Tuesday, March 5, 2019

Berserah Diri Sudah Primitif (?)

Saya di antara para penari tradisional Sentani mereka pentas
di Festival Danau Sentani pada 18 Juni 2009.

BULAN Mei tahun 2009 lalu, saya mengunjungi Papua untuk pertama kalinya. Saya terbang ke sana bersama saudara SUBUD saya yang juga seorang fotografer dan desainer grafis, Toni Sri Agustono. Bagi Pak Toni, itu sudah ketiga kalinya baginya ke Papua dalam rangka membantu Pemerintah Kabupaten Jayapura mempersiapkan dan menyelenggarakan Festival Danau Sentani yang pertama kali digelar pada tahun 2008.

Pada bulan Mei 2009 itu, saya dan Pak Toni dimintai bantuan oleh Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae (masa jabatan 2001-2011) untuk membuat coffee-table book (buku yang isinya 75 persen foto, dan sisanya teks) mengenai sejarah, alam, dan budaya masyarakat Sentani. Sentani merupakan sebuah distrik (setingkat kecamatan) di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Karena saya belum pernah ke Sentani dan sama sekali tidak punya bayangan tentang bagaimana keadaan daerah itu, meskipun pada tahun sebelumnya saya pernah diminta Pak Toni untuk membuat naskah narasi untuk profil video Sentani dengan melihat foto-foto yang dibuat oleh Pak Toni, saya harus mengunjunginya untuk menggali lebih banyak. Mungkin dengan begitu saya malah mendapat akses ke hal-hal yang belum diketahui oleh umum.

Menginap di Hotel Sentani Indah, yang waktu itu dimiliki oleh Grup Merpati yang juga mengoperasikan maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines, di Jl. Raya Hawai, Sentani, saya dan Pak Toni, dengan didampingi general manager hotel serta satu prajurit anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD berpakaian sipil—yang diminta oleh GM Hotel Sentani Indah, lantaran khawatir akan keselamatan dirinya, mengingat ancaman dari Organisasi Papua Merdeka yang mungkin berkeliaran di daerah-daerah terpencil, pun blusukan ke sejumlah lokasi yang menawarkan saya pengetahuan akan sejarah, budaya, dan kekayaan alam Papua, khususnya Sentani. Salah satu daerah yang saya kunjungi itu adalah Kampung Genyem di Distrik Ebungfau, Kabupaten Jayapura.

Genyem merupakan lokasi hutan lindung, yang dihuni berbagai jenis burung cendrawasih dan burung-burung langka lainnya. Di tempat ini juga terdapat satu suku yang ondoafi-nya menjadi tujuan saya dan Pak Toni untuk mendapatkan informasi lengkap tentang kampung di sebelah selatan Danau Sentani itu. Ondoafi, atau “ketua adat”, Genyem itu saya temui di rumah beliau. Kami memanggilnya “Pak Martinus”.

Ada satu bagian dari penuturan Pak Martinus yang menggugah saya dan Pak Toni selaku anggota SUBUD. Sang ondoafi bercerita tentang bagaimana alam akan membalas perbuatan buruk seseorang.

Penuturan beliau itu berawal dari pertanyaan saya, apakah di Genyem ada kasus-kasus kriminal. Pak Martinus bergurau bahwa kejahatan yang terjadi di kampung yang beliau pimpin biasanya dilakukan orang Jakarta. Kemudian dengan serius beliau menuturkan bahwa kejahatan jarang terjadi di komunitas adat yang beliau ketuai. Hal ini dikarenakan masyarakat setempat amat takut pada “sumpah adat” yang akan menggerakkan alam untuk membalas pelaku kejahatan dengan hukuman yang tak jarang berujung maut!

Bagaimanapun, dalam lima tahun terakhir (2004-2009) pernah ada kasus pembunuhan yang melibatkan lima warga komunitas adat, dan korbannya juga adalah warga setempat. Pak Martinus memaparkan bahwa kasus pembunuhan itu terungkap ketika satu warganya ditemukan tak bernyawa di kebun miliknya. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan korban dianiaya sebelum dibunuh. Karena tidak ditemukan jejak-jejak yang mengarahkan pihak berwenang kepada (para) pelaku, keluarga korban pun mendatangi ondoafi untuk menuntut balas.

Menurut Pak Martinus, keberadaan penegak hukum resmi dari pemerintah diakui tetapi masyarakat memilih mengadukan suatu kasus kriminalitas yang memakan korban jiwa kepada ketua adat mereka, mungkin karena cara primitif lebih manjur daripada cara modern, yaitu melalui penyelidikan dan pemidanaan hukum.

Lalu, apa yang diharapkan masyarakat setempat dapat diperbuat oleh ondoafi untuk mencegah para pelaku kejahatan lolos dari hukuman yang setimpal? Begitulah kira-kira pertanyaan saya. Jadi, setelah ondoafi menerima laporan dari keluarga dari warganya yang menjadi korban pembunuhan, kepadanya dimohonkan agar dilakukan sumpah adat. “Melalui sumpah adat, saya serahkan pada... pada... pada apa yang Anda sebut ‘Tuhan’ itu,” ujar Pak Martinus dengan yakin. Pak Toni, yang duduk di sebelah saya di ruang tamu rumah sang ondoafi, menoleh sejenak ke saya dan berbisik, “Kayak SUBUD ya, To?!”

Saya memegang coffee-table book yang untuk
pembuatannya saya harus terbang ke Papua.
Ini pada saat peluncuran buku tersebut di
The Plaza, 30 Januari 2010.
Segera setelah mengucapkan sumpah adat, di mana ondoafi menyerahkan segala sesuatunya kepada apa yang kita di dunia modern sebut itu “Tuhan”, ia pun tinggal menunggu dengan sabar, tawakal, dan ikhlas (menurut bahasa modernnya) apa yang alam akan lakukan. Secara alami, empat orang warga komunitas adat yang dipimpin sang ondoafi mati dengan cara yang berbeda-beda, yaitu dipatuk ular, jatuh dari pohon yang tinggi, tenggelam di Danau Sentani, dan tertabrak truk pertambangan. Menyaksikan satu per satu kawannya mati, pelaku kelima ketakutan dan bersegera mendatangi sang ondoafi untuk menyerahkan dirinya.

Pelaku yang lolos dari pembalasan alam tersebut kemudian diserahkan ke pihak berwajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, tidak semudah itu; ia harus membayar “uang kepala” kepada keluarga korban, berupa penyerahan batu kapak Sentani yang bahannya mirip batu yang digunakan untuk akik. Batu kapak merupakan benda budaya yang lazim digunakan warga Sentani sebagai alat tukar atau mas kawin. Batu kapak terbuat dari batu berwarna hijau yang berasal dari Pegunungan Cyclops, barisan perbukitan yang melatari Danau Sentani di sebelah utaranya. Satu batu kapak bisa mencapai nilai nominal Rp150 juta.

Dari rangkaian penuturan sang ondoafi Kampung Genyem pada hari itu, saya berkesimpulan bahwa “berserah diri dengan sabar, tawakal, dan ikhlas” sudah menjadi cara hidup (way of life) masyarakat primitif, meskipun mereka mungkin tidak memiliki konsep Tuhan sebagaimana yang diyakini oleh umat agama-agama “modern” dan tidak memahami teknik-teknik kepasrahan yang oleh manusia modern dikatakan “baru”.©2019



Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 5 Maret 2019

No comments: