Friday, January 14, 2011

Petaka Perkataan


"Setiap hari dari hidup kita kita menabung di bank pikiran anak-anak kita."
--Charles R. Swindoll, The Strong Family


Kawan saya adalah seorang pria yang sopan dalam bertutur kata dan bertindak. Dengan latar belakang pendidikan di bidang akuntansi yang gelar akademisnya ia raih di sebuah universitas di Inggris, ia menjabat direktur external relations dari sebuah perusahaan pertambangan minyak bumi yang berbasis di Jakarta.

Dengan perilaku dan jabatan semacam itu, kawan saya seharusnya tak mengalami kendala dalam berhubungan dengan orang lain serta mengambil keputusan atau inisiatif. Seharusnya!

Tetapi, ternyata tidak demikian kenyataannya. Saya sendiri heran. Dengan gelar akademis dari universitas di luar negeri, dalam persepsi saya, seharusnya ia mewujud sosok yang tangguh, cerdas dan cergas serta tak ragu dalam memotori orang banyak dengan keberanian mengambil inisiatif dan keputusan lantaran berani bertanggung jawab. Yang saya lihat malah dirinya selalu diliputi keraguan dan tidak bergerak kalau ‘pantatnya tidak ditendang’. Ada apa? Mengapa bisa begitu?

Baru-baru ini, saya memperoleh jawabannya. Ia bercerita bahwa di keluarganya ia merupakan anak yang diremehkan kemampuannya, bukan saja oleh saudara-saudaranya, tetapi bahkan oleh orang tuanya, terutama ayahnya. Dan itu sudah berlangsung sejak ia masih kecil. Ia bahkan sempat mengalami depresi sebagai akibatnya. Terbukti dari ceritanya, perkataan saja bisa membawa petaka.

Ketika kepadanya dipercayakan tanggung jawab pelaksanaan tugas di organisasi di mana kami berdua menjalankan fungsi sebagai pengurus nasionalnya, dengan disertai dorongan semangat bahwa dirinya tidak seperti yang dikatakan keluarganya, ternyata ia dapat memenuhinya dengan baik, bahkan mengagumkan. Ketua umum organisasi yang menugaskan kawan saya itu berujar bahwa kondisi dirinya tidak ditentukan oleh apa yang dikatakan orang lain padanya. “Jangan biarkan penilaian orang menghambat kemajuan lu,” kata si ketua umum.

Kita menjadi apa yang kita pikirkan tentang diri kita, demikian ungkapan orang bijak. Karena itu, jangan diperburuk oleh apa yang menjadi pikiran orang lain terhadap diri kita.

Perkataan memang terkesan sepele, tetapi dayanya ternyata dapat berdampak pada psikologi orang ke mana perkataan itu ditujukan. Bukan saja kepada anak-anak, namun juga kepada orang dewasa. Apalagi kepada anak-anak, yang sedang dalam masa pertumbuhan, di mana apa saja yang ditawarkan oleh lingkungannya, baik secara sadar maupun tidak, bakal terserap olehnya. Katakanlah hal-hal buruk pada anak Anda, niscaya ia akan cepat mempercayainya dan bahkan tercamkan di pikirannya, seolah hal-hal itu merupakan kebenaran yang mutlak.

Waktu saya kecil, kepada saya dikatakan oleh orang tua saya bahwa berimajinasi itu tidak baik dan buang-buang waktu saja. Saya memang suka melamunkan hal-hal yang di luar jangkauan saya. Untungnya, saya mengabaikan perkataan orang tua saya, karena setamat kuliah saya menekuni profesi di mana berimajinasi justru merupakan salah satu syarat utama untuk berhasil, yaitu sebagai praktisi kreatif periklanan.

Dari pengalaman ini, saya menyadari betapa beratnya tugas sebagai orang tua. Apa pun yang dikatakannya kepada anak-anaknya akan menentukan masa depan mereka. Jika yang dikatakannya baik, niscaya anak-anaknya akan tumbuh sesuai perkataannya. Sebaliknya, bila yang dikatakannya buruk, anak-anaknya akan menjadi pula sesuai yang dikatakannya.

Wahai para calon ayah, berhati-hatilah dengan apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda kelak. Jangan sampai perkataan Anda membawa petaka bagi hidupnya.


Tulisan ini merupakan artikel saya untuk rubrik "Calon Ayah" di tabloid Gen@.

No comments: