Sunday, December 7, 2008

Mengukur Syukur

"Tuhan, berilah aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tak dapat ku ubah; keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat ku ubah; dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya"
--Karl Paul Reinhold Niebuhr (1892-1971), Serenity Prayer

"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
--QS al-Jumu'ah [62]: 10


KAWAN saya mempunyai cita-cita yang nyeleneh sejak remaja. Ia ingin menikah dengan wanita yang berbeda agama darinya. Kawan saya itu beragama Islam. Saya pernah menanyakan dia, bagaimana, seandainya jodohnya beragama Islam juga. "Bukankah urusan jodoh berada di tangan Tuhan?" ujar saya kepada kawan yang sesungguhnya berasal dari keluarga Muslim dan di antara kerabatnya belum pernah terjadi perkawinan antar-agama itu.

Kawan saya itu mengakui kebenaran bahwa jodoh itu diatur oleh Tuhan, tetapi ia yakin pula bahwa Tuhan pun memperkenankan hamba-hambaNya untuk mengubah apa yang dapat diubah. Ketetapan Tuhan, yang kita kenal sebagai takdir, menurut Agus Mustofa dalam bukunya, Mengubah Takdir (Surabaya: Padma Press, 2005), digambarkan oleh dua kata: qadar dan qadla. Kedua-duanya bermakna "ketetapan", tetapi memiliki nuansa yang berbeda. Qadar bermakna ketetapan yang ditentukan sepenuhnya oleh Tuhan, tanpa bisa diganggu gugat. Sedangkan qadla adalah ketetapan Tuhan yang ditentukan berdasarkan usaha tertentu.

Sebagai contoh, saya ambil kawan saya itu. Ia dilahirkan sebagai seorang laki-laki, lahir dari orang tua yang berkebangsaan Indonesia dan beragama Islam. Dia terlahir dengan bentuk fisik dan kemampuan intelektual tertentu, dan seterusnya. Itulah yang disebut qadar, ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah, tidak bisa dipilih oleh yang bersangkutan. Sepenuhnya bergantung pada kehendak dan ketentuan Tuhan dan telah terjadi dalam urutan waktu sebelumnya.

Kawan saya itu akhirnya menikah dengan wanita yang seagama. (Saya menghindari penggunaan kata "seiman", karena iman merupakan urusan hati dan walaupun dua orang satu dalam agama belum tentu kadar imannya sama.) Ia sungguh mencintai wanita itu. Itu kenyataan yang tak sanggup ia ubah. Tetapi ia masih tetap berkeyakinan bahwa apa yang pernah dicita-citakannya semasa remaja bisa terwujud. Ia berani mengubah apa yang dapat ia ubah: dirinyalah yang kemudian mengganti agamanya. Istrinya, yang mampu bersikap sabar dan tawakal terhadap keputusan suaminya, bisa menerimanya, karena sang istri yakin Tuhan yang disembah umat berbagai agama pada hakikatnya Tunggal adanya. Hingga kini rumah tangga kawan saya itu tetap harmonis, yang bagi saya merupakan bukti bahwa Tuhan memperkenankan kehendakNya diubah oleh ciptaanNya.

Meskipun seseorang terlahir dengan tidak bisa memilih kondisinya sendiri, lanjut Agus Mustofa, bukan berarti qadar terjadi tanpa melibatkan hukum sebab-akibat (istilah Buddhisme-nya pattica sammupada). Qadar adalah takdir Tuhan atas peristiwa-peristiwa sebelumnya, yang dilakukan oleh orang tua kita, atau orang lain. Yang berusaha adalah orang tua kita, dipadu dengan berbagai faktor penyebabnya, hasilnya adalah takdir kita. Jadi, tandas Agus Mustofa, qadar adalah takdir Tuhan yang usahanya tidak melibatkan kita. Kita tinggal menerima saja...

Tetapi manusia hakikatnya diberi kebebasan untuk mengubah qadar menjadi takdir, yaitu lewat usaha. Qadar adalah ketetapan awal berupa kapasitas. Qadla adalah usaha. Pada benda mati, takdir Tuhan hanya berupa kapasitas. Sekarang Anda rasakan sendiri, deh: Anda benda mati atau bukan?

Mengubah apa pun yang bisa diubah membutuhkan usaha dan keberanian untuk berusaha. Upaya mengubah sama sekali bukan anti-tesis dari sikap bersyukur. Kata "syukur", jelas HM Asjwadie Sjukur Lc., dalam Ilmu Tasawwuf Jilid 2 (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979), berarti "berterima kasih". Hakikat syukur ialah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan kepada kita yang dibuktikan dengan segala usaha kita untuk menemukannya dalam hidup ini.

Bukankah Tuhan yang menentukan hasil akhirnya? Memang benar demikian. Tetapi bagaimana kita akan bisa tahu bila kita tidak menggerakkan usaha apa pun dalam rangka mewujudkan apa pun yang ingin kita capai atau ubah? Acap kali bila kita gagal kita cenderung menganggap bahwa apa yang kita kehendaki itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, dan sikap (yang dianggap) tepat yang mesti kita ambil adalah pasrah menerima kenyataan. Anggapan dan sikap itu sama sekali keliru. Utamanya karena kita mematok waktu. Jika dalam 10 tahun bisnis kita tidak berkembang, kita lantas menganggap bahwa bisnis itu tidak tepat bagi kita--dan kita anggap bahwa itulah nasib yang Tuhan tetapkan. Padahal Tuhan sendiri tidak dibatasi ruang dan waktu.

Waktu adalah ilusi, yang bahkan tidak menjadi perhatian saat kita sibuk berikhtiar untuk mewujudkan cita-cita. Tahu-tahu, sudah terwujud. Ikhtiar jangan sampai dibatasi target waktu dan ruang. Berapa pun masa yang berlalu, bila kita tetap pada jalur usaha kita, pada akhirnya akan mewujud.

Kisah kawan saya tersebut di muka barangkali merupakan contoh yang ekstrem dari sikap bersyukur. Kita selalu saja menganggap bahwa syukur itu bisa diukur dari derajat penerimaan seseorang terhadap apa pun yang diterimanya, tanpa pandang bulu, tanpa sikap kritis dan kreatif (ijtihad). Padahal tidak demikian halnya. Kita boleh mengubah apa pun ketetapan Tuhan yang dapat diubah. Bukan sekadar mengubah paradigma terhadap keadaan yang kita alami--misalnya, ekspresi gagal itu adalah sukses yang tertunda--tetapi kita bahkan akan diberi jalan oleh Tuhan untuk mengubah arah dan tujuan hidup kita. Bukankah sesungguhnya Tuhan tidak mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri?

Mengubah apa pun yang telah menjadi ketetapanNya bukan berarti tidak mensyukuri. Ada ketetapanNya yang memang tak dapat diubah, yaitu yang disebut preseden (ketetapan terdahulu), seperti kenyataan bahwa kita tidak bisa hidup di dalam air, karena tubuh kita tidak dilengkapi mekanisme untuk bernapas di dalam air sebagaimana halnya ikan. Atau kebenaran ilmiah bahwa matahari merupakan pusat tata surya kita. Itu semua tak dapat diubah.

Namun ada banyak hal dalam hidup kita yang bisa diubah, bila kita menghendaki pertambahan nilai atasnya, atau merasa bahwa kita bisa lebih baik lagi. Tindakan itu bukan berarti tidak mensyukuri, melainkan malah menambah nilai dari ketetapan Tuhan. Kita memiliki presedenNya bahwa pada diri kita terkandung potensi yang berlimpah. Seringkali kita tidak menyadari keberlimpahan potensi yang kita miliki.

Pengalaman saya menuturkan, diri saya bermuatan potensi untuk menuangkan gagasan ke dalam tulisan sebagai media penyampai pesan, sehingga saya pun menjadi penulis naskah iklan. Seiring perjalanan waktu, di mana saya berpapasan dengan pelbagai pengalaman yang mengajarkan saya tentang dunia komunikasi pemasaran yang tidak terbatas pada periklanan saja, saya mencoba merengkuh bidang-bidang lainnya yang masih berada di dalam lingkup industri komunikasi. Alhasil, sejumlah potensi, yang belakangan baru saya ketahui bahwa saya memilikinya, mendapat kesempatan untuk diaktualisasi. Hal itulah yang mendorong saya untuk menjangkau wilayah di luar keahlian profesional yang telah saya geluti selama hampir 15 tahun. Sebagian rekan maupun kerabat menganggap saya tidak mensyukuri nikmat yang saya peroleh dengan menjadi copywriter. Sedangkan saya merasa, bahwa orang yang tidak mengaktualisasi potensi-potensi yang dimilikinyalah yang tidak mensyukuri nikmat Tuhan.

Bila kita tidak memiliki keberanian untuk mengubah apa yang dapat kita ubah--karena khawatir "salah arah", takut terhadap sikap negatif masyarakat, cemas bilamana tindakan itu malah menimbulkan penderitaan--sesungguhnya kita tidak mengakui kebenaran karunia Tuhan, tidak mensyukuri nikmatNya yang terhampar di sekitar kita. Menyia-siakan segala macam kenikmatan di muka bumi berarti tidak mensyukuri segala nikmat Tuhan. Keberanian untuk mengubah apa yang dapat kita ubah itulah tolok untuk mengukur syukur.©



Jakarta, 7 Desember 2008

No comments: