Saturday, April 25, 2009

Perjalanan yang Tak Kunjung Berakhir

“Perjalanan terpanjang adalah perjalanan ke dalam diri.”
—Dag Hammarskjold (1905-1961)


Saya sering melakukan perjalanan. Perjalanan di luar diri maupun perjalanan ke dalam diri. Kebanyakan perjalanan di luar diri yang saya lakukan membawa efek bagi sisi dalam diri saya. Sebaliknya, perjalanan ke dalam diri berpengaruh dalam kehidupan lahiriah saya. Kedua jenis perjalanan itu dapat Anda peroleh makna dan manfaatnya apabila Anda melakukannya secara sadar dan senantiasa merefleksi diri.

Pada sebagian besar perjalanan yang saya lakukan secara sadar dan berefleksi diri tanpa henti, saya kerap berkinerja sebagai pengelana tinimbang pelancong. Paul F. Bowles (1910-1999), seorang komposer, penulis dan penerjemah berkebangsaan Amerika yang perjalanannya ke Afrika Utara menjadi setting bagi novelnya, The Sheltering Sky (1949), yang diangkat sutradara terkemuka Bernardo Bertolucci ke layar perak dengan judul yang sama, mewakili pandangannya tentang perjalanan dalam pengertian kosa kata tourist dan traveler. Seorang tourist (pelancong) adalah sosok pribadi yang memikirkan pulang begitu dia sampai ke tujuan perjalanan, sementara seorang traveler (pengelana) tidak pernah akan kembali untuk selamanya.

Perjalanan dalam konteks saya menjadi pasal suatu pembelajaran diri, tidak hanya terapi untuk mengatasi stres. Baru-baru ini, tepatnya pada 11-13 April 2009, saya dan empat saudara Subud saya menempuh perjalanan ke Jawa Tengah, mengunjungi saudara-saudara Subud di Purwokerto serta menghadiri acara Pertemuan Pembantu Pelatih Daerah dan Pengurus PPK Subud Indonesia Pengurus Daerah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta di Temanggung. Kami juga menyempatkan diri mengunjungi seorang saudara Subud di Wonosobo.

Berbagai pelajaran saya reguk dari perjalanan yang kami tempuh dengan mobil Hyundai Trajet itu. Pelajaran itu seakan dikirim dari langit, dan sesuai benar dengan keadaan diri saya saat itu yang tengah kecewa dengan kegagalan dan frustrasi terhadap sejumlah pembatalan terkait dengan pekerjaan-pekerjaan saya. Dalam perjalanan ke Jawa Tengah itu saya menjumpai seorang saudara Subud yang tengah ditimpa kemalangan – yang begitu mengenaskan hingga saya tidak mampu menahan airmata, yang membuat saya berpikir, bahwa keadaan saya jauh lebih baik dari dirinya dan sepatutnya saya bersyukur karenanya, alih-alih mengeluh.

Saya juga bertemu dengan saudara Subud di Wonosobo yang sukses mengembangkan kewirausahaan di bidang kerajinan bambu dan kayu. Dari kisahnya, semakin jelas dan nyata bagi saya bahwa kegagalan bukan untuk disesali, melainkan dijadikan pegas untuk dapat meraih prestasi lebih tinggi. Dia sering dan masih mengalami kegagalan di tengah usahanya, tetapi berbekal tekad dan keyakinan bahwa Tuhan senantiasa memberi pertolongan, langkahnya tak surut.

Dalam perjalanan balik ke Jakarta pada 13 April, kami singgah di kompleks pemakaman dan pesanggrahan Sukamulia, Cipanas, Jawa Barat, di mana makam pendiri Subud, Muhammad Subuh, beserta keluarganya berada. Selepas dari lahan berbukit nan hijau seluas 60 hektar itu, kami mengunjungi seorang saudara Subud yang sukses berbisnis budidaya anggrek impor dekat situ, walau malam telah menyelimuti bumi dan hujan mengiringi. Di tengah dingin yang cukup menggigilkan badan, kami mendengarkan tuturan kisah si pengusaha ketika mulai membangun bisnisnya.

Lagi-lagi, saya menangkap penjelasan bahwa kegagalan merupakan bagian dari kisah sukses. Sukses tidak dibangun dalam semalam, apalagi menyangkut tanaman anggrek yang memerlukan waktu untuk tumbuh dan berkembang, yang mesti dirawat dengan seksama dan dijaga. Sebagaimana sifat tanaman yang menjadi komoditi usahanya, si pengusaha juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara mental-spiritual. Ia menginsafi bahwa usahanya itu merupakan tuntunan Tuhan, mengingat bahwa sebelumnya ia sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang peranggrekan. Bisnis semula yang sudah lama ditekuninya malah besi. Keyakinan akan pertolongan Tuhan serta keinsafan bahwa kegagalan bukanlah sesuatu yang buruk, lagi-lagi, menjadi energi pendorong kesuksesan bagi si pengusaha. Seperti kata pepatah, bad weather makes good timber – cuaca buruk hanya menyisakan pohon-pohon kokoh yang berkualitas baik. Semua orang yang berhasil dalam hidupnya telah melalui banyak sekali cuaca buruk.

Perjalanan kami ke dan dari Jawa Tengah pada 11-13 April itu selalu diwarnai tawa dan canda. Suasana riang meringankan perjalanan kami, membuat mobil yang kami tumpangi melaju ringan dan mulus di atas aspal, pengemudinya tidak kelelahan, serta saya mengalami pembelajaran tak henti-hentinya, bahkan ketika saya telah kembali di Jakarta. Perjalanan, di luar maupun di dalam diri, bila disadari dan sambil berefleksi diri akan menjadi proses yang tak kunjung berakhir.©

No comments: