Wednesday, December 17, 2008

Hidup Itu Adalah Pesta

"Hidup bukanlah pesta seperti yang kita harapkan, tetapi sementara kita di sini kita seharusnya berdansa."
--Anonim (dari www.quotationspage.com)


SAYA pernah bekerja pada sebuah biro iklan multinasional yang berbasis di Jakarta. Di situ seluruh karyawannya berpesta setiap hari. Jika menang pitching, manajemen dan segenap tim yang terlibat, termasuk office-boy dan office-girl--yang setia menemani ketika semua orang terpaksa lembur, mempersiapkan karya-karya hebat untuk dipresentasikan dalam rangka pitching--berpesta pora merayakan kemenangan di restoran mahal.

Sebaliknya, jika kekalahan yang mengetuk pintu biro iklan tersebut, semua orang menyambutnya santai dan kisahnya berlalu secepat kereta peluru Jepang, Shinkansen. Pestanya jalan terus. Creative director-nya, seorang bule, berkata ke saya yang waktu itu masih "hijau": "Tenang saja, kita masih punya banyak klien dan banyak lagi yang akan memakai kita."

Bekerja di biro iklan tersebut serasa berada di surga. Tidak ada pikiran yang terlalu berat untuk dipikul, karena kalah atau menang, pekerjaan disetujui atau ditolak klien, pada akhir bulan gaji tetap mengucur deras--dan semua orang kembali merayakan pesta.

Sebelas tahun setelah saya meninggalkan surga periklanan itu dan surga-surga lain yang ditawarkan perusahaan-perusahaan sesudahnya, saya bagaikan manusia pertama yang turun ke bumi: bingung, takut, menyesal, tidak tahu mesti berbuat apa, hingga akhirnya menyerahkan diri ke tangan Sang Kuasa.

Seorang saudara saya di jalan spiritual yang berprofesi art director mengatakan bahwa sejak ia menyandang predikat freelancer-lah ia mampu menangkap sinyal-sinyal tuntunan Tuhan, sedangkan ketika ia masih bekerja tetap pada sebuah perusahaan komunikasi pemasaran mata, telinga dan hatinya terbalut gaji bulanan. Walaupun kini ia kembali menjadi "orang gajian", sesuai masukan dari saudara kami di jalan spiritual ia menggenggam hati yang bebas dari ikatan apa pun, tetapi terus bergelayut pada tali bimbinganNya.

Seberapa mampu kita merayakan hidup ini? Apalagi di tengah kehidupan dewasa ini yang sedang diombang-ambingkan krisis global. Bagi orang yang pesimis, keadaan krisis membuat hidupnya seperti teka-teki silang: mendatar dan menurun. Sedangkan orang yang optimis memandang hidupnya bagaikan pesawat terbang yang selalu lepas landas, mendarat untuk isi bahan bakar atau untuk perbaikan teknis, lantas kembali mengudara.

Kenyataan bahwa hidup menyajikan masalah memang tidak bisa dipungkiri. Tidak perlu pula kita mengganti pikiran, seolah masalah itu tidak ada. Terima saja kenyataan itu, karena toh kita hidup untuk saat sekarang, kata Eckhart Tolle dalam bukunya, The Power of Now--Pedoman Menuju Pencerahan Spiritual (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006). "Saat sekarang" yang dimaksud Tolle adalah keadaan hidup yang sangat kuat yang bebas dari waktu, bebas dari masalah, bebas dari pikiran, bebas dari beban kepribadian itu. Tolle menganjurkan kita menghadapi masalah itu, bukannya menganggap bahwa seolah masalah itu tidak ada, atau malah kabur dari masalah. Sikap berserah diri--gagasan yang pertama kali saya peroleh di Subud, tetapi ternyata merupakan makna dari kata "islam"--dianjurkan oleh Tolle, agar kita mampu berdansa dengan masalah dan merayakan hidup. Penyerahan diri, tulis Tolle di halaman 78 bukunya, bukanlah bentuk kelemahan; ada kekuatan besar di dalamnya. Hanya orang yang berserah dirilah yang memiliki kekuatan spiritual. Melalui penyerahan diri, kita akan bebas secara batiniah dari masalah. Kemudian kita akan melihat situasi itu berubah tanpa upaya apa pun dari pihak kita. "Bagaimanapun, Anda bebas," tandas Tolle.

Pengalaman saya bertutur, masalah--yang merupakan kawan perjalanan saya sejak menjadi freelancer--justru merupakan buah ranum yang menjanjikan aneka rasa. Masalah merangsang energi kreatif saya, memompa semangat guna sintas (survive), dan mempererat kontak batin saya dengan Tuhan. Saya belajar mengasah kepekaan rasa, kreativitas serta intelektualitas dari tingginya intensitas kekecewaan, kemarahan, ketakutan, kecemasan, kesedihan maupun kegembiraan dan kesuksesan yang datang silih berganti, mengisi hari-hari saya yang secara sengaja membebaskan diri dari zona kenyamanan selaku "orang gajian".

Kepekaan rasa menajamkan intuisi saya -- yang memampukan saya menangkap peluang-peluang maupun pengetahuan yang menambah wawasan, dan menyelaraskan serta melanggengkan hubungan saya dengan orang lain (karena saya dapat merasakan dirinya, bahkan dimampukan Gusti Allah untuk dapat menangkap maksud-maksudnya sebelum yang bersangkutan pernah menyampaikannya). Saya yakin Tuhan punya rencana untuk saya. Daripada saya bersusah-payah menebak-nebak apa maksudNya, lebih baik saya serahkan diri ke dalam tuntunanNya saja, menjadikan diri saya air yang mengalir mengikuti alur sungai yang bermuara ke samudra makna. Lengkap sudah predikat freelancer yang saya sandang: bebas lahir-batin!

Masalah membuat hidup seseru pesta. Saya pernah menginap selama seminggu di rumah paman saya yang terletak di lereng gunung yang berhawa sejuk dan berpemandangan indah. Empat hari pertama, dengan kegiatan saya yang hanya makan-tidur-cuci mata, berlalu menyenangkan. Memasuki hari ke-5 hingga ke-7 saya sudah berubah layaknya penduduk setempat yang sudah terbiasa dengan kesejukan hawa dan keindahan pemandangan dari lingkungan tempat tinggalnya, bahkan mungkin jenuh. Jika saat itu kawan saya di Jakarta tidak menelepon untuk suatu pekerjaan yang tenggat waktunya mendesak, yang memaksa saya pontang-panting mencari warnet dan kemudian memeras pikiran agar pekerjaan tersebut dapat diselesaikan dengan cepat, saya akan memutuskan untuk mempersingkat liburan saya. Dari pengalaman itu saya beroleh kesadaran bahwa manusia harus senantiasa mengaktifkan dirinya, melestarikan energi hidupnya. Kesukacitaan berlarut-larut tidak akan banyak membantu kita.

Bagi saya, masalah merupakan alarm--cara Tuhan untuk memberitahu saya agar singgah sejenak di pemberhentian untuk merenung, mengosongkan cangkir mental saya. Kita membutuhkan kemampuan untuk belajar melepaskan apa yang telah kita ketahui, tulis Roger von Oech di halaman 19 Whack--Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008). Tanpa kemampuan untuk melupakan sejenak apa yang telah kita ketahui, benak kita akan tetap dipenuhi dengan jawaban-jawaban siap pakai, dan kita takkan pernah mendapat kesempatan untuk membawa diri kita keluar dari jalan yang lazim atau kemandekan, menuju arah-arah yang baru. Dengan demikian, masalah membuat kita senantiasa sadar bahwa sesungguhnya hidup ini patut dirayakan setiap hari.©



Jakarta, 17 Desember 2008

No comments: