Friday, April 10, 2009

Melihat Dengan Hati

“Kita tahu tentang kebenaran, tidak hanya dengan nalar, tetapi juga dengan hati.”
—Blaise Pascal, (1623-1662)


Beberapa hari yang lalu, saya berniat untuk melakukan Latihan Kejiwaan Subud di kamar tidur saya. Seperti pada latihan-latihan kejiwaan secara bersama-sama, kami, para anggota Subud, biasanya melepas segala perhiasan dan aksesori yang melekat pada badan kami, semata agar tidak menimbulkan halangan ketika kami berlatih kejiwaan, yang pada dasarnya hanya menerima (receive) dengan sabar, ikhlas dan tawakal itu. Saat itu, saya masih mengenakan kacamata baca saya, yang memang sengaja tetap saya kenakan, agar istri saya menegur, “Kok kacamatanya nggak dilepas? Saya jawab sambil bergurau, “Biar nanti Tuhannya kelihatan jelas.”

‘Melihat Tuhan’ merupakan topik yang tidak pernah habis dibahas dalam berbagai diskusi spiritual dan keagamaan. Bagaimana caranya melihat Tuhan yang dipercaya merupakan eksistensi yang gaib, tankasat mata, namun ada? Para guru kebijaksanaan menganjurkan agar kita melihat dengan hati. Sama dengan melihat Tuhan, ‘melihat dengan hati’ adalah tema pembicaraan di kalangan pejalan spiritual yang tak pernah ada selesainya. “Lihatlah dengan hati” adalah salah satu sub-judul dari bab 6 buku Michael Ray, The Highest Goal – Rahasia yang Setiap Saat Menopang Anda (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2006). “Melihat dengan hati” juga adalah judul lagu Deddy Mizwar yang dijadikan original soundtrack-nya film Naga Bonar.

Bagaimana melihat dengan hati, sementara yang selama ini dianggap sebagai alat penglihatan adalah mata? Melihat dengan hati, menurut hemat saya, adalah merenungkan sisi keilahian dari semua keadaan yang melingkupi kehidupan kita maupun kehidupan itu sendiri. Melihat dengan hati adalah meletakkan segala sesuatu yang kita hadapi dalam hidup ini di sisi Tuhan – dengan kata lain, menempatkan apa pun di atas altar keindahan. Mata fisik kita tidak mampu melakukan hal itu. Ketika kita melihat segala keindahan yang ada di dunia ini dengan mata lahiriah kita saja, maka kita cenderung bersikap serakah dan ingin menguasai semua keindahan itu. Sikap itu, sudah tentu, mencelakakan.

Sesuatu bisa dianggap buruk, apabila kita melihatnya dengan mata lahiriah kita. Tetapi begitu pikiran kita hening, kebijaksanaan yang akan mengemuka, dan terbukalah mata hati kita. Pada saat itu, bahkan terbuka kemungkinan bagi kita untuk berkomunikasi dengan Tuhan, dengan sesama kita, dan dengan alam. Dengan hati, kita bisa melihat dengan kepekaan yang tajam.

Mengapa kita perlu membiasakan diri melihat dengan hati? Penulis dan penerbang berkebangsaan Prancis, Antoine de Saint Exupéry (1900-1944), di dalam novelnya yang paling terkenal, The Little Prince, yang diterbitkan pada 1943, menulis, “Hanya dengan hatilah seseorang dapat melihat dengan benar; apa yang esensial tidak terlihat mata.” Dengan melihat dengan hati, penglihatan kita akan jauh melampaui apa yang dapat diketahui mata lahiriah kita dan keheningan pikiran yang total membebaskan jarak pandang kita dari ‘radikal-radikal bebas pikiran’. Kita akan mampu melihat sisi-sisi terbaik dalam diri orang lain.

Ungkapan “dari mata turun ke hati” hanya ideal dalam fiksi. Sebaliknya, dalam kehidupan nyata dari kebanyakan kita, seringnya terjadi “dari mata naik ke pikiran”. Sejumlah guru kebijaksanaan menganggap bahwa pikiran adalah tempat bersemayamnya suara penilaian (voice of judgment) kita, sehingga mereka senantiasa mengajak kita untuk mempergunakan hati (maksudnya, hati spiritual, bukan hati fisik) sebagai jalan untuk memandang kehidupan kita maupun orang lain. Hati itu murni dan suci, pemberian Yang Maha Kuasa, yang diperuntukkan bagi manusia dalam bertindak, bekerja dan berinteraksi. Robert Frager dalam bukunya, Hati, Diri & Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi (Jakarta: Penerbit Serambi, 2006) mengungkapkan bahwa hati merupakan sesuatu yang identik dengan spiritualitas. Karenanya, bagi para sufi, hati adalah kuil Tuhan dan rumah cinta.

Ketulusan, niat baik, belas kasih, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan spiritualitas bersumber dari hati. Maka, kita cenderung mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki ketulusan, niat baik, belas kasih, dan lain sebagainya tidak memiliki hati. Semakin kita menggunakan hati kita untuk melihat keindahan yang terdapat pada orang lain, benda dan keadaan (yang di mata lahiriah kita justru tampak buruk), kita semakin jelas melihat Tuhan – dan mencintaiNya. Melihat dengan hati membuat kita dapat menjalin hubungan dari hati dan membawa kita ke momen-momen yang mencapai keilahian bersama orang lain.©

No comments: