Saturday, April 25, 2009

“Pakai Otak atau Buang Saja!”


“Otak adalah organ yang sangat hebat. Ia mulai bekerja pada
saat Anda bangun pagi dan tidak berhenti sampai Anda tiba di kantor.”
—Robert Frost (1874-1963)


Mendiang ibu saya adalah orang Aceh yang nenek-moyangnya berasal dari Irak dan Gujarat, India Selatan. Bisa dimaklumi bila semasa hidup beliau sering memasak menu khas Asia Selatan dan Timur Tengah, terutama yang bertema kari. ‘Teman makan kari’ biasanya adalah roti jala atau roti cane. Kebiasaan itu tampaknya sudah berlangsung lama hingga dianggap sebagai suatu konvensi: pelengkap makan kari adalah roti jala/cane, atau, sebaliknya, jika mau menyantap roti jala/cane, harus pakai kari.

Kari yang umumnya dianggap khas Timur Tengah adalah yang mengandung daging kambing. Saya tidak suka daging kambing, sehingga apabila ingin menikmati roti jala/cane saya tambahkan dengan kari ayam atau, bila tidak tersedia, dengan menu berkuah lainnya. Suatu kali, saya siram sepiring penuh roti jala dengan sup jagung, yang karuan saja membuat para tetua di keluarga saya membelalakkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala, seakan saya baru saja melanggar adat-istiadat leluhur.

Sajian yang keluar dari zona kebiasaan makan tradisi Timur Tengah dan Asia Selatan itu tetap terasa lezat di lidah saya, dan secara tak sadar rupanya saya telah melakukan senam otak yang sangat bermanfaat bagi generasi Baby Boomers seperti saya.

Keluar dari rutinitas adalah tema sentral yang dikemukakan Lawrence C. Katz, Ph.D. dan Manning Rubin dalam buku yang mereka tulis bersama, Keep Your Brain Alive – 83 Neurobic Exercises to Help Prevent Memory Loss and Increase Mental Fitness (New York: Workman Publishing Company, 1999).

Menurut Katz, yang profesor biologi saraf di Duke University Medical Center dan peneliti pada Howard Hughes Medical Institute itu, otak yang jarang diberdayakan berpotensi melemah. Ia menulis di halaman 20: “Pakai atau buang saja – use it or lose it”. Otak yang aktif adalah otak yang sehat, sementara ketiadaan aktivitas mengurangi kebugaran otak. Untuk membantu meningkatkan kebugaran otak kita, Katz dan Rubin – yang tersebut kedua adalah seorang copywriter dengan pengalaman lama di biro-biro iklan besar seperti Grey dan J. Walter Thompson – menciptakan metode pemberdayaan otak yang mereka sebut neurobics, paduan kata neuro (saraf) dan aerobics (senam). Tujuan dari neurobics dan latihan-latihan berikutnya adalah memberi kita cara yang seimbang, nyaman dan menyenangkan untuk merangsang otak kita. Neurobics merupakan program saintifik yang akan membantu kita untuk memodifikasi perilaku kita dengan memperkenalkan hal-hal yang tidak terduga pada otak kita serta melengkapi bantuan dari semua indra kita ketika kita berkegiatan sepanjang hari.

Usia 40-50 tahun yang hinggap pada generasi Baby Boomers sekarang ini merupakan usia yang rentan terhadap kelupaan dan kelambanan berpikir. Penyebabnya, terutama, adalah tingginya tingkat rutinitas yang mereka lewati sehari-hari. Pada usia ini kebanyakan kita lebih suka berada di zona kenyamanan, bebas dari tantangan, serta enggan bersentuhan dengan hal-hal baru. Kita pun berubah menjadi robot, yang menjalani hidup dengan hal-hal, keadaan dan kegiatan yang sama, tanpa keinginan untuk sesekali atau senantiasa mengubahnya. Tulis Katz di halaman 22, “Otak manusia secara evolusioner dipersiapkan untuk mencari tahu dan merespons segala sesuatu yang tidak terduga atau baru – informasi baru yang masuk dari dunia luar yang berbeda dari apa yang diharapkannya. Itulah yang membuat otak bekerja. Sebagai respons atas kebaruan, aktivitas selaput otak meningkat di lebih banyak dan di berbagai area otak. Hal ini memperkuat koneksi-koneksi sinaptis, mengaitkan berbagai area secara bersama-sama dalam pola-pola yang baru, dan memompa produksi neurotrofin (molekul pertumbuhan otak yang diproduksi secara alami di dalam otak).”

Rata-rata kita menganggap bahwa dengan mendengarkan lebih banyak musik, menonton televisi lebih sering, atau dipijat, yang merangsang organ-organ pengindraan kita, akan membuat kesehatan otak menjadi lebih baik. Namun, bagaimanapun, stimulasi pasif semacam itu rupanya tidak bekerja sebagaimana neurobics, begitu pula dengan mengulang kegiatan-kegiatan rutin yang sama. Neurobics tidak pasif maupun rutin. Ia menggunakan indra-indra kita secara baru untuk keluar dari rutinitas kita setiap hari.

Sebagian besar – jika tidak bisa dikatakan semua – pekerjaan kita bersifat rutin dan memantangi kebaruan. Bahkan departemen kreatif di biro-biro iklan yang kerap diklaim sebagai sarangnya makhluk-makhluk kreatif tak terhindar dari rutinitas yang mematikan kreativitas. Seorang copywriter pernah mencoba mengoreksi saya sehubungan dengan kepala naskah sebuah iklan kolom yang saya buat, yang menggunakan tanda koma pada akhir kalimatnya, alih-alih titik atau tidak menggunakan tanda baca sama sekali. Saya menaruh koma itu sekadar untuk menampilkan sesuatu yang baru, karena iklan tersebut tidak menggunakan gambar, selain bahwa hingga saat itu tak pernah terlihat kepala naskah yang mencantumkan tanda koma pada penutup kalimatnya. Terbukti kemudian bahwa iklan kolom itu menarik perhatian pembaca, justru berkat koma yang ‘tidak pada tempatnya’ itu. Tindakan semacam ini dianjurkan Katz dan Rubin. Tulis mereka di halaman 32, “Dengan hanya melakukan perubahan-perubahan kecil di dalam kebiasaan-kebiasaan sehari-hari Anda, Anda dapat menjadikan rutinitas-rutinitas setiap hari menjadi latihan-latihan yang ‘membangun pikiran’.” Latihan-latihan ini dapat menjaga agar otak kita tetap hidup, kuat, dan sehat ketika kita semakin tua.

Banyak dari latihan-latihan neurobics menantang otak dengan mengurangi ketergantungannya pada penglihatan dan pendengaran serta mendorong indra penciuman, perasa dan pengecap kita yang jarang digunakan untuk memainkan peran yang lebih besar dalam kegiatan kita sehari-hari. Dengan demikian, jalur-jalur di jaringan asosiatif dari otak kita yang kurang aktif dirangsang, dan meningkatkan fleksibilitas mental kita.

Dalam buku setebal 148 halaman (termasuk catatan belakang dan biodata penulis) ini, terungkap bahwa tidak semua kegiatan kita yang keluar dari rutinitas dapat digolongkan sebagai neurobics. Jika Anda biasa menulis dengan pena, lalu menggantinya dengan pensil, itu tidak tergolong neurobics. Kegiatan tersebut baru bisa dikatakan neurobics jika dalam menulis Anda menggunakan tangan kiri, sementara sebenarnya Anda tidak kidal. Bagi mereka yang tidak kidal, yang mengendalikan pena adalah selaput otak di sisi kiri otak mereka. Ketika mereka menulis dengan tangan kiri, jaringan koneksi, sirkuit, dan area otak yang terlibat dalam menulis dengan tangan kiri, yang biasanya jarang sekali digunakan, kini diaktifkan di sisi kanan otak. Tiba-tiba otak dihadapkan dengan tugas baru yang menantang dan berpotensi menimbulkan frustrasi.

Saya bersyukur kepada Tuhan ketika memperoleh kesempatan membaca buku Keep Your Brain Alive ini. Buku ini memberi saya 'bonus' kepahaman bahwa seharusnya cobaan hidup itu sepatutnya disyukuri, alih-alih ditangisi. Jika saya terus-menerus disodori rutinitas hidup yang bebas dari jerih-payah dan penderitaan, dan terus menggelayut di zona kenyamanan, kemungkinan besar otak saya menjadi lemah dan organ-organ pengindraan saya menjadi tidak peka. Kalau sudah begitu, ya, sebaiknya dibuang saja.©

No comments: