Sunday, October 19, 2008

Ilmu (Tidak) Pasti

“Ketika engkau menerima tanpa membantah dan merasakan kelezatan ridha dalam suasana bencana, maka kenikmatan-kenikmat an akan datang padamu dari segala penjuru dan tempat.”

—Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jailani, Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydl ar-Rahmani—Renungan Sufi (Yogyakarta: Pustaka Al-Furqan, 2006)


Minggu, 12 Oktober 2008 merupakan hari yang istimewa bagi saya. Istimewa bukan karena saya berulang tahun. Bukan pula karena saya memenangkan suatu hadiah yang bernilai tinggi. Namun karena pada hari itu saya melalui serangkaian kejadian yang membawa saya kepada kepahaman bahwa yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian. Bahkan ilmu pasti saja tidak bisa dibilang seratus persen pasti. Justru ketidakpastianlah yang mendorong aktivitas penggalian ilmu pengetahuan terus-menerus.

Hari itu saya awali dengan memenuhi janji bertemu dengan seorang kawan di Wisma Subud, Cilandak, Jakarta Selatan. Kawan itu bukan anggota Subud; saya memilih lokasi pertemuan di situ karena suasananya tenang dan tentram. Kawan itu adalah rekan saya semasa kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI dahulu. Sudah 15 tahun kami tak bersua.

Kawan saya itu datang bersama ketiga anaknya. Kepada saya ia bertutur bahwa perkawinannya kandas karena istrinyayang tak kuat menanggung hidup penuh perjuangan dan ingin buru-buru kayaberselingkuh dan kemudian menuntut cerai setelah perselingkuhannya diketahui oleh suaminya. Kawan itu ikhlas memaafkan istrinya dan mengharapkan mereka tak perlu bercerai. Meski akhirnya bercerai juga, kawan saya itu tetap memaafkan istrinya. “Aku tak akan menghukummu. Biarlah Tuhan yang melakukan itu,” kata kawan saya menirukan perkataannya sendiri saat ia mengetahui perihal perselingkuhan istrinya.

Setelah itu, (mantan) istrinya kerap mengalami nasib buruk dalam hidupnya, sementara kawan saya merengkuh kebahagiaan bersama ketiga anaknya yang ia besarkan seorang diri. Keikhlasan, kata kawan saya itu, ternyata memudahkan hidupnya. Rezeki datang bertubi-tubi dan ia tak henti-hentinya mensyukuri pengalaman menyakitkan hati itu.

Usai ia menuturkan pengalamannya, giliran saya yang bercerita. Saya berkisah mengenai pengalaman ‘meraup kesuksesan’ dalam beberapa bulan belakangan ini yang sungguh di luar perkiraan saya. Ia begitu terkesan pada kisah saya, yang mengingatkannya pada buku Rhonda Byrne, The Secret – Rahasia (Cetakan V, Jakarta: Gramedia, 2008), sehingga buku yang saat itu kebetulan dibawanya ia pinjamkan ke saya.

Pada akhirnya, kami sama-sama berkesimpulan bahwa tidak ada yang perlu benar-benar diperjuangkan atau dipertahankan mati-matian, karena bagi orang-orang yang berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, segala sesuatu sudah diatur pemberiannya oleh Tuhan. Tugas kita hanyalah menjalani hidup ini sebagaimana tuntunanNya. Tidak pula perlu menangisi kegagalan atau merayakan keberhasilan, karena itu semua sudah pasti hukumnya: Serba tidak pasti.

Jangan bersusah hati jika gagal, karena gagal adalah sukses yang tertunda, kata orang pada umumnya. Pengalaman saya menuturkan bahwa pada frase yang cukup populer ini perlu ditambahkan kalimat: “Sebaliknya, jangan takabur bila sukses, karena sukses adalah gagal yang tertunda!” Tidak ada yang pasti dan abadi dalam hidup ini kan?! Kata orang Jawa, dalam melakoni hidup kita mesti senantiasa eling lan waspada (ingat dan siaga menghadapi segala kemungkinan) .

Setelah kawan saya pergi, saya bergabung dengan para anggota Subud pria yang duduk bertatap muka di sebelah selatan Hall Subud Cilandak, mendengarkan penuturan salah seorang saudara Subud saya yang baru didera penyakit stroke. Seperti maut, kata saudara Subud yang sudah cukup sepuh itu, penyakit datang tanpa aba-aba, dalam keadaan yang tak terduga. Saudara Subud itu baru selesai salat ketika stroke menyerangnya. Tidak ada yang pasti, tidak ada yang dapat diduga sebelumnya. Seperti itulah musibah datang menghampiri kita. Bagaimanapun, saudara Subud itu berkata, dengan tawa lebar terurai di mulutnya, “Ini pengalaman yang mengasyikkan!” Saya kira, hanya orang-orang yang memiliki sikap penyerahan diri yang dibarengi kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan sajalah yang mampu memaknai musibah sebagai nikmat.

Dalam perjalanan pulang dari Wisma Subud, saya melewati jalan kecil satu arah yang menghubungkan Jalan Kemang Utara dengan Jalan Bangka XI, Jakarta Selatan. Berlawanan arah dengan saya, seorang pria bersosok macho dengan badan tegapnya dibalut kaos oblong ketat yang menonjolkan otot-ototnya serta mengenakan kacamata gelap memacu sepeda motornya dengan gagah. Ia menancap gas seolah ingin menerjang semua kendaraan bermotor di sekitarnya. Namun yang diterjangnya malah gundukan ‘polisi tidur’ tanpa marka, yang tanpa ampun membuat sepeda motornya terjungkal dan pengemudinya terpelanting, terseret dan berhenti tepat di depan sepeda motor saya.

Saya mengerem dan turun untuk menolong pria itu bersama dua orang lainnya yang kebetulan lewat. Si pria yang tadinya gagah perkasa dengan tampang sangar berkacamata gelap dalam sekejap berubah menjadi seperti anak kecil, menangis dan meraung-raung kesakitan. Pergelangan kaki kirinya patah dan berdarah-darah, tubuhnya berguncang akibat syok. Saya tak henti-hentinya beristighfar menyaksikan semua itu. Saya menyaksikan bagaimana nasib mengubah dirinya semudah membalikkan tangan. Hal itu bisa menimpa siapa saja: saya, Anda, kita semua – sekarang atau nanti…

Sampai di rumah, bayangan akan ‘serba tidak pasti’-nya hidup ini memenuhi kepala saya. Di situ saya memahami, bahwa sejatinya kita tidak punya daya apa-apa. Semua sudah diaturNya. Kita tinggal menjalani saja. Selagi kepala saya masih dipenuhi bayangan itu, seorang sepupu saya bercerita tentang temannya yang berkakak-kandungkan seorang pejabat tinggi di lingkungan militer. Temannya itu mengandalkan kekuasaan kakaknya untuk menjungkirbalikkan sistem hukum, memenangkan tender-tender dan seabrek tindakan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Saya turut mendengarkan tuturan sepupu saya yang bersemangat itu serta memberi kesan, “Jangan khawatir, kalau kamu dekat sama dia, semuanya pasti beres!”

Tidak! protes saya dalam hati. Setelah menyaksikan serangkaian kejadian yang memberi saya kepahaman bahwa satu-satunya yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian, saya rasa lebih baik dekat dengan Tuhan ketimbang dengan sesama makhluk. Karena Tuhan bersifat pasti, sedangkan yang selain dari Dia lekang oleh masa.©

2 comments:

tongsampahtumah said...

ikhlas, cuma satu kata, tapi susah mas. Apalagi pas punya masalah, susah tuh mas. hehe, ada nasehat dari seseorang "masalah itu layaknya gelas kosong yang enteng ketika dipegang sebentar, tapi kalo dipegang seharian (dipikirkan terus) bikin cape kan? coba ditaruh dimeja (serahkan ke Allah) lebih ringan toh"

Anonymous said...

terjadinya ikhlash itu bagaimana sih mas...?
kita berusaha ikhlas terus kita bisa berikhlash...
atau kita diberi kesadaran rasa iklhash baru kita bisa ikhlash


salam