Friday, April 3, 2009

Yang Kuasa di Kursi Terdakwa

“Tuhan menolong mereka yang tidak bisa menolong dirinya sendiri.”
—Wilson Mizner (1876-1933), dramawan



Kemarin (2 April 2009), saya menonton acara berita di salah satu stasiun televisi swasta, yang mengetengahkan berita tentang perkembangan pasca tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung. Penulis puisi tentang tragedi itu diwawancarai; ia menekankan bahwa musibah jebolnya tanggul disebabkan oleh banyaknya anak-anak muda berpacaran di sekitar situ (danau) dan ada yang suka berjudi.

Kata-kata si penulis puisi, yang menurut saya, sama sekali tidak menyentuh jiwa itu, membawa ingatan saya pada saat Aceh digulung gelombang tsunami pada 26 Desember 2004. Kalangan beragama, utamanya, menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan konsekuensi logis dari menurunnya etika dan moral masyarakat Aceh, yang membiarkan perjudian serta kemaksiatan terjadi di daerah mereka. Sherina Munaf pun menyanyikan lagu yang bertanya mengapa Tuhan marah.

Setiap kali terjadi musibah yang memakan banyak korban jiwa, selalu saja Yang Kuasa didudukkan di kursi terdakwa. Maksud di balik ‘pendakwaan’ itu, saya kira, bertujuan baik, yaitu untuk mengingatkan kita agar tidak lalai dalam perbuatan serta amal ibadah agama kita masing-masing. Tetapi, di lain pihak, dengan meletakkan penyebab timbulnya segala bencana alam di tangan Tuhan tanpa kita sadari sama dengan ‘melempar batu sembunyi tangan’, alias menutup-nutupi akibat perbuatan kita sendiri. Bagaimana tindakan kita terhadap lingkungan hidup, yang menyebabkan semua bencana alam itu terjadi, sama sekali tidak diekspos.

Klien saya dahulu, seorang peneliti VCO (virgin coconut oil) dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, ketika mengisahkan perjalanannya ke Aceh menyampaikan kesaksiannya bahwa sebuah rumah di bibir pantai yang dikelilingi pohon kelapa terhindar dari kehancuran. Itu memperkuat keyakinan saya bahwa Tuhan menyelimuti pantai-pantai dengan pohon kelapa dan pohon bakau agar manusia yang mendiami lahan-lahan di daerah pesisir terlindungi dari ombak besar. Tetapi, manusia malah menebangi pohon-pohon pelindung itu agar lahan tumbuhnya bisa dijadikan tambak atau persawahan, atau malah perumahan. Mungkin mereka berpikir, “Kalau ada apa-apa, kita kan bisa mendakwa Tuhan sebagai penyebabnya. Entar kita bikin isu bahwa kampung kita banyak kemaksiatan yang bikin Tuhan marah.”

Sesungguhnya tidak tepat istilah ‘bencana alam’, melainkan ‘peristiwa alam’. Istilah ‘bencana alam’ seolah menuding alamlah biang keladinya bencana. Sebuah paper dari Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Barat (BP2TPDAS-IBB) menyampaikan, bahwa peristiwa alam sebenarnya menunjukkan bahwa alam sedang bergolak menuju keseimbangan baru. Kondisi ini akan terus bergerak menyesuaikan diri terhadap intervensi manusia yang tidak pernah berhenti memengaruhinya. Proses alam saat menuju keseimbangan baru ini sering kurang bisa dimaknai oleh manusia. Sebaliknya, manusia seringkali malah saling menyalahkan, bukannya mencari solusi yang arif.

Dalam rangka menuju keseimbangan alam ini, sesekali bumi ingin ‘membetulkan duduknya’, yang menimbulkan goncangan gempa bumi. Yang salah adalah manusia – mengapa pula bermukim di kawasan rawan gempa. Kalau pun tidak ada pilihan lain, Tuhan toh sudah membekali manusia dengan perangkat berpikir yang memandunya dalam bertindak. Ia bisa membuat infrastruktur untuk mengurangi dampak gempa bumi serta memanfaatkan prasarana-prasarana yang tersedia di alam, seperti daerah aliran sungai dan hutan.

Ketika masih menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, untuk tugas salah satu matakuliah saya menulis makalah tentang cikal-bakal berdirinya kota Batavia. Ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) memindahkan basis administrasi dan perdagangannya dari pelabuhan Banten ke tanah yang kini menjadi pondasi kota Jakarta, seorang ahli geografi Belanda (saya lupa namanya, walaupun bukunya saya pakai sebagai salah satu acuan untuk penulisan makalah tersebut) sudah memperingatkan bahwa kawasan yang saat itu ditempati kota Jayakarta rawan gempa. Tetapi karena Gubernur Jendral VOC pertama, Pieter Both, bersikeras menjadikan Jayakarta pusat aktivitas perdagangan dan pelabuhan VOC, maka Belanda membangun gorong-gorong di bawah tanah serta saluran-saluran air (kanal) di permukaan tanah untuk membantu mengurangi efek gempa bumi terhadap manusia dan bangunan.

Seiring kemajuan zaman, kemampuan berpikir manusia malah semakin mundur. Eksistensi gorong-gorong warisan Belanda tersebut diakhiri oleh tancapan tonggak-tonggak pondasi dari gedung-gedung pencakar langit yang kini terhampar di kota Jakarta. Kanal-kanal digusur pembangunan fisik yang membabi-buta, yang mengakibatkan banjir rutin bertamu ke ibukota, yang ketika memakan korban jiwa para pemimpin agama pun beramai-ramai mendudukkan Yang Kuasa di kursi terdakwa.

Banjir bandang di Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, pada 11 Desember 2002, yang menewaskan 26 orang yang sedang berendam air panas di kawasan wisata tersebut disebabkan oleh penggundulan hutan. Penggundulan hutan dan kurangnya daerah resapan air umumnya menjadi penyebab tanah longsor, seperti yang terjadi di Mandalawangi, Garut, Jawa Barat, pada 28 Januari 2003, yang menewaskan 21 orang. Pada 2 November 2003, terjadi bencana banjir bandang yang sangat dahsyat di Bukit Lawang, Bahorok, Sumatra Utara, yang memakan korban tidak kurang dari 134 orang meninggal serta ratusan lainnya hilang. Penyebabnya: penebangan liar besar-besaran di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Diterjangnya Aceh oleh gelombang tsunami adalah akibat pengrusakan terhadap perlindungan alaminya.

Jebolnya tanggul Situ Gintung disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap kondisi tanggul yang telah ada sejak zaman kolonial. Masyarakat yang tinggal di kawasan di dekat tanggul, yang dahulunya merupakan persawahan itu, mestinya juga turut bertanggung jawab, jangan hanya menyalahkan pihak-pihak berwenang, karena itu menyangkut keselamatan mereka juga. Mungkin perjudian dan perbuatan maksiat ada sangkut-pautnya; mungkin masyarakat terlalu asyik berjudi dan berbuat asusila sampai lupa tanggulnya sudah mau jebol. Apa pun alasannya, intinya korban jiwa dan kerugian harta dalam setiap peristiwa alam adalah akibat ketidakpedulian manusia. Tuhan selalu memberikan pertolongan, dengan menyediakan bagi kita akal untuk berpikir dan sebagai pemandu kita dalam bertindak, serta berbagai kelengkapan yang sudah ada dari dahulu di lingkungan hidup kita. Lalu, apakah patut mendudukkan Yang Kuasa di kursi terdakwa setiap kali peristiwa alam menimbulkan korban jiwa?©

No comments: