SEBUAH acara digelar Pengurus Nasional (Pengnas) PPK Subud Indonesia di kantin Guesthouse Wisma Subud Cilandak pada Minggu, 16 Oktober 2022, pukul 12.30 sampai selesai. Bertajuk “Ngobrol Sama PP”, acara yang diperuntukkan anggota Pemuda itu mengetengahkan tema-tema yang akrab dengan dunia anak muda dewasa ini: Bakat, karir dan percintaan.
Mengacu pada tajuk acaranya, sudah tentu para pembantu pelatih (PP) pria dan wanita Cabang Jakarta Selatan hadir, tetapi semua anggota boleh tampil berbicara di depan publik, menyampaikan unek-unek, pandangan, pendapat, maupun pengalaman terkait ketiga tema tersebut. Dipandu Ketua Umum Pengnas, yang menunjuk sejumlah anggota dan PP untuk bergantian tampil di depan.
Saya bukan pemuda (meskipun tidak jarang dianggap demikian oleh para senior Subud), tetapi saya hadir lantaran diajak untuk “iseng saja” menghadirinya. Yang mengajak adalah satu saudara Subud yang saat ini tengah menjalani masa kandidatan calon PP di Cabang Jakarta Selatan. Saya tidak mempersiapkan apa pun untuk hadir di acara tersebut; lagipula saya datang ke Wisma Subud untuk menemukan ketenangan, lantaran saat itu saya lagi berpuasa hari ketujuh (dari sembilan hari).
Tak dinyana, saya pun ditunjuk Ketua Umum Pengas untuk tampil ke depan, menyampaikan apa pun yang ingin saya sampaikan. Beberapa orang yang sudah tampil sebelum saya, baik PP maupun anggota, saya perhatikan, rata-rata bersikap canggung ketika berbicara di depan umum. Mereka terbebani pikiran sendiri bahwa mereka tidak berbakat untuk public speaking. Satu anggota melakukannya dengan baik karena ia berpengalaman sebagai presenter di sebuah stasiun televisi swasta dan kerap didaulat sebagai pembawa acara (master of ceremony/MC).
Saya melangkah ke depan, menerima mikropon nirkabel dari Ketua Umum Pengnas, dan mulailah saya berbicara. Tidak terbata-bata, bahkan menyisipkan lelucon-lelucon terkait bakat, karir dan percintaan. Tidak ada yang saya rencanakan sebelumnya–datang ke acara tersebut juga di luar rencana saya. Usai berbicara, saya kembali ke kursi saya, diiringi suara Ketua Umum Pengnas yang berkata, “Kalau penulis, paparannya benar-benar hebat, bisa menjadi inspirasi.”
Bagaimanapun, komentar tersebut menambah keheranan saya, seolah diperlukan bakat atau kebiasaan untuk tampil prima dalam hal public speaking.
Seorang PP wanita, yang juga tampil pada hari itu, pernah mengatakan ke saya bahwa dirinya tidak percaya diri bila berbicara di depan umum. Ia selalu menderita demam panggung bila berdiri di depan umum untuk berbicara. Saudara Subud yang saat ini sedang melalui masa kandidatan sebagai calon PP juga mengungkapkan hal yang sama, padahal sebagai chief executive officer (CEO) dari perusahaan berbasis bisnis kuliner ia harus sering mempresentasikan mengenai bisnisnya kepada para calon investor atau mitra. Ia selalu berkeringat dingin dan terbata-bata bila berbicara di depan umum.
Sesulit itukah public speaking?
Kalau saya mengatakan bahwa public speaking itu mudah, saya pasti didebat dengan pernyataan bahwa saya sudah biasa melakukannya, karena bagi mereka yang tahu, pekerjaan saya sebagai praktisi komunikasi mengharuskan saya untuk sering mempresentasikan ide-ide atau pekerjaan kreatif yang telah dipesan klien-klien saya. Namun, sebenarnya, hal itu tidak sepenuhnya benar. Paling tidak sebelum saya menerima Latihan Kejiwaan.
Awal dari kemampuan saya berbicara di depan umum secara baik adalah ketika saya harus mempresentasikan delapan konsep iklan cetak pesanan Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF) di Surabaya, pada Agustus 2003. Pikiran saya sudah telanjur dihantui persepsi mengenai direktur utama YDSF yang killer dan sangat teliti, yang “ditanamkan” oleh mitra kerja saya yang turut hadir pada presentasi tersebut.
Mitra kerja saya itu adalah pemilik biro iklan yang memiliki YDSF sebagai salah satu kliennya, dan beliau itu (kelak saya mengetahuinya demikian) juga seorang PP dari Subud Cabang Surabaya.
Memasuki ruang rapat di kantor YDSF, saya berkata kepada mitra kerja saya, “Mas, nanti sampeyan ya yang presentasi. Aku suka nggak pede.”
Tetapi mitra kerja saya menolak dan berkata, “Kamu saja. Kamu bisa melakukannya dengan baik kalau pakai bimbingan Tuhan. Kamu tenangkan diri, dan mohon pada Tuhan agar diberi petunjuk.”
Saat itu, saya belum tahu apa pun tentang Subud dan Latihan Kejiwaan, bahkan belum ngandidat, tetapi saya ikuti saran dari mitra kerja saya, meskipun saya agak bingung dengan konsep “menenangkan diri”. Duduk di sebelah kiri mitra kerja saya, saya pun memejamkan mata dan berdoa, memohon petunjuk Tuhan agar saya dimampukan untuk melakukan presentasi dengan baik.
Tiba-tiba, saya merasakan suatu kehadiran di sebelah kiri saya; sebuah sosok tak tampak tetapi terasa besar sekali, maha besar! Ia merangkul saya dan “berkata” lembut, dengan penuh kasih, “Percayalah padaku, kamu bisa melakukannya. Ikuti saja, tidak usah berpikir. Sekarang, bicaralah!”
Saya kemudian membuka mata dan melihat Managing Director YDSF memasuki ruang rapat dan tanpa basa-basi meminta kami mempresentasikan konsep-konsep iklan cetaknya. Saya pun mulai berbicara. Satu per satu layout iklan cetak saya presentasikan, saya paparkan ide dasar dari visual dan copywriting-nya. Yang saya amati saat itu, dan membuat saya takjub, adalah bahwa saya tidak berpikir sama sekali dan mulut saya cuap-cuap tanpa saya memiliki kendali atasnya.
Di akhir presentasi saya, sang Managing Director mengatakan bahwa ia sangat terkesan dengan pekerjaan kami. Saya tidak bereaksi atas pujiannya, karena saya masih terhipnotis oleh fakta bahwa saya mampu melakukan presentasi itu tanpa didukung oleh pikiran saya, melainkan oleh sesuatu yang bahkan tidak saya pahami itu apa.
Jantung saya sempat terhenti, dan diliputi kecemasan, begitu melihat direktur utama YDSF memasuki ruang rapat dan memeriksa satu per satu konsep iklan cetak yang saya presentasikan. Ia mengangguk-angguk dan berkata singkat dan rada ketus, “Bagus nih. Oke, lanjutkan!”
Si direktur utama kemudian meninggalkan ruangan. Saya bernapas lega, tetapi saat yang sama mendapat pemberitahuan dari dalam: “Pikiranmu, itulah yang selalu menghambatmu dalam berbuat, berkata-kata dan merasakan. Pikiranmulah yang menerormu dengan ketakutan, kecemasan, kepercayaan bahwa kamu tidak bisa.”
Meninggalkan kantor YDSF, mitra kerja saya mengajak saya makan bakso di seberangnya. Di warung bakso itulah mitra kerja saya memberi tahu saya bahwa apa yang saya alami dalam presentasi itu adalah apa yang sering ia alami sejak berlatih kejiwaan Subud. Ia menganjurkan saya untuk selalu menenangkan pikiran saya—menurutnya, saya tipe orang yang terlalu sering berpikir, termasuk memikirkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak berguna.
Sejak
itu, terlebih sejak saya dibuka di Subud, tampil berbicara di depan umum atau public
speaking bukanlah sesuatu yang sulit bagi saya. Cukup dengan menenangkan
pikiran, memohon petunjuk Tuhan; alih-alih mempersiapkan pikiran saya dengan
apa-apa yang ingin saya sampaikan, lebih baik jika saya mempersiapkan diri
untuk menerima bimbinganNya.©2022
Bumi Indraprasta 2, Kota Bogor, Jawa Barat,
22 Oktober 2022
No comments:
Post a Comment