Tuesday, June 23, 2020

Ketika Diam Adalah Solusinya: Sebuah Catatan Tentang Pembantu Pelatih

Bapak Subuh dikerumuni para anggota Subud di bandar udara Mexico City pada tahun 1968.


DALAM ceramah di Wendhausen, Jerman, pada 28 April 1981, Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo menyebutkan bahwa keberadaan “pembantu pelatih” (diinggriskan sebagai helper) adalah semata-mata membantu Bapak dalam bidang kejiwaan.

Bapak sebagai manusia tentu memiliki keterbatasan, sehubungan dengan melayani anggota (helping the members), dalam bidang kejiwaan, bila mempertimbangkan tempat-tempat keberadaan anggota yang tersebar di seluruh dunia. Sebagai manusia, yang seiring bertambahnya usia semakin berkurang kekuatan fisiknya, tentu membuat Bapak tidak selalu dapat memenuhi harapan anggota untuk datang mengunjungi mereka. Menggantikan kehadiran Bapak, beliau menunjuk orang-orang dengan keadaan kejiwaan tertentu untuk menjadi “pembantu Bapak”, sang pelatih kejiwaan Subud.

“Karena mengingat jauhnya tempat. Tidak mungkin Bapak selalu datang di Amerika, selalu datang di Eropa, selalu datang di Amerika Selatan, atau selalu datang di mana-mana yang bersamaan waktu, atau setidak-tidaknya, ya, selalu ada dan datang. Tidak mungkin! Dan tidak mungkin pula Bapak melayani Latihan para saudara seluruhnya. Jiwa Bapak dapat, tetapi physical-nya ini—kasarannya—tidak dapat! Karena itu maka terpaksa Bapak mengadakan helper, pembantu pelatih darurat, yaitu artinya: mencukupi pada waktu yang memang dibutuhkan,” tutur Bapak dalam ceramah di tengah perhelatan Kongres Dunia Subud di Briarcliff, New York, Amerika Serikat, 25 Juli 1963.

Tugas seorang pembantu pelatih, bila “sekadar” dibaca keterangannya dari Bapak, tergolong ringan, namun sesungguhnya berat! Dalam ceramah kepada pembantu pelatih di Planegg, Jerman, pada 10 Agustus 1964, Bapak menekankan bahwa pembantu pelatih sedapat mungkin agar bertindak sebagaimana para utusan Tuhan di masa lampau, yaitu mengemong, melayani, memberi petunjuk kepada para anggota Subud yang membutuhkan, dan memberi penuturan-penuturan yang baik bagi anggota.

Saya katakan berat, karena faktor ego sering kali menyela. Tidak sedikit pembantu pelatih yang tidak mampu lerem (tenang rasa dirinya, santai, hening) ketika melayani anggota, sehingga muncul keakuannya yang besar, lantas merasa status kepembantupelatihannya sebagai jabatan hierarkis yang membawahi anggota. Saya jadi ingat sebuah lelucon ketika sebagai mahasiswa baru Jurusan Sejarah di Universitas Indonesia saya mengikuti acara inisiasi (penyambutan mahasiswa baru oleh para senior). Dalam acara tersebut berlaku aturan baku yang hanya terdiri dari dua pasal: “Pasal 1, senior tidak pernah salah! Pasal 2, jika salah kembali ke Pasal 1!” Persis seperti itulah anggapan pribadi sebagian pembantu pelatih mengenai statusnya.

Nah, dalam pengamatan saya, tidak sedikit pembantu pelatih yang memiliki sikap merasa istimewa dan hebat, yang tidak memiliki salah, sehingga acap berperilaku sewenang-wenang, dengan menghindari tugas pelayanan kepada anggota. Yang harus ditekankan kepada para anggota adalah bahwa pembantu pelatih tidaklah istimewa, tidak melampaui kemampuan para anggota dalam hal kejiwaan, bukan majikan yang bisa sesuka hatinya menyuruh atau bersikap semena-mena terhadap anggota.

Tolok ukur seorang pembantu pelatih yang baik menurut saya adalah yang saya amati dan alami pada para pembantu pelatih yang melayani saya sejak saya masih berstatus kandidat dan setelah dibuka. Meskipun sejak 2005 saya aktif melakukan Latihan Kejiwaan bukan di cabang asal, Surabaya, melainkan di Hall Cilandak, Jakarta Selatan, dan Kelompok Tebet, saya merasa keterikatan emosi saya pada Cabang Surabaya, yang para pembantu pelatihnya telah melayani saya dengan baik.

Saya ingat pada sebuah kejadian di Surabaya, di mana saya sangat memerlukan untuk berkonsultasi dengan seorang pembantu pelatih. Saat itu, saya baru dibuka kurang lebih satu bulan sebelumnya, dan masih dalam kondisi kejiwaan yang “acakadut”, gampang marah, mengamuk, atau panik. Dihadapkan pada suatu masalah, besar atau kecil, saat itu saya masih sulit untuk mengatasinya dengan sabar, tawakal, dan ikhlas.

Diterpa sebuah masalah—saya lupa apa—saya menyatakan kepada seorang pembantu pelatih dari Cabang Surabaya melalui telepon, bahwa saya ingin curhat kepadanya, dan berharap ia dapat memberi saya solusi. Sesuai janji yang kami buat via telepon, saya bertemu dengannya di teras timur Hall Latihan Cabang Surabaya, Jl. Manyar Rejo 18-22, Surabaya, Jawa Timur. Pembantu pelatih ini tergolong muda, usianya hanya dua-tiga tahun di atas saya, dan berprofesi di bidang yang sama dengan saya, yaitu periklanan. Entah karena bidang kreatif periklanan yang ia hidupi atau memang begitu sikap hidupnya, si pembantu pelatih ini hampir selalu berpenampilan, berpikiran, serta bertindak eksentrik.

Saat menemui pembantu pelatih muda ini, ia sedang merokok sebatang Djisamsoe yang masih panjang, sehingga membuat saya berpikir dia pastilah baru menyalakannya. Karena tak sabar, saya hampir seperti bendungan jebol, yang langsung meluapkan unek-unek saya ketika pantat saya baru saja menempel di tikar anyaman yang digelar di teras Hall Surabaya.

Saya pendam perasaan sebal saya karena melihat si pembantu pelatih hanya duduk bersila dengan kedua mata terpejam dan punggungnya membungkuk, sesekali mengisap rokoknya. Ia sesekali tertawa lebar, tetap dengan mata terpejam, dan tidak mengomentari sama sekali perkataan saya, walau hanya dengan “ya”.

Selesai saya menceritakan masalah saya, si pembantu pelatih berkata, tetap dengan mata terpejam, “Wis ta? Yo, wis, ngudud sik.” (Sudahkah? Ya, sudah, merokok dulu.)

Ia menggeser bungkus Djisamsoe-nya ke depan saya. Saya mengambil satu batang, menyalakannya, dan mengisapnya dalam-dalam serta mengembuskan asapnya perlahan. Entah sudah berapa kali saya isap-embus rokok itu, tapi si pembantu pelatih diam saja. Saya mulai tidak sabar dan ingin segera mendesak si pembantu pelatih agar mengomentari cerita saya, atau, saya berharap, memberi solusi. Namun, saya mengurungkan niat saya. Lantaran sesuatu mulai terjadi di dalam diri saya.

Ada suatu dorongan dalam diri saya, yang mengajak saya untuk menikmati momen di sore hari itu, berdua saja di teras timur Hall Surabaya, dikelilingi kesunyian yang sesekali ditingkahi suara angsa dan semilir angin yang meniup dedaunan di pepohonan yang mencirikan pekarangan Wisma Subud Surabaya. Dorongan itu mengajak saya memejamkan mata, yang kemudian saya lakukan dengan ikhlas. Ketidaksabaran saya mereda, lumer bersama angin lembut yang menerpa wajah saya. Keheningan merasuki diri saya, memaksa kekalutan pikiran saya agar menyingkir. Berangsur-angsur beban berat, yang menumpuk di kepala saya akibat memikirkan sesuatu yang saya anggap masalah, lenyap entah ke mana. Saya merasakan damai yang rasanya tidak berlebihan jika saya menyebutnya “surgawi”. Saya merasa bersih, tenang, damai, tenteram, sejuk. Saya merasa tiada, lebur menjadi satu dengan angin dan suara angsa!

Saya sesekali mendengar suara tawa si pembantu pelatih, jenis tawa dari orang yang merasa lucu akan sesuatu. Juga suaranya yang berkata di antara tawanya, “Ya, ya, ya...”

Saya kemudian membuka mata. Bersamaan itu, si pembantu pelatih juga membuka matanya. “Gimana? Sudah kan?” tanyanya. Tak saya pungkiri, “masalah berat” yang saya pikul sejak dari rumah hingga berada di hadapan si pembantu pelatih telah terangkat. Saat itu, saya mengira si pembantu pelatihlah yang telah mengangkatnya, tapi dia berkata, “Alhamdulillah. Berterimakasihlah pada Gusti Allah, karena Dia sudah mengangkat masalahmu.”

Dalam perjalanan saya berproses hidup melalui bimbingan Latihan Kejiwaan Subud, harus saya akui, diam dengan berperasaan sabar, tawakal, dan ikhlas selalu menjadi solusi terbaik bagi semua masalah.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 23 Juni 2020

No comments: