Sunday, October 19, 2008

Honor Illahiah


“Meramu kekayaan dan kebahagiaan menjadi keikhlasan adalah sebuah pencapaian spiritual.”

—Gede Prama


Pada awal tahun 2008 ini, saya menerima order pekerjaan dari PT Santano Rekamedia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan, event management dan publisitas, untuk menulis laporan tahunan (annual report) 2007 bagi klien dari perusahaan yang berlokasi di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, tersebut. Klien PT Santano sendiri adalah PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim) yang kegiatannya berpusat di Bontang, Kalimantan Timur. Setelah nilai nominal honor saya sebagai freelance copywriter disepakati dan dilegalisasi melalui dokumen Perjanjian Kerja Sama tertanggal 18 Januari 2008, yang ditandatangani oleh account manager PT Santano Rekamedia di atas meterai senilai Rp 6.000,- maupun oleh saya sendiri, saya memulai kegiatan pengumpulan data dan penulisan laporan tahunannya dalam dua versi bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris.

Bagi saya, nilai nominal honor yang bakal saya terima dari pengerjaan laporan tahunan itu cukup memadai untuk membuat benak saya menyusun sejumlah perencanaan mengenai apa yang akan saya lakukan dengan uang tersebut. Saya berencana membeli komputer desktop PC dan serangkaian perlengkapannya seperti printer, speaker dan perangkat lunak untuk desain grafis dan Web, serta memasang jaringan Internet padanya. Semua itu dalam rangka untuk mendukung profesi saya sebagai pekerja kreatif freelance yang ingin bekerja di SOHO (small office, home office). Sejumlah kerabat dan relasi menyarankan saya agar membeli laptop PC saja ketimbang desktop PC, mengingat bahwa sebagai freelancer saya harus bergerak ke sana ke mari. Maka saya memohon petunjuk kepada Tuhan, mana yang sebaiknya harus saya pilih.

Nilai nominal honor itu pula yang membuat saya bekerja ekstra keras, mengabaikan waktu dan kesehatan saya secara fisik maupun mental. Banyak hal harus saya korbankan untuk itu. Waktu makan dan istirahat saya menjadi tidak teratur, yang menyebabkan kambuhnya sakit maag saya. Relasi sosial saya terganggu, karena jam kerja saya nyaris memakan waktu seharian penuh. Bahkan ketika menjelang tenggat waktu yang ditetapkan, saya dituntut untuk bekerja lembur hingga pukul 4 pagi keesokan harinya, sedangkan siangnya saya mesti mengejar bus ke Surabaya. Saya rela melakukan itu semua demi honor yang telah disepakati dan dilegalisasi oleh dokumen Perjanjian Kerja Sama antara saya dan PT Santano Rekamedia.

Pasal 5 dari dokumen Perjanjian Kerja Sama itu membahas soal pembayaran honor saya, yang berbunyi: “Pembayaran dilakukan PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA jika seluruh pekerjaan baik itu data collecting dan penulisan yang disetujui selesai, termasuk persyaratan administrasi dilengkapi PIHAK KEDUA dengan jumlah Rp xx 000.000 (xx juta rupiah) akan dibayar setelah 30 hari kerja dari pengiriman master penulisan.” Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan hasil akhirnya…

Saat semua pekerjaan saya tuntas, termasuk revisi-revisinya, benak saya makin berbinar-binar dengan jumlah uang yang sebentar lagi bakal mengisi dompet saya. Tetapi angan-angan tinggallah angan-angan, tak pernah sampai di tangan. Hampir enam bulan telah berlalu dari tenggat waktu kesepakatan pembayaran saya, namun PT Santano Rekamedia tak kunjung membayarkan honor saya. Seribu satu macam alasan dilontarkan oleh staf bagian keuangannya, antara lain bahwa Pupuk Kaltim sendiri terlambat membayar PT Santano.

Namun, ajaibnya, semua yang pernah saya rencanakan di benak saya, saat pertama kali tercapai kesepakatan antara saya dengan PT Santano terkait dengan nilai nominal honor saya, telah menjadi kenyataan. Hebatnya lagi, saya tak perlu bersusah-payah membuat pertimbangan antara membeli desktop PC atau laptop PC, karena, akhirnya, keduanya jatuh ke tangan saya. Uang yang dijanjikan PT Santano belum dibayarkan ke saya, tetapi semua yang ingin saya beli dengan uang tersebut kini telah masuk inventaris kepemilikan saya. Saya bahkan tidak merasa telah mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkan semua itu. Sebagian bahkan nyata-nyata merupakan pemberian orang, dengan alasan sederhana: “Karena Mas Anto membutuhkannya.”

Beberapa orang yang saya ceritakan mengenai mukjizat yang saya alami ini menyarankan saya agar membaca buku Rhonda Byrne, The Secret—Rahasia (Jakarta: Gramedia, 2008). (Aneh ya? Saya disarankan membaca teori tentang sesuatu yang telah saya praktikkan tanpa landasan teori sama sekali!) Saya telah membacanya sepintas dan tidak pernah menuntaskan pembacaannya, karena menimbulkan pusing tujuh keliling di kepala saya. Alasannya, buku The Secret mengutak-atik sesuatu yang masih bersifat teoritis, yaitu Hukum Tarik-Menarik (the Law of Attractions), dan bahkan merupakan rekaan sejumlah orang yang menafikan eksistensi Illahiah pada segala sesuatu. Dalam bahasa Subud-nya, The Secret adalah hasil olah akal pikir yang, menurut saya, keterlaluan. Bandingkan dengan 11th Element-nya Robert Scheinfeld, yang tidak mengajukan teori apa pun terkait pengalaman-pengalam an seperti yang saya lalui ini. Scheinfeld hanya menganggapnya sebuah fenomena alami. Ia memang tidak mengimani Tuhan yang dikenal kalangan umat beragama, tetapi ia tidak menafikan eksistensi sesuatu yang lebih besar di balik kehidupan manusia, yang tidak terjelaskan melalui pelbagai istilah atau bahasa, namun ada, hidup, dan bekerja untuk kemaslahatan umat manusia.

Segala jerih-payah saya memang belum dibayar oleh PT Santano, tetapi Tuhan yang maha ‘ada, hidup dan bekerja’ mengisi kas rumah tangga saya dengan honor Illahiah. Betapa pun apa yang saya alami ini cukup membuat saya marah, jengkel dan menyesal, namun sejatinya pengalaman ini memberi saya keinsafan bahwa kita tidak sepatutnya menggantungkan harapan pada sesama makhluk serta mempertegas kenyataan bahwa manusia bisanya hanya berencana, sedangkan yang mengatur pengimplementasiann ya adalah Tuhan. KepadaNya kita serahkan segala urusan kita – itulah makna dari berserah diri.

Hingga kini, saya masih mengupayakan agar PT Santano Rekamedia bersedia membayarkan honor saya. Namun upaya ini utamanya dilandasi niat untuk mengikhlaskannya, sehingga apa pun hasilnya kelak, insya Allah bisa saya terima dengan lapang dada. Suara sang jiwa pun berkata kepada saya, “Tidak usah disesali. Bukankah yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan?”©

P.S.: Tulisan ini memiliki dua maksud. Pertama, sebagai sarana berbagi pengalaman, di mana Anda barangkali dapat memperoleh hikmah darinya. Kedua, sebagai peringatan agar Anda berhati-hati dalam menjalin kerja sama dengan pihak lain, utamanya yang melibatkan properti intelektual serta energi Anda dan di dalam kerja sama ini terjadi kesepakatan mengenai pembayaran honor.

3 comments:

Anonymous said...

terima kasih mas atas tulisannya, sungguh sgt bermanfaat
kita memang harus waspada dalam bekerjasama dgn siapapun

Anonymous said...

setelah saya baca tulisan mas diatas...saya hanya bisa berdoa... semoga keajaiban yang mas alami...dapat menular kepada diri saya...
Karena saya juga berususan dengan pihak PT. Santano Rekamedia pada akhir tahun 2008. Ketika menegerjakan event Kemilau Nusantara, BSBI 2008, dan Braga Festival 2008.
Untuk yang Kemilau nusantara saya hanya bisa mengurut dada saja...tenaga saya hanya dihargai 250 rb plus harus nunggu 2 bulan setelah event...padahal saya bekerja 2 minggu sebelum event secara terus menerus...dan ketika event pun demikian..
Apalagi event Braga Festival ini...honour saya belum dibayar..sampai detik ini... padahal event braga festival 2008 dilaksanakan 30-31 desember 2008...(hampir 5 bulan...tuh...)

Arifin Dwi Slamet said...

Honor saya akhirnya dibayarkan, pada pertengahan bulan Desember 2008, setelah saya nyatakan kepada Bagian Keuangan PT Santano Rekamedia bahwa saya akan berbicara dengan pemilik perusahaan, Pak Oyong. Bagian Keuangan akhirnya meminta maaf dan berterus terang bahwa honor saya sebelumnya telah digunakan untuk pre-financing proyek lain mereka!