Tuesday, October 4, 2022

Kejiwaan dan Jenis Kelamin

HARI Minggu pagi, 2 Oktober 2022, saat berada di Hall Latihan Cilandak, saya berjalan ke arah teras selatan setelah mendengar dari seorang pembantu pelatih (PP) pria bahwa ada empat mahasiswi dari program studi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIBUI) sedang ditemui dua PP pria lainnya. Keempat mahasiswi itu tengah meneliti Subud untuk tugas matakuliah Religi Jawa.

Saya menjumpai empat mahasiswi itu duduk di bagian dari teras selatan Hall Cilandak yang tiap hari Minggu pagi dijadikan tempat tatap muka bagi para anggota baru pria dan beberapa PP yang ditugaskan untuk melayani mereka. Tetapi hari Minggu, 2 Oktober 2022, jadwal tatap muka ditiadakan lantaran ada Latihan Dunia jam 10.00 WIB. Menghadapi keempat mahasiswi Angkatan 2019 itu adalah dua PP pria yang saya kenal baik. Mereka memanggil saya untuk bergabung, karena mereka tahu bahwa saya alumnus Fakultas Sastra UI (pendahulu FIBUI), meskipun saya dari Jurusan Sejarah. Saya tak menampik ajakan mereka dan duduklah saya di sebelah mereka.

Dari yang saya dengar, penjelasan kedua PP pria itu adalah mengenai aspek organisasi Subud dan bahwa praktik utamanya adalah Latihan Kejiwaan, namun tidak dijelaskan apa itu Latihan Kejiwaan, karena hal itu merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dijabarkan. Untuk mendapatkan pengertian tentang apa itu Latihan Kejiwaan, seseorang harus dibuka dan mengalaminya sendiri. Analogi yang sering digunakan adalah minuman atau makanan, misalnya kopi. Merupakan hal yang sangat sulit untuk memberi penjelasan lisan maupun tulisan yang memuaskan mengenai rasa kopi; Anda harus meminumnya untuk mengetahui rasanya. Untuk urusan makanan atau minuman, rasa melampaui kata.

Karena harus bertugas, kedua PP pria itu mohon diri dan karena keempat mahasiswi tersebut masih ingin mendapatkan informasi lebih lanjut, saya menyediakan diri untuk diwawancarai. Saya bercerita tentang sejarah dan keorganisasian Subud serta beberapa pengalaman kejiwaan yang pernah saya lalui sebagai contoh atau representasi dari Latihan Kejiwaan yang tidak ada teorinya itu.

Belakangan, lama setelah saya berpisah dari keempat mahasiswi itu, saya ditimpa masalah yang “menyebalkan”: Setelah saya memposting foto dan sedikit cerita tentang pertemuan saya, kedua PP pria tadi dan keempat mahasiswi tersebut, di grup WhatsApp (WA) “Subud 4G” serta di linimasa Facebook dan Instagram saya, rupanya ada satu oknum PP yang mengadukannya ke PP Daerah Wanita Jakarta Selatan, yang kemudian, tanpa mengonfirmasi terlebih dahulu ke saya, langsung me-repost di grup WA PP Jakarta Selatan dengan dakwaan “pelanggaran terhadap petunjuk Bapak” terkait penerangan kepada kandidat oleh PP yang berbeda jenis kelamin.

Selain membuat sebagian PP lainnya dari Cabang Jakarta Selatan “menyidang” kedua PP pria tadi, sang PP Daerah Wanita Jakarta Selatan juga meminta agar para PP pria melakukan pembinaan atas diri saya, dengan alasan “outrageous behaviour” (perilaku yang memalukan) yang ditunjukkan dalam postingan saya di media sosial. Screenshot dari postingan saya di Facebook, yang ia nilai sebagai memalukan, pun ia edarkan di antara para PP Cabang Jakarta Selatan.

Saya memahami dan selama ini saya mematuhi petunjuk tersebut, meskipun saya bukan pembantu pelatih. Tetapi petunjuk tersebut berlaku untuk PP kepada kandidat dan anggota. Keempat mahasiswi tersebut bukan kandidat apalagi anggota Subud, melainkan peneliti akademik berbekal informasi keliru bahwa Subud adalah sebuah aliran kebatinan Jawa atau Kejawen—yang mana harus saya luruskan. Jadi, saya maupun kedua PP pria itu sejatinya tidak melanggar petunjuk dari Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo.

Dalam ceramah di Manchester, Inggris, pada 13 April 1967 (kode rekaman: 67 MAN 4), Bapak mengatakan antara lain, “Dalam meninjau sesuatu atas pertanyaan yang telah diajukan sebagaimana yang telah Bapak juga umumkan, bahwa pertanyaan yang dari kaum wanita harus dilakukan oleh para pembantu pelatih wanita, dan pertanyaan yang diajukan oleh saudara pria harus dijawab dan ditinjau oleh saudara pria. Apa sebab demikian, saudara? Karena kedua jenis kelamin—meskipun saudara anggap dan rasa tidak apa-apa—tetapi dalam kesungguhannya satu demi satu, atau antara satu dari kedua, terisi hal-hal yang maha rahasia. Oleh karena itu, maka sebaiknya peninjauan untuk wanita dilakukan oleh wanita dan pria dilakukan oleh pria sebagai yang telah Bapak umumkan.”

Cuplikan ceramah ini sudah sangat jelas menandaskan bahwa penerangan dan peninjauan (testing) tidak boleh dilakukan oleh pria kepada lawan jenisnya, dan sebaliknya. Tetapi, merujuk pada kata “peninjauan”, yang berarti ditujukan kepada kandidat atau anggota, dan karena itu berlaku hanya dalam penerangan yang bersifat kejiwaan, bukan dalam aspek keorganisasian atau hal-hal umum lainnya.

Tanpa mengurangi hormat saya kepada Bapak, saya ingin sampaikan melalui artikel ini bahwa “kejiwaan”, menurut yang saya alami selama ini, sejatinya meliputi segala sesuatu, termasuk hal-hal yang dipandang “non-kejiwaan”. Ketika seseorang dibuka dan rajin melakukan Latihan Kejiwaan, otomatis isi dirinya hidup dan meliputi segala sesuatu pada dirinya, lahir maupun batin.

Contohnya sudah cukup banyak. Salah satunya adalah yang terjadi tahun 2007 di tempat saya bekerja dahulu, sebuah firma kehumasan di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Seorang karyawati mendatangi saya di ruang kerja saya—waktu itu, saya menjadi Executive Creative Director di firma itu—untuk menyampaikan job request dari atasan kami. Ia duduk di sebelah saya yang tengah sibuk mengetik naskah di komputer. Saya minta ia menunggu sebentar sebelum menyampaikan taklimat mengenai pekerjaan yang diminta oleh atasan kami, karena saya sedang asyik menuangkan ide ke dalam tulisan.

Tiba-tiba, si karyawati menangis sesenggukan. Saya kaget, tidak mengerti, karena kami tidak sedang berkomunikasi. Saya tanya dia, ada apa, kok menangis? Dia mengutarakan bahwa dia merasakan kedamaian ketika duduk di sebelah saya dan hal itu membuatnya teringat pada almarhum ayahnya, yang kematiannya sulit ia terima, sehingga membuatnya menderita insomnia selama delapan tahun sejak ayahnya wafat.

Penasaran dengan apa yang saya miliki, yang telah memberinya rasa damai, ia pun meminta penjelasan. Saya hanya memberi tahu bahwa saya ikut Subud dan bila ia ingin tahu lebih banyak atau tertarik masuk Subud saya akan mengenalkannya ke PP wanita atau anggota berjenis kelamin perempuan untuk memberi penerangan di ranah kejiwaan. (Hanya sehari setelah berbicara dengan anggota Subud berjenis kelamin perempuan, dan belum dibuka, insomnianya teratasi dan ia bisa tidur nyenyak.)

Pengalaman lainnya terjadi pada tahun 2010. Saat itu, saya dinasihati seorang saudara Subud yang lebih senior (dibuka tahun 1968) agar saya jangan memposting hal-hal bernuansa kejiwaan di akun Facebook saya, karena tampaknya, menurut beliau, itulah sebabnya pada saat itu saya “diburu” kaum berjenis kelamin perempuan. Saya mengikuti nasihat beliau, dan sebagai gantinya saya pun kerap memposting foto dan cerita seputar perkeretaapian. Apakah hal itu mengubah keadaan? Sama sekali tidak! Banyak wanita malah jatuh cinta pada sosok saya sebagai “pria dewasa yang berjiwa anak kecil karena suka kereta api”.

Lalu, dalam obrolan-obrolan saya dengan para anggota Subud berjenis kelamin perempuan, bukan tentang kejiwaan, melainkan tentang berbagai hal yang sifatnya umum, seperti kuliner, kereta api, sejarah, film, musik, branding, pekerjaan, dan lain-lain, ternyata tetap berdampak seperti yang diungkapkan oleh cuplikan ceramah Bapak di atas.

Ketika saya ceritakan mengenai fenomena itu kepada seorang PP senior, dia mengatakan, sambil tertawa, “Ya, mau gimana lagi? Kamu kan dalamnya sudah hidup, pasti yang berbicara dengan kamu akan kena setrummu. Masak kamu mau terus-terusan diam membisu atau menjauhi lawan jenis?”

Datangnya Latihan Kejiwaan pada diri seseorang tidak dapat diduga atau diniatkan, dan tidak pula bisa dikendalikan dengan kehendak akal pikir dan nafsu. Ketika saya berbicara atau menulis, Latihan mengisi diri saya, dan energinya dapat inggap pada lawan bicara atau pembaca tulisan saya, tanpa saya kehendaki. Paling banter yang bisa saya lakukan adalah membentengi diri saya dengan kesadaran akan etika kesusilaan—yang sejatinya juga merupakan bimbinganNya.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 4 Oktober 2022

No comments: