JAM 05.00 pagi ini, 19 Oktober 2022, saya baru meninggalkan Cuko Coffee & Eatery—kafe milik pasangan suami-istri anggota Subud Jakarta Selatan di bilangan Jl. Kebagusan, Pasarminggu, Jakarta Selatan, setelah bertiga dengan Machrus (pemilik Cuko) dan Rudi (bukan nama sebenarnya; anggota Pemuda Subud Jakarta Selatan) melayani kerabat dari Machrus yang seorang agnostik, yang telah menyatakan minatnya masuk Subud.
Saya tadinya mau pulang duluan, usai Latihan dan nongkrong lagi sampai jam 03.00an, karena toh si peminat lebih tertarik pada Rudi dan Beni (bukan nama sebenarnya; anggota Pemuda Subud Jakarta Selatan). Tetapi jiwa saya menyuruh saya tetap duduk, shut up and listen. Jadi, saya duduk dengan rileks di belakang salah satu meja kafe, berseberangan si peminat itu.
Sebagai agnostik, dia mengoceh saja terus tentang alam semesta, tentang keyakinannya pada kebenaran pemikiran-pemikiran Newton, Darwin, Spinoza, dan lain-lain, dan menafikan kaum kreasionis (sebagaimana dalam agama-agama Abrahamik, kreasionisme adalah kepercayaan bahwa manusia, kehidupan, bumi, dan seluruh jagat raya mempunyai asal-usul secara ajaib, yang dihasilkan oleh campur tangan adikodrati yang maha tinggi yang umumnya disebut “Tuhan”). Jiwa saya membuat saya nyaman duduk selama dia mengoceh; saya tidak membantah atau mendebatnya. Saya heran pada diri saya, kok bisa rileks dan diam. Sampai satu saudara Subud bilang, “Fin, tumben lo diem aja?”
Saya tersenyum saja, tidak terusik dengan ucapan saudara Subud itu.
Lalu, masuklah si peminat pada pembahasan tentang Pak Subuh dan Subud dari kacamatanya sebagai “orang luar”. Dari dalam, saya diperintahkan kapan harus meresponsnya, dan kapan harus diam. Saya nyaman dengan keadaan itu karena toh saya tidak ada kepentingan untuk mempersuasinya agar masuk Subud. Obrolan mengalir, kadang dia mengulang pertanyaan-pertanyaan yang sama untuk meyakinkan dirinya sendiri, tetapi saya (di)bisa(kan) sabar melayani dia, diselingi dengan penjelasan dari Rudi.
Obrolan itu harus berakhir karena si peminat mohon diri untuk mengantar anaknya ke sekolah. Ketika saya melangkah ke pelataran parkir kendaraan di Cuko, dia bilang ke saya, “Mas Arifin, Kamis besok datang ke sini ya, saya perform (bermusik). Nanti kita ngobrol lagi.” Yang tadinya dia hanya tertarik pada Rudi dan Beni, sekarang tambah lagi dengan saya, padahal saya tidak banyak berbicara—saya kebanyakan hanya diam dan merasakan diri.
Lanjut melangkah ke tempat motor saya diparkir, saya dimengertikan: “Kamu kan selalu pengen menemukan pembantu pelatih yang bicara dan diamnya dengan bimbingan di Jaksel. Nah, itu tadi kamu baru menjadi PP seperti itu.”
Puji Tuhan, saya
jadi tidak perlu susah-payah mencari PP sesuai harapan saya, karena saya
menemukannya di “dalam” diri saya.©2022
Pondok
Cabe, Jakarta Selatan, 19 Oktober 2022
No comments:
Post a Comment