Monday, March 18, 2019

Ikhlas Juga Pakai Otak

Saya (kanan) dan alm. Pak Djoko Mulyono (tengah) ketika menghadiri
Kongres Nasional PPK SUBUD Indonesia di Surabaya tahun 2007.
Tahun 2006, Munas PPK SUBUD Indonesia juga
digelar di Surabaya.

SAAT Musyawarah Nasional (Munas) Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Susila Budhi Dharma (SUBUD) Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, tahun 2006, almarhum Pak Djoko Mulyono, saudara tua SUBUD saya, menghadirinya bersama beberapa saudara SUBUD yang tergabung dalam Kelompok Merdeka Selatan (PT Danareksa) dan Nurus Subhi Institute (NSI). NSI merupakan sebuah yayasan yang diresmikan pembentukannya pada 10 Desember 2005 di Ciganjur, Jakarta Selatan, dengan saya sebagai salah satu pendirinya. Yayasan tersebut dibentuk sejumlah anggota SUBUD Indonesia di Jakarta untuk mengewantahkan hasil Latihan Kejiwaan kewirausahaan.

Saya saat itu memang sedang berada di Surabaya dalam rangka mudik rutin, lantaran istri saya saat itu masih tinggal di Kota Pahlawan untuk meneruskan tinggal di rumah kontrakan kami yang habis pada Desember 2006. Karena itu, saya bisa terus-menerus bersama anggota dewan pendiri NSI selama berlangsungnya Munas yang digelar selama tiga hari di Asrama Haji Surabaya itu.

Pada hari kedua, Pak Djoko mengajak seluruh anggota Dewan Pendiri NSI mengunjungi Wisma SUBUD Surabaya. Lalu, sebelum kembali ke Asrama Haji, kami mampir makan siang di sebuah restoran Soto Madura. Di restoran tersebut, Pak Djoko memesan soto jeroan, yang membuat salah satu anggota Dewan Pendiri NSI, Mas Harry NP Danardojo, merasa “ngeri”. Pasalnya, Pak Djoko penderita diabetes akut yang sudah dilarang mengonsumsi jeroan sapi. Mas Harry pun, karena merasa segan menegur Pak Djoko, yang merupakan seniornya di PT Danareksa, meskipun Mas Harry sudah tidak bekerja di PT Danareksa lagi, meminta bantuan saya untuk mengingatkan Pak Djoko.

Di meja makan, ketika Pak Djoko sudah menghadapi semangkuk Soto Madura isi jeroan sapi, dengan santun saya mengingatkan beliau bahwa sudah tidak boleh mengonsumsinya. Dengan cuek, sambil menyantap soto jeroan sapi di hadapan beliau, Pak Djoko berkata ke saya, “Aku ini sudah ikhlas. Kalau nanti mati ya sudah. Nggak makan jeroan saja aku juga mati kok.”

Saya hanya tersenyum, tidak berani lagi mengusik keasikan beliau makan jeroan sapi. Tapi saya sempat imbuhi, “Saya sudah ingatkan lho, Pak, ya.”

Seminggu kemudian, pada hari Selasa malam, saya bertemu dengan Pak Djoko dan para anggota Dewan Pendiri NSI lainnya di lantai 11 gedung S. Widjojo Centre di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Setiap Selasa malam, auditorium di lantai 11 bangunan bersejarah yang menyandang pemendekan nama pendiri SUBUD, Bapak (Muhammad) S(ubuh) (Sumohadi)Widjojo, itu menjadi tempat Latihan Kejiwaan bagi anggota Kelompok Sudirman (atau populer dengan sebutan Kelompok S. Widjojo). Usai Latihan, Pak Djoko mengajak kami ke restoran steik Ponderosa di lantai paling bawah S. Widjojo Centre (sekarang sudah dibeli Sewu Group dan berganti nama menjadi Sequis Center).

Beliau mempersilakan kami semua memesan menu yang disukai, dan semua beliau yang bayar. Saya memesan steik iga sapi. Mendengar itu, Pak Djoko berkomentar, “Hati-hati kamu, To. Jangan makan yang banyak lemaknya.”

Dengan santai, teringat pada ucapan beliau di restoran Soto Madura di Surabaya seminggu sebelumnya, saya berucap, “Saya sudah ikhlas, Pak.”

Pak Djoko mengomentari ucapan saya dengan mimik serius, “Itu namanya SUBUD bodoh!”

Lama saya memikirkan kata-kata Pak Djoko. Tidak malam itu juga saya mendapat pengertian. Lama kelamaan, barulah saya dimengertikan oleh serangkaian pengalaman kejiwaan dalam hidup yang saya lakoni maupun dalam keheningan diri yang saya lalui.

Ikhlas ternyata harus pakai otak. Otak untuk mempertimbangkan apakah sesuatu patut atau tidak, baik atau tidak bagi kita. Otak untuk berusaha sebaik mungkin, yang hasilnya atau keluaran (output)nya harus kita ikhlaskan. Hal ini agar kita tidak kecewa bilamana keluaran dari usaha terbaik kita tidak sesuai dengan harapan kita. Tapi juga agar bila kita berhasil mewujudkan hasil terbaik kita tidak lantas melekatkan keberhasilan itu pada diri kita semata; ada suatu kekuasaan di luar eksistensi kita yang memungkinkan hal itu.

Ikhlas adalah tahap terakhir dalam rangkaian gerak hidup kita, bukan yang pertama. Bagaimanapun, rangkaian itu seperti spiral yang dirapatkan, dengan tahap-tahapnya berlangsung saling melengkapi. Ikhlas sepatutnya berjalan seiring dengan segala gerak usaha kita. Karena ia adalah kekuatan yang mengisi kiprah lahir dan batin kita. Terserah kita mau ikhlas atau tidak. Otak kita yang kita pakai untuk memutuskan hal itu, sedangkan kekuasaan Ilahi yang memungkinkan kita ikhlas.

Ikhlas bukan menunggu secara pasif, melainkan secara proaktif mengizinkan Tuhan bekerja dalam ranah yang berada di luar jangkauan kita. Hak kita sebagai manusia hanyalah berusaha, bukan menentukan hasilnya.@2019


Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 17 Maret 2019

No comments: