Tuesday, June 23, 2020

Meminjam Kepintaran Tuhan


SAYA pernah iseng memlesetkan kata-kata filsuf Perancis, René Descartes yang terkenal: “Saya berpikir, karena itu saya ada” (Cogito, ergo sumI think, therefore I am). Saya plesetkan menjadi “Saya berpikir, karena itu saya bodoh”. Plesetan itu saya ekspresikan di status Facebook dan WhatsApp saya pada 19 Juni 2020, dengan memlesetkan pula nama penganjurnya menjadi Mrene Ndaskertas (bahasa Jawa untuk “ke sinilah, kepala kertas”).
                                               
Gagasan usil itu bermula dari suatu pagi ketika istri saya mengungkapkan serangkaian hal untuk saya kerjakan hari itu. Saat itu masih awal pagi dan saya baru bangun tidur. Karena istri saya mengungkapkannya dengan cepat—berhubung begitu banyak hal harus ia kerjakan, saya mencoba mengingat urutannya dengan mengerahkan segenap pikiran saya, mulai dari apa sebenarnya yang dikehendaki istri saya. Saya malah berakhir dengan menanyakan beberapa hal yang sama berulang-ulang, yang membuat saya tampak bodoh di mata istri saya. Pikiran saya telah jadi semrawut tidak karuan, justru ketika saya berusaha menggunakannya dengan benar.

“Katanya you pintar, kok malah yang sepele gitu kamu tanyain melulu?” ujar istri saya dengan suara bernada kesal.

Ucapannya saya tanggapi dengan tertawa. Saat itulah, entah gagasan usil atau “penerimaan kejiwaan”, terbersit plesetan dari ungkapan terkenal René Descartes di atas. Terlepas dari lelucon atau candaan, sejak dibuka di Subud berpikir memang menjadi momok yang mengkhawatirkan saya. Pikiran saya sudah terlalu sering membohongi saya.

Saya bukan orang yang pintar, sebagaimana anggapan istri saya dan banyak orang lainnya. Meminjam gagasan satu saudara Subud saya, saya sejatinya meminjam kepintaran Tuhan. Yang saya ucapkan atau tuliskan, karena itu, bukan keluar dari pikiran saya yang “berusaha dengan kekuatan sendiri”, melainkan pikiran yang dibimbing oleh Latihan Kejiwaan, justru di saat pikiran itu berhenti menguasai saya.

Bila ditelusuri dari nilai rapor saya semasa sekolah dasar hingga menengah atas, maupun indeks prestasi kumulatif saya semasa di perguruan tinggi, akan tampak jelas dan tegas: Saya bukanlah orang yang pintar! Sebagian orang menyanggah pernyataan itu, mengingat bahwa saya kuliah di Universitas Indonesia (UI), sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) bergengsi di negeri ini, dan saya pernah dua kali lolos seleksi masuk PTN, yang, bagi sebagian orang itu, menandakan saya tergolong pintar.

Saya juga tidak mengerti mengapa saya bisa lolos seleksi masuk PTN hingga dua kali berturut-turut. Bila diolah dengan akal pikir, mungkin hal itu disebabkan oleh jurusan yang saya pilih tidak tergolong “favorit”, sehingga daya tampungnya selalu mampu menerima orang terbodoh di kelas seperti saya (saya menempati ranking ke-32 di bangku kelas 3 SMA, di kelas yang jumlah muridnya 32 orang!).

Banyak segi dari aspek pikiran manusia itu lemah. Pikiran tidak bisa diandalkan. Pikiran bila dibiarkan mengembara seenak perutnya, malah membawa kita ke jurang kehancuran. Nasihat Bapak Subuh bahwa “pikiran lebih berbahaya daripada rokok” (ceramah di Santiago de Chile, 1 Agustus 1969) benar adanya! Pikiran harus ditenangkan, yang dengan cara itu ia kembali ke statusnya sebagai pembantu yang manut. Tidak sedikit kenalan saya yang mati karena penyakit kanker berawal dari pikiran cemas yang dalam keseharian mereka mereka biarkan mencengkeram diri mereka seolah gagasan-gagasan yang diolah pikiran (meme) mereka merupakan kebenaran yang sejati. Termasuk diagnosis dari dokter tentang stadium penyakit kanker diterima pikiran mereka dengan ketakutan luar biasa, yang malah akan menurunkan imunitas tubuh mereka terhadap penyakit.

Saya telah mempelajari memetika (ilmu pengetahuan tentang meme) sejak tahun 2006, bermula dari membaca buku yang ditulis Richard Brodie, Virus Akalbudi. Mengkaji memetika, saya menjadi mengerti mengapa seyogyanya pikiran sepatutnya hanya menjadi pembantu, alih-alih menjadi majikan kita.

Kelemahan terbesar pikiran adalah kekukuhan pendiriannya untuk bertahan di zona nyaman. Ia mudah dan akan tetap percaya pada satu hal yang tidak benar atau semu, hanya karena ia malas menggali lebih banyak. Ia tidak akan mau diajak untuk berjalan melalui jalan yang tidak pernah dilalui sebelumnya (a road less traveled). Setelah berlatih kejiwaan, pikiran saya (dan juga saya sendiri, jiwa dan raga) kerap dibimbing untuk melewati jalan yang dihindari sebagian besar orang itu.

Tidak mengherankan, karena itu, bilamana memetika berjaya sebagai senjata politik dan bisnis (branding). Karena melalui pikiran yang lebih suka berada di zona nyaman itu, pesan-pesan palsu (hoax) sekalipun diterima sebagai kebenaran! Jadi, jangan heran, bila banyak orang tidak mau bersusah-payah mencari pembanding (yang dewasa ini dipermudah oleh mesin pencari berbasis internet) untuk mencari tahu apakah sebuah pesan atau berita memang benar atau tidak, meskipun kampanye anti-hoax sudah menyarankan cara itu. Yang membuat nyaman itulah yang diterima.

Pikiran merupakan bagian yang mulia dari eksistensi manusia hanya bila ia terbimbing oleh kekuasaan Tuhan. Melalui pikiran yang terbimbing, kita meminjam kepintaran Tuhan untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan yang kita hadapi. Tanpa bimbinganNya, pikiran hanya barang sampah yang tidak pantas dipertuan.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 24 Juni 2020

No comments: