Ohio, Amerika Serikat, itu menceritakan kisah seorang murid kelas satu SD yang memperoleh nilai jelek untuk pelajaran mewarnai gambar pemandangan. Nilai jelek diberikan oleh guru, karena si murid tidak mewarnai gambar dengan warna-warna yang sesuai: rumput diwarnai kelabu, dan langit diberi warna kuning. Si murid menjawab, “Sebab memang seperti itulah kelihatannya bila aku bangun pagi-pagi untuk melihat matahari terbit.” Nah lho, bagaimana tuh, Bu atau Pak Guru?

Orang kreatif rupanya identik dengan penentang aturan dan anti-kemapanan. Alastair Crompton dalam The Craft of Copywriting (Random House, 1987) mengajukan 10 Aturan Perak untuk membuat iklan yang hebat. Siswa sekolah periklanan atau penulis naskah pemula bakal bersorak gembira karena mendapat tuntunan kiat dari seorang maestro copywriting seperti Crompton bila saja mereka tidak disodori 1 Aturan Emas-nya: Lupakan semua aturan!

Pada tahun-tahun pertama karier saya sebagai copywriter, para senior saya mencekoki pikiran saya dengan aturan bahwa kepala naskah (headline) jangan diberi titik atau tanda seru bila berupa pernyataan. Ada yang bilang, boleh pakai titik jika badan naskah (bodycopy) ditiadakan. Ketika suatu saat saya telah menduduki kursi panas creative director, saya berpikir, “Inilah saatnya saya melanggar aturan.” Dan terpampanglah iklan cetak mungil di harian Kompas yang headline-nya menggunakan tanda koma—karena masih menyambung dengan muatan bodycopy. Seorang rekan sesama copywriter sempat mengeritik cara saya itu, tetapi dengan santainya saya jawab, “Orang kreatif biasanya melanggar aturan!”

Kita tak akan pernah bisa tahu apakah sesuatu benar adanya tanpa kita pernah berupaya mencari tahu dari sudut pandang yang berbeda, bahkan menantang aturan yang berlaku. Saat saya masih menjadi copywriter di sebuah biro iklan di bilangan Blok M, Jakarta Selatan, saya ketiban akun Danone Biscuits Indonesia. Suatu kali, saya tengah menggarap skrip iklan televisi buat biskuit Tuc Chicken & Cheese dari Danone, sambil mengudap biskuit Oreo rendah kalori produksi Nabisco USA. Kelakuan saya itu mengundang teguran dari managing director biro iklannya yang orang bule dan terkenal amat menyebalkan. Dia bilang, “How can you expect people will believe Danone is good if you otherwise snack on its competitor?” (Bagaimana kamu bisa membuat orang percaya kalau Danone itu bagus bila sebaliknya kamu mengemil produk pesaingnya?)

Dengan santainya, sambil terus menatap layar komputer dan terus mencomot biskuit Oreo dari kemasannya, saya menjawab, “I need to find a good reason why I should switch from this delicious Oreo to Danone that doesn’t taste good at all!” (Saya harus menemukan alasan yang bagus kenapa saya harus beralih dari Oreo yang enak ini ke Danone yang rasanya sama sekali tidak enak!)

Hindari jatuh cinta pada ide, tulis von Oech di halaman 88. “Saya telah melihat orang-orang yang tergila-gila pada pendekatan tertentu, sehingga tidak mampu melihat kebaikan pendekatan alternatif lainnya,” lanjut von Oech. Inilah yang disebut "sapi suci", katanya. Orang takut menantangnya. Sejarah perang dan pemasaran sarat dengan kisah kekalahan akibat penggunaan strategi yang sama berulang-ulang, dan bukannya menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam seni berperang dan teknik pemasaran.

Jawaban yang Benar dan Ikuti Aturan adalah dua dari sepuluh kunci mental yang diajukan Roger von Oech sebagai penyebab terhambatnya berpikir kreatif. Kedelapan kunci mental lainnya adalah:
• Tidak Logis
• Bersikaplah Praktis
• Bermain itu Tidak Penting
• Itu Bukan Bidang Saya
• Jangan Bodoh
• Hindari Ambiguitas
• Melakukan Kesalahan Adalah Keliru
• Saya Tidak Kreatif

Kesemua kunci mental itu dibahas oleh von Oech dengan gaya kocak dan melibatkan partisipasi aktif dari pembaca serta dibubuhi saran-saran untuk membuka kunci-kunci mental tersebut. Namun, tulis von Oech di halaman 21, salah satu anak kunci untuk membuka kunci-kunci itu adalah dengan belajar melepaskannya sejenak—mengosongkan cangkir mental kita. Anda sudah tahu bahwa Facebook merupakan sarana jejaring sosial. Kira-kira, menurut pemikiran kreatif Anda, untuk apa lagi ya Facebook itu, selain "daftar jawaban benar" yang telah disediakan oleh provider? Coba pikirkan deh tanpa hambatan aturan-aturan dan logika. Itu saran von Oech untuk berlatih berpikir kreatif sebelum Anda mendapat pukulan pada pelipis Anda.©


Jakarta, 8 Desember 2008

No comments: