Friday, June 26, 2020

Biasa Baru

Logo dari gerakan Biasa Baru, yang dijiwai oleh sikap Sabar. Didesain oleh LI9HT Brand.

TERMINOLOGI yang tengah tren di saat pandemi COVID-19 sedang melanda dunia adalah “normal baru”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “normal” berarti “menurut aturan atau menurut pola yang umum; sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan”. “Normal baru”, karena itu, berarti aturan umum yang baru.

Bagi saya, terminologi “normal baru” merupakan sesuatu yang kocak atau berlebihan (oxymoron). Pasalnya, kebiasaan “baru” yang ditawarkannya sebagian besar sudah saya dan istri saya lakukan sejak lama. Kalau Anda memahami pentingnya kebersihan dan kesehatan, kebiasaan yang diimbau untuk dilakukan di era “normal baru” ini sama sekali tidak baru. Mencuci tangan dan/atau mandi bila habis bepergian atau baru memegang sesuatu yang diragukan higienitasnya sudah saya lakukan sejak anak saya, Nuansa, lahir. Saya harus mencuci tangan apabila ingin menggendongnya, harus mandi bila saya baru pulang dari bepergian, untuk tujuan yang sama. Apabila saya sedang batuk atau pilek, saya wajib mengenakan masker jika ingin mendekati Nuansa—tidak hanya ketika dia masih bayi, tapi sampai sekarang ya begitu. Menjaga imunitas tubuh dengan olahraga dan makan makanan yang sehat juga bukan kebiasaan baru.

Selain itu, sejak saya dibuka di Subud, pertama kali menerima Latihan Kejiwaan, saya mengalami diri saya yang baru setiap hari. Setiap hari, saya merasa dilahirkan kembali, dengan kesadaran diri yang baru. Dalam sehari bahkan saya mendapat banyak hal baru yang belum saya kenal atau ketahui sebelumnya. Bagi saya, orang yang sudah menerima Latihan Kejiwaan tidak seharusnya menjadi usang, atau terbelenggu kebiasaan-kebiasaan dan kebisaan-kebisaan lama. Penerimaan dalam Latihan Kejiwaan juga terbarukan setiap saat.

Latihan Kejiwaan membimbing saya untuk mampu menerima kebiasaan-kebiasaan dan kebisaan-kebisaan baru. Pendek kata, orang Subud seyogyanya biasa dengan kebaruan. Dia biasa baru. “Normal baru”, karena itu, tidak relevan bagi orang-orang yang senantiasa terbimbing kekuasaan Tuhan.

Rasa biasa baru terasa ketika kita melakukan apa yang sering Bapak dorong agar anggota Subud lakukan: enterprise. Bapak mengatakan, enterprise adalah gerak hidup yang tertuntun Latihan Kejiwaan. Enterprise adalah kerja, bergeraknya kita secara lahir maupun batin yang gerakan-gerakannya (maupun diamnya) terisi getaran Latihan. Enterprise adalah media penyaksian kita atas bekerjanya bimbingan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan enterprise bukan semata perolehan keuntungan materi (material gain), tetapi yang lebih utama keyakinan bahwa Tuhan memang ada, hadir, dan membimbing kita. Itu yang saya alami dan pahami.

Sejalan dengan bimbingan Tuhan dalam enterprise, saya mengalami banyak sekali, dan sering kali, perubahan-perubahan dalam cara-cara saya melakukan hal-hal. Saya menjadi copywriter sejak tahun 1995, jauh sebelum saya masuk Subud, dan secara jumlah tahun, di kalangan praktisi periklanan saya dipandang “berpengalaman”, yang artinya saya mampu menulis naskah untuk berbagai jenis materi komunikasi pemasaran dan korporat. Saya juga dipandang sebagai profesional di bidang copywriting, karena telah menguasai teknik-teknik penulisan naskah komunikasi maupun memahami kaidah-kaidah periklanan melalui masa kerja saya yang demikian panjang.

Bagaimanapun, hal itu “dipandang” oleh jiwa saya sebagai tidak sejalan dengan kehendak Tuhan. Karena yang dominan dalam setiap pengerjaan proyek adalah akal pikir dan hati saya yang terisi nafsu. Itu saya akui sebagai “kelemahan” saya. Pembantu pelatih yang melayani saya di Surabaya dahulu, ketika saya masih ngandidat di Cabang Surabaya, yang juga seorang praktisi periklanan, pernah berujar ke saya, “Selama ini, kamu menulis dengan akal pikirmu. Tunggu saja nanti Latihan akan membuatmu melakukannya dengan tuntunan jiwamu.” Saat itu, saya belum mengerti bagaimana jiwa itu dapat menuntun saya melakukan pekerjaan yang sarat hal teknis.

Ketika saya telah menerima Latihan Kejiwaan, kebisaan dan kebiasaan saya dalam bekerja berubah 180 derajat. Saya yang biasanya harus nongkrong di warung kopi atau brainstorming bersama tim kreatif di kafe—dan belum tentu mendapat ide, meski telah memeras otak, tiba-tiba saya dibisakan untuk brainstorming dengan diri sendiri di mana saja saya berada, sering tanpa berpikir sama sekali—kalaupun berpikir, berpikirnya secara terbimbing, biasanya dibimbing agar fokus ke hal yang sedang saya kerjakan. Tiba-tiba saya mampu “mengobrol” dengan kata-kata dan kalimat yang saya gunakan saat menulis naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat atau tulisan apa pun. “Hidup di dalam hidup” saya ini membimbing kapan suatu kata atau kalimat dipakai dan kapan tidak.

Perubahan terus terjadi dalam kebisaan dan kebiasaan saya terkait, utamanya, dengan cara saya melakukan pekerjaan. Hal-hal baru diperkenalkan ke saya, secara spontan saat saya mengerjakan naskah. Satu pembantu pelatih Cabang Jakarta Selatan mengungkapkan kepada para anggota Subud yang hadir di teras Hall Sukamulya pada 21 Juni ke 22 Juni 2020 lalu, sambil menunjuk ke saya: “Tanya nih ke Arifin, yang selalu menggunakan Latihan dalam bekerja.”

Saya hanya bisa berbagi pengalaman saya terkait Latihan Kejiwaan dalam bekerja, tetapi tidak bisa mengajarkan, karena Subud bukan ajaran maupun pelajaran. Anda harus mengalaminya untuk bisa memahaminya. Dengan mengalami, dan bersabar, dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa, kita senantiasa dimurahi dengan kebaruan, yang sering kali tidak kita sangka kita dapat melakukannya.©2020


GPR 3, Tangerang Selatan, 26 Juni 2020

No comments: