Sunday, March 10, 2019

11 Maret: Sebuah Napak Tilas

Sudut sebelah baratlaut Wisma SUBUD Surabaya pada tahun 2015.
Atap joglonya sudah direnovasi, diganti dengan baja ringan dan
genteng galvalum warna biru.

SAYA tidak pernah merasa mencari Tuhan. Saya kira, Tuhan tidak perlu lagi saya cari. Tuhan sudah ditemukan oleh orang-orang yang dinyatakan (atau mengklaim) sebagai “utusan Tuhan”. Salah satunya adalah nabi yang mengajarkan agama yang pernah saya anut. Kitab sucinya sudah menyatakan tentang keberadaan Tuhan dan bahwa Dia sudah mengutus sejumlah ciptaanNya untuk mengajarkan mengenaiNya.
                                                                                     
Tetapi, diri saya tampaknya belum puas. Tanpa saya kehendaki, sesuatu di dalam diri saya menginginkan bukti atau membawa saya ke arah pengertian tentang hakikat Tuhan. Setiap kali membaca terjemahan Bahasa Indonesia dari kitab suci agama saya sebelumnya, muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak segera terjawab dengan membaca lebih lanjut. Saya pun menjadi tidak puas, terutama karena doa-doa saya tidak segera dikabulkanNya. Apalagi di kitab suci maupun dari penjelasan para guru agama, jikalau saya memohon kepadaNya dan berbuat baik, maka doa saya akan dikabulkanNya segera. Nyatanya, tidak!

Di puncak ketidakpuasan saya, saya berhenti beragama dan berhenti mempercayai Tuhan yang diajarkan oleh nabi yang mengajarkan agama yang pernah saya anut. Dalam pandangan umum dan awam, saya telah menjadi atheis. Tapi saya bukan atheis saat itu. Saya tetap meyakini ada sesuatu yang lebih besar melampaui eksistensi manusia, namun saya tidak yakin bahwa itu Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh agama saya waktu itu.

Tanpa agama, saya tidak memiliki pedoman untuk menjalani hidup secara produktif dan sehat. Tanpa Tuhan, saya ibarat rem blong—melaju kencang tapi tak bisa berhenti untuk sekadar menanyakan arah. Dalam proses ini, saya dibimbing (waktu itu, saya belum mengenal bimbingan Ilahiah) ke sesuatu yang kelak tidak saya sesali pernah menemukannya.

Pada hari Jumat, 17 Oktober 2003, diajak oleh mitra kerja saya, yang juga seorang pembantu pelatih Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Susila Budhi Dharma (SUBUD) Cabang Surabaya, Mas Heru namanya, saya pertama kali memasuki areal Wisma SUBUD Surabaya di Jl. Manyar Rejo No. 18-22, Surabaya, Jawa Timur. Saat itu, magrib baru saja lewat. Di teras timur dari bangunan Wisma SUBUD Surabaya duduk seorang pria berusia akhir 50an, dalam balutan baju safari berwarna biru gelap. Wajahnya lucu, sering tertawa, dan membuat lelucon.

Saya diperkenalkan Mas Heru kepadanya. Panggilannya Mas Adji, lengkapnya Istiadji Wiryohudoyo. Sebelumnya, Mas Heru telah menginformasikan ke saya bahwa Mas Adji adalah cucu tiri dari pendiri SUBUD, yaitu orang pertama yang menerima pengalaman gaib yang kelak dinamai Latihan Kejiwaan, RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Para anggota SUBUD memanggil Muhammad Subuh dengan sebutan “Bapak” atau “Yang Mulia Bapak”.

Mas Adji menanyakan saya apakah saya sudah tahu tentang SUBUD. Dengan yakinnya, saya mengiyakan. “Kata teman saya, perusahaan pertambangan, Mas.” Mas Adji spontan tertawa terbahak-bahak.
Dahulu, saat masih kuliah di Universitas Indonesia, saya dan teman saya beberapa kali naik angkot atau Metromini 610 jurusan Blok M-Pondok Labu yang lewat Wisma SUBUD Cilandak di Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan. Suatu kali, kami melihat dari jendela angkot beberapa orang bule keluar dari kompleks Wisma SUBUD Cilandak. Teman saya berkata, “Lihat itu, To, itu SUBUD, perusahaan pertambangan. Banyak bule yang kerja di situ.”

Meskipun Mas Adji membenarkan bahwa beberapa orang SUBUD menjalankan bisnis pertambangan, tapi SUBUD bukan itu. “SUBUD adalah pendidikan jiwa. Kalau kita mati, yang tetap hidup adalah jiwa kita. Dia yang kembali kepada Tuhan. Tapi banyak orang tidak melatih jiwa mereka untuk hidup sesudah mati maupun hidup di saat ini.”

Saya pusing tujuh keliling mendengarkan penjelasan Mas Adji. Sekarang saya tahu mengapa saya pusing—karena Mas Adji menjelaskan perihal kejiwaan yang hanya bisa dipahami oleh orang yang jiwanya sudah terbuka dan hidup, yaitu orang yang rajin berlatih kejiwaan. Saat itu, jiwa saya masih tertutup, belum hidup, dan akal pikiran saya masih kuat. Bidang kejiwaan tidak akan mungkin dapat dipahami dengan kecerdasan akal pikiran.

Ada insiden lucu saat saya berhadapan dengan Mas Adji di teras timur Wisma SUBUD Surabaya. Saat itu, dia baru tiba dari Madiun, mengunjungi saudara-saudara SUBUD Cabang Madiun, dan dioleh-olehi pisang goreng buatan Ibu Soegijono, yang tak lain adalah ibunda dari Mas Heru, serta dua keik buatan ibu-ibu SUBUD Madiun. Mas Adji ingin menyuguhkan keik ke saya, dan meminta anggota dan PP yang ada di dekatnya supaya mengambilkan pisau. Saya tawarkan pisau lipat Swiss Army milik saya yang selalu saya bawa di tas pinggang saya. Tetapi, ketika saya sodorkan pisau lipat itu ke Mas Adji, dia mengibas-kibaskan tangan kanannya sebagai isyarat menolak, dan berkata, “Jauhkan itu dari saya! Banyak daya rendahnya di situ. Sampeyan kan pernah pakai pisau itu untuk ngancem orang!”

Tentu saja saya kecewa dengan penolakan Mas Adji, sekaligus terkejut: Bagaimana dia bisa tahu bahwa saya pernah menggunakan pisau lipat itu untuk mengancam orang, di masa yang telah lampau? Lama kemudian, saya tahu bahwa dengan bimbingan Tuhan, kita dibisakanNya untuk menyingkapkan apa yang tersembunyi atau terselubung.

Selanjutnya, Mas Adji mempersilakan saya masuk ke dalam ruangan besar Wisma SUBUD Surabaya, yang oleh kalangan anggota disebut “hall” (ruangan besar dan lapang). Meskipun beberapa pembantu pelatih (PP) sempat meminta saya keluar, lantaran saya belum jadi anggota SUBUD, Mas Adji bersikeras agar saya masuk. Mas Adji bahkan menegur keras para PP tersebut dengan dalih: “Bila ada yang ingin tahu tentang SUBUD, kita wajib menjelaskan!”

Mas Adji lantas membacakan satu pupuh dari buku Susila Budhi Dharma yang ditulis Yang Mulia Bapak dengan bimbingan Latihan Kejiwaan. Saya tidak mengerti apa yang Mas Adji sampaikan, dan kepala saya serasa dihantam palu besar serta jantung saya serasa meledak. Kepala saya serasa diimpit suatu kekuatan gaib yang datang dari sisi kanan dan kiri saya. Saya tidak mengerti apa itu. Saya hanya duduk bersila di lantai yang beralaskan karpet, begitu pula hadirin lainnya, yaitu para anggota dan PP SUBUD Cabang Surabaya. Mas Adji tidak menanyakan apakah saya mengerti atau tidak—belakangan saya baru mengerti bahwa bagi anggota SUBUD suatu pengertian tidak perlu diusahakan; pengertian akan datang dengan sendirinya, cepat atau lambat.

Akhirnya, Mas Adji mempersilakan saya keluar dari hall, karena selanjutnya adalah sesi yang terbatas untuk anggota dan PP. Sebelum saya sempat melangkah keluar, Mas Adji memanggil saya ke depan, mendekat ke kursi di mana Mas Adji duduk. Dia ingin menyalami saya, dan saat bersalaman Mas Adji berkata kepada saya, “Semoga kita jadi saudara ya, Mas.”

Saya tidak tahu apa maksud Mas Adji dengan “menjadi saudara”, tapi saya terkesan dengan dia. Genggaman tangannya pada tangan saya mengalirkan kehangatan cinta kasih dari seseorang yang pernah saya kenal di masa lampau. Baru kenal dan baru jumpa malam itu, tapi saya sudah kangen ingin bertemu Mas Adji lagi. Tidak banyak yang dibicarakannya, tapi energi kejiwaannya begitu besar, luas, dan dalam. Itu sudah “bercerita banyak”.

Keesokan harinya, Sabtu, 18 Oktober 2003, saya bertengkar hebat dengan istri saya. Pertengkaran adalah warna sehari-hari saya sejak saya kecewa pada agama dan Tuhan yang diajarkannya. Dan hari itu, istri saya, saking suntuknya dengan kehadiran saya, meninggalkan saya sendirian di rumah kontrakan kami di Jl. Petemon Barat, Surabaya. Dia pergi ke rumah orang tuanya di kawasan Perak Barat. Saya disuruhnya mencuci pakaian kotor yang sudah menumpuk dan saya dilarangnya menyusul ke Perak Barat.

Sepanjang pagi hingga siang, saya mencuci pakaian kotor kami. Saat azan Dzuhur berkumandang, entah mengapa saya terdorong untuk salat. Saat itu, saya sudah jarang salat; saya salat hanya untuk menyenangkan orang lain saja.

Saya pun menunaikan salat Dzuhur. Saat salam yang kedua kalinya, ketika menoleh ke kiri saya terjengkang ke belakang seperti didorong oleh suatu kekuatan gaib. Dalam posisi bersandar ke lemari di belakang saya, saya melihat serangkaian gambar bergerak seperti film di hadapan saya, yang menampilkan sederet perbuatan-perbuatan buruk yang pernah saya lakukan. Mulai dari selingkuh, mabuk-mabukan, hingga menjahati orang lain. Saya menangis dan minta ampun.

Muncul perasaan seakan nyawa saya akan dicabut. Saya ketakutan! Segera saya mengirim SMS ke Mas Heru. Dia lalu menelepon saya. Dia menyuruh saya berbaring dan tidak melawan apa pun yang datang ke saya. Saya katakan padanya bahwa saya takut mati, saya belum mau mati, karena saya belum siap. “Kamu tidak akan mati, To. Belum saatnya. Tugasmu belum selesai. Ikhlaskan saja,” kata Mas Heru di seberang sambungan.

Saya pun berbaring di ranjang dan mengikhlaskan diri. Saya merasakan gelombang seperti magnet meliputi diri saya. Saya merasa seperti terbang, terangkat dari permukaan kasur. Damai sekali rasanya. Kemudian saya tertidur. Saya terbangun karena mendengar ponsel saya berbunyi. Mas Heru yang menelepon. Dia berkata, “To, aku sudah konsultasi dengan Dewan PP. Kamu diminta datang ke Wisma SUBUD Senin besok untuk ngandidat.”

Senin, 20 Oktober 2003, jam delapan malam, saya tiba di Wisma SUBUD Surabaya. Saya sempat ragu saat dalam perjalanan ke situ maupun ketika sampai di pelataran parkir sepeda motor Wisma SUBUD Surabaya. Saya teringat pada almarhum Ibu saya yang sebagai orang Aceh syari’atnya kuat, dan saya membatin, “Akankah Mama setuju kalau saya ikut SUBUD? Apakah ini tidak bertentangan dengan agama?”

Di pelataran parkir sepeda motor saya ditemui Mas Heru yang lantas memperkenalkan saya ke salah satu PP, Cak Nur panggilannya. Cak Nur adalah seorang sarjana agama lulusan Universitas Darul Ulum Jombang dan guru ngaji yang hafal isi Al Qur’an serta korelasi ayat-ayatnya dengan berbagai persoalan kehidupan. Kegelisahan dan keraguan saya dijawab segera: “Oh, ternyata SUBUD tidak bertentangan dengan agama. Terbukti ada seorang ustaz yang jadi PP SUBUD.”

Sesuai tradisi di Cabang Surabaya, masa orientasi sebagai calon anggota atau populer disebut “ngandidat” (menjadi kandidat) saya jalani sebanyak 30 kali—dua kali dalam seminggu, malam Selasa dan malam Jumat, selama tiga bulan.

Sisi timur Wisma SUBUD Surabaya saat direnovasi pada tahun 2016.
Saya dibuka di ruangan di bawah atap bangunan ini, yang disebut
"hall Latihan".
Seminggu sebelum dibuka, tepatnya pada hari Jumat, 5 Maret 2004, saya mengalami suatu kejadian yang sulit dijelaskan. Waktu itu, saya pergi ke masjid dekat kantornya Mas Heru—di mana saya menjadi freelance copywriter—bersama Atok, adik kandungnya Mas Heru, untuk salat Jumat. Kami salat di sebuah masjid Nahdlatul ‘Ulama (NU) di kawasan Menur Pumpungan, Surabaya, bernama Masjid Al-Amin, tepatnya di Gang Masjid. Masjid NU terkenal karena dua kali azannya pada saat salat Jumat. Nah, pada azan pertama, saya yang duduk di saf ketiga tiba-tiba menangis terisak-isak, dengan perasaan rindu luar biasa kepada Tuhan dan keinginan yang kuat untuk segera pulang ke pangkuanNya. Pada azan kedua, lagi-lagi saya menangis terisak-isak, berurai air mata. Saya sampai berucap lirih dan pelan, “Ya Allah, aku ingin pulang kepadaMu!”

Usai salat, Atok, yang berada di saf terdepan, bercerita ke saya, “Mas Anto, tadi saya dengar di belakang saya ada yang menangis pas azan pertama dan kedua. Siapa tuh ya?!”

“Itu aku, Tok,” kata saya, sambil berjalan kaki bersebelahan kembali ke kantor. “Aku ngerasa kangen dan pengen pulang.”

“Pulang ke Jakarta?” tanya Atok dengan polos.

“Pulang ke rahmatullah,” jawab saya.

 Atok tersenyum lebar. Sebagai seorang pembantu pelatih seperti kakaknya, Atok merasakan bahwa saya saat itu sudah sangat siap untuk dibuka, menerima Latihan Kejiwaan SUBUD untuk pertama kalinya.

Saya dibuka pada Kamis malam, 11 Maret 2004, di Hall Latihan Surabaya, tempat saya mendapat penjelasan dari Mas Adji lebih dari empat bulan sebelumnya. Didampingi empat pembantu pelatih, yaitu Pak RB Soejanto Luwihardjo, Pak Soenardi Soemosasmito, Pak Seno Prasodjo, Cak Nur, dan Mas Heru. Ketika dibuka, saya diminta mengucapkan janji: “Saya, Anto Dwiastoro, berjanji untuk rajin melakukan Latihan Kejiwaan Susila Budhi Dharma.” Segera setelah itu, saya memejamkan mata dan sekujur tubuh saya lantas bergetar, sensasinya seperti sengatan listrik, lalu merasakan ada tarikan yang sangat kuat dari belakang saya, yang menyebabkan saya terjerembab dan berguling-guling. Setiap kali berusaha berdiri saya dibanting kembali ke lantai yang beralaskan karpet tipis dan kasar, yang menimbulkan lecet di siku kanan saya. Saya terlempar dan jatuh kembali, berulang kali. Saya sadar tapi tidak berdaya untuk melawan maupun menghentikan kekuatan dahsyat itu. Pengalaman seperti ini belum pernah saya lalui sebelumnya.

“Apa itu, Mas?!” tanya saya setelah saya terjerembab dalam posisi menelungkup, membuka mata dan melihat Mas Heru duduk di dekat saya. Napas saya terengah-engah, namun tidak merasakan sakit, meskipun sudah dibanting dan dilempar ke sana ke mari.

Itulah yang terjadi, pada 11 Maret 15 tahun yang lalu. Saya pun resmi menjadi anggota SUBUD, yang satu-satunya kewajibannya adalah Latihan Kejiwaan. Selama 15 tahun, saya berlatih kejiwaan dan menjalani hidup sejalan dengan bimbingan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang saya terima melalui Latihan Kejiwaan. Saya tidak tahu sampai kapan, hanya Tuhan yang Maha Tahu.@2019



Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 11 Maret 2019

No comments: