Tuesday, October 28, 2008

Dosa Turunan

Sebagai manusia biasa kita sering khilaf dan sering pula tidak ingat/tidak sadar akan kesalahan yang kita perbuat pada orang lain. Namun adakalanya kita malah marah bila diingatkan tentang kesalahan kita pada orang lain yang tidak kita sadari itu. Nah, bagaimana caranya kita bisa mengetahui apa kesalahan kita, orang tua kita, atau bahkan beberapa generasi di atas kita yang sudah tiada ketika kita dilahirkan ke dunia? Sejumlah kerabat saya protes, "Lho, kita kan nggak tau tentang kesalahan leluhur kita, kan kita belum lahir -- atau nggak nyaksiin langsung -- masak kita kena getahnya? Nggak fair, dong!"

Tahukah Anda bahwa dosa leluhur bisa menurun ke kita? Dosa di sini jangan semata-mata diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah Tuhan, tapi, lebih luas lagi, bermakna 'sifat-sifat yang tidak diinginkan'. Saya dulu tidak percaya, tapi setelah menonton VCD serial Harun Yahya mengenai kromosom, saya jadi yakin bahwa bukan hanya penyakit yang bersifat menurun (genetis), tapi juga sifat (attitude) dan perilaku (behavior). Tidak mesti langsung dari orang tua, namun bisa dari kakek/nenek buyut, bahkan bergenerasi di atasnya lagi. Susahnya, kita bukan bangsa yang suka mendokumentasikan segala sesuatu, sehingga sejarah keturunan kita seringkali susah dilacak. Paling banter berhenti pada kakek-nenek buyut.

Kita berpotensi menerima turunan sifat dan perilaku dari great-great-great-great-great-grandfather, lho. Seorang saudara Subud saya pernah mengamati bakat kepahaman spiritual saya yang dia nilai 'terlalu tinggi untuk orang yang baru menempuh Jalan Spiritual'. Saya juga heran kenapa bisa begitu. Saudara itu menyarankan saya untuk mencari tahu, atau menerima petunjukNya. Tuhan pun menunjukkan jalannya kepada saya: dalam acara resepsi pernikahan sepupu saya dari pihak ibu yang berasal dari Aceh saya bertemu dengan kerabat sepuh yang memberitahu saya, bahwa leluhur saya adalah seorang Sufi dari Irak pada sekitar abad ke-12 Masehi. Beliau termasuk ulama yang mendakwahkan Islam di Aceh. Dari situ saya mengerti dari mana bakat spiritual saya berasal, walaupun secara pribadi saya tidak pernah mengenal sang Sufi leluhur saya itu.

Coba Anda perhatikan, deh. Nabi Muhammad SAW dan Yesus itu kan juga memiliki genealogi (silsilah) kenabian yang berakar pada Nabi Ibrahim (Abraham). Jadi, tidak mungkin/sulit dipercaya jika seseorang yang tidak memiliki genealogi kenabian bisa menjadi nabi/orang suci. Seseorang di zaman ini bisa lho menyerap sifat kriminal dari leluhurnya yang mungkin penjahat mashur berabad-abad yang lalu. Atau kalau leluhurnya raja, bisa jadi bukan gelar raja yang diwarisi keturunannya sekarang, melainkan sifat sombong, arogan, sok kuasa bak seorang raja. Kalau dapat yang enak sih asik-asik saja. Tapi bagaimana kalau Anda mewarisi sifat buruk? Atau, Anda tahu dari seseorang bahwa leluhur Anda tidak seperti yang Anda bayangkan?

Saya baru-baru ini mengalami yang tersebut terakhir. Kamis, 19 April 2007, saya sedang berada di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, kampung halaman ayah saya. Saat jalan-jalan [kaki] ke kawasan wisata Baturaden, saya mampir di sebuah warung makan yang menyajikan ketupat sayur Jakarta. Singkat kata, terjadilah dialog antara saya dengan si penjual, seorang ibu, warga setempat, berusia sekitar 50an tahun. Dia pernah ke Jakarta, diajak kerja pada seorang ajudan jendral bernama Pak Slamet. Dia mengeluh, "Masya Allah, Dik, istri Pak Slamet itu jahatnya minta ampun. Masak saya dituduh mencuri celana. Saya dicaci, dihina, astaghfirullah 'aladziim. Saya pun sebal sama orang yang mengajak saya kerja ke Jakarta."

Setelah saya memberitahu bahwa saya berasal dari Jakarta, tinggal di Mampang dan selama di Purwokerto saya menginap di rumah paman saya yang bernama Pak Darisan (juga di Baturaden), si ibu bilang, "Nah, Dik, Pak Darisan itu yang mengajak saya ke Jakarta. Pak Slamet yang ajudan jendral itu kakaknya Pak Darisan!" Saya terperanjat. Masya Allah, 'istri Pak Slamet yang jahat' yang dimaksud ibu itu tak lain dan tak bukan adalah ibu kandung saya!!!

Ditilik dari tahun si ibu itu kerja sebagai pembantu bagi orang tua saya menunjukkan bahwa saya saat itu belum lahir. Tapi kini saya harus mendengar sendiri cerita seseorang yang menyaksikan sifat buruk ibu saya. Alamak... seperti menelan kedondong bulat-bulat... sakit sekali hati saya. Tapi saya lalu berserah diri; saya serahkan kepada Tuhan apa pun yang pernah diperbuat orang tua saya pada orang lain dan saya mendoakan agar arwah ibu saya diampuni dan diterima di sisiNya. Dengan begitu, saya menghindari kebencian/dendam yang menyesakkan dada, merugikan diri sendiri. Walhasil, si ibu bilang, "Tapi, Dik, itu udah masa lalu. Saya udah memaafkan Bu Slamet, semoga Allah mengampuniNya." Alhamdulillah ya robbal alamin. Dan saya kian memuja Ke-MahaKasih-an Allah SWT ketika si ibu berbaik hati menitipkan ketupat sayur dan bubur kacang ijo untuk paman saya. Gratis!

Semudah itu caranya membersihkan dosa-dosa (dalam arti luas seperti di atas)? Iya. Cukup berserah diri kepada Tuhan -- segalanya berasal dari Dia dan kembali kepadaNya, karena menurut Hadis Qudsi (yang diriwayatkan kepada Thabrani r.a.), tidak ada yang menimpa manusia kecuali dengan izinNya. Al Qur'an juga mencantumkan firman Allah yang berbunyi, "Aku menyesatkan siapa pun yang Aku kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa pun yang Aku kehendaki." (QS Ibrahim [14]: 4) Tapi kita perlu sabar, ikhlas dan tawakal dalam menghadapi kenyataan tentang 'dosa turunan' yang hinggap pada diri kita.©


Jakarta, 29 Oktober 2008.

No comments: