Sunday, June 14, 2020

Menyatu Dengan Diri


MESKIPUN hanya dua semester saya kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, IKIP Negeri Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta), saya tetap dianggap alumnus institut keguruan dan ilmu pendidikan yang berkampus di Rawamangun, Jakarta Timur itu. Karenanya, saya selalu diundang, paling tidak, oleh rekan-rekan Angkatan 1986 Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Jakarta.

Salah satu dari dua kali reuni yang pernah saya hadiri diadakan di rumah salah seorang alumnus Angkatan ‘86 di Jomin, Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Dia seorang wanita yang, teriring ketakjuban saya, menjadi guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Jakarta Utara.

Dengan dia bertempat tinggal di Cikampek, saya mengira di hari kerja dia kos atau menempati rumah kontrakan di Jakarta, mungkin di wilayah Jakarta Utara juga. Perkiraan saya ternyata salah. Dia menempuh perjalanan Cikampek-Jakarta Utara, dari rumah ke tempat kerjanya, tiap hari dengan bermobil. Berangkat dari rumah jam tiga pagi, dia akan mampir di rumah kerabatnya di Bekasi untuk menyimpan mobilnya, dan melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum.

Saya sulit membayangkan apa yang dia harus lakukan tiap hari, lima hari dalam seminggu, untuk membuat dapurnya tetap mengepul. “Kalau dibayangkan memang sulit. Kamu harus menjalaninya. Lakukan! Lama-lama terbiasa. Kalau sudah biasa, segalanya jadi ringan!” kata rekan alumnus itu kepada saya.

Seperti ungkapan “practice makes perfect”, ibarat pisau makin diasah makin tajam. Ketika masih berlatih Taekwondo dahulu, semakin rajin saya melatih satu teknik tendangan, teknik itu jadi menyatu dengan diri saya, yang bereaksi secepat tangan saya ketika melakukan hal-hal yang sudah biasa saya lakukan, misalnya menggaruk ketika gatal.

Jadi, sejatinya, tidak ada yang susah atau sulit bila kita sudah menyatu dengan apa pun kegiatan yang kita lakukan. Saya teringat pada satu saudara Subud saya, yang rajin salat lima waktu. Begitu azan terdengar, segera dia bersiap untuk salat. “Kalau saya salat, jangan anggap saya alim ya. Ini karena sudah terbiasa, jadi otomatis,” kata dia suatu ketika.

Ketika saya mengawali karier sebagai copywriter di biro iklan, tahun 1995, saya merasa berat dan tidak memiliki hasrat sama sekali—saya melakukannya karena tergiur gaji copywriter yang besar dan suasana kerjanya dinamis. Tiap hari kerja, perhatian saya terpecah antara memelototi layar komputer dan melihat jam di dinding Departemen Kreatif. Saya tidak sabar menunggu jam bubar kantor. Karena tidak ada hasrat, makanya saya cepat lelah, mudah bosan, jenuh dengan pekerjaan saya. Pekerjaan yang menantang saya anggap sebagai cobaan yang membuat saya ingin kabur darinya.

Lama-lama, secara tidak sadar, pekerjaan itu menyatu dengan diri saya. Saya menjadi otomatis dalam bidang menulis naskah. Tangan, hati dan pikiran saya sepenuhnya berpadu dalam merancang bangun teks. Ditambah kini dengan Latihan Kejiwaan, saya bahkan bisa “mengobrol” dengan kata-kata yang saya gunakan. Mereka memberitahu saya kapan saya harus dan kapan tidak usah menggunakan kata tertentu, dan energi Latihan mengisi kata-kata yang saya gunakan secara terbimbing, yang efeknya dapat “merasuki” rasa dan/atau pikiran pembacanya.

Kini, saya dan kegiatan tulis-menulis bukan lagi dua entitas yang berbeda. Melainkan telah manunggal. Bukan lagi sebuah pekerjaan atau profesi, melainkan sebuah kecintaan yang membuat saya “hidup”. Tidak ada nilai nominal uang di dunia ini yang mampu membayar kecintaan!

Tentu saja, yang saya alami ini tidak semudah membalikkan tangan, tidak semudah mengedipkan mata. Saya melalui proses panjang yang menurut saya berat. Tapi proses ini bermakna, karena menyatukan diri saya dengan apa pun kegiatan saya secara manunggal.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 14 Juni 2020

No comments: