Thursday, April 9, 2009

Ironi Zaman Sekarang

“Barangsiapa mengabaikan pembelajaran pada masa mudanya,
akan kehilangan masa lalunya dan mati di masa depannya.”

—Euripides (484-406 SM), Phrixus


Minggu, 6 April 2009 lalu, usai latihan bio energy power di halaman kantor TSA Komunika, di bilangan Cilandak Tengah, Jakarta Selatan, saya melaju ke Wisma Subud di Jl. RS Fatmawati, untuk menghadiri rapat serta untuk melakukan Latihan Kejiwaan sesudahnya.

Saya menghadiri rapat Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia untuk membahas acara kunjungan ke PPK Subud Cabang Purwokerto dan Temanggung, Jawa Tengah, pada 11 dan 12 April mendatang. Saat pembahasan soal transportasi untuk menempuh perjalanan Jakarta-Purwokerto-Temanggung-Jakarta, salah seorang saudara Subud saya menawarkan mobilnya, yang selain besar juga “Ada GPS-nya!” Tawaran itu disambut gembira oleh beberapa orang lainnya di ruang rapat tersebut, bukan karena mobilnya saja, melainkan juga karena ada GPS (global positioning system)-nya. Mereka berkomentar, dengan adanya GPS, perjalanan kami akan lancar dan cepat sampai tujuan.

Saya pertama kali melihat alat navigasi bernama GPS itu ketika melakukan kunjungan ke kapal helicopter cruiser milik Perancis, Jeanne d’Arc (R97), yang merapat di dermaga Komando Lintas Laut Militer Tanjung Priok, tahun 1990an. Menurut seorang kadet akademi angkatan laut Prancis yang memandu saya dan kawan saya, GPS di kapal itu berfungsi sebagai sistem satelit navigasi global. Sebuah alat penerima GPS menghitung posisinya dengan secara tepat menghitung waktu dari sinyal-sinyal yang dikirim satelit-satelit GPS di angkasa. “Posisi secara pasti ditentukan oleh koordinat yang tercantum pada layar,” jelas si kadet. Tetapi, ia menambahkan, GPS itu tidak mampu menentukan apakah kapal sedang berada di laut dalam atau dangkal, atau ada karang atau ancaman gunung es. Untuk maksud itu, kapal memiliki sistem pengindraan di lambungnya.

Saya nyaris tidak bisa menahan tawa. Betapa tidak, pada saat rapat itu saya segera teringat pada perjalanan ke Purwokerto pada bulan Ramadhan tahun 1985 yang saya lakukan bersama ayah saya, dua bibi saya dan dua orang sepupu, naik sedan bobrok tak ber-AC, apalagi ber-GPS. Jalur pantai utara Jawa (Pantura) saat itu berupa jalan sempit, rusak dan tak berpenerangan. Kami berangkat dari Jakarta sore, dan selepas Cirebon, selain malam yang gelap-gulita, hujan lebat juga mengiringi laju sedan yang kami tumpangi. Kabut menutupi pemandangan di depan, sehingga ayah saya, yang memegang kemudi, menjalankan mobil dengan hati-hati. Kegelapan, kabut dan hujan lebat hampir selalu menghadang sepanjang perjalanan, tetapi ayah saya mempercayakan instingnya, dan tibalah kami di Purwokerto dengan selamat, 8 jam sejak keberangkatan kami dari Jakarta. Delapan jam – sama dengan waktu tempuh mobil ber-GPS di era modern ini, di mana jalur Pantura sudah jauh lebih baik keadaannya daripada di tahun 1985!

Inilah ironisnya kita. Semakin maju kehidupan kita sekarang, semakin jauh kita dari apa yang kita miliki secara alami. Dahulu, rasanya, kita bisa hidup normal tanpa telepon seluler, internet, GPS, PDA, Black Berry, dan teknologi acang (gadget) lainnya. Namun sekarang, tanpa itu semua rasanya hidup kita tak ada artinya. Ada yang bahkan merasa dunianya kiamat, saat acangnya ngadat.

Dahulu, orang tua kita, kakek-nenek kita, dapat hidup sehat dan berumur panjang tanpa harus mengonsumsi tablet vitamin atau suplemen energi. Sekarang, badan kita loyo apabila belum menenggak minuman berenergi atau beragam kapsul pembangkit stamina. Dahulu oksigen bebas kita hirup, namun sejak kita isi udara dengan polusi, kita terpaksa merogoh kocek demi sebotol air yang diiklankan mengandung oksigen. Bahkan anak sekolah saja tahu bahwa air itu mengandung satu atom oksigen yang berikat kovalen dengan dua atom hidrogen.

Dahulu pula, para leluhur kita mengandalkan keheningan batin mereka untuk berkomunikasi tanpa perantara dengan Tuhan, setiap saat. Kini, walaupun teknologi komunikasi sudah sedemikian canggih, manusia malah mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan Penciptanya, yang menyebabkan begitu banyak manusia menjadi lebih menderita meski dikelilingi peranti yang memiliki tujuan dan fungsi praktis, yang dimaksudkan untuk mempermudah hidupnya. Itu dikarenakan manusia lupa untuk hidup dengan apa-apa yang sudah ada pada dirinya.

Menurut Hiromi Shinya, MD, dalam bukunya, The Miracle of Enzyme: Self-Healing Program – Meningkatkan Daya Tahan Tubuh, Memicu Regenerasi Sel, Cetakan IV (Bandung: Penerbit Qanita-PT Mizan Pustaka, 2009), obat dan bahkan herbal bersifat asing bagi tubuh kita. Secara alami, obat-obatan membuat tubuh kita membangun toleransi terhadap zat-zat kimia dan karenanya menjadi tidak sensitif terhadap rangsangan. Hukum alam ini berlaku bagi apa pun yang menyangkut diri kita. Para pendahulu kita terbiasa dengan mendayagunakan apa-apa yang telah ada pada diri mereka.

Sejak aktif berlatih kejiwaan Subud, saya jadi mengerti bagaimana orang tua saya dahulu dapat merasakan keadaan serta ‘mendeteksi secara diam-diam’ keberadaan anak-anaknya (bandingkan dengan orang tua modern yang melengkapi diri mereka dan anak-anak mereka dengan ponsel supaya dapat tetap saling terkoneksi). Almarhum ibu saya kerap menolak pacar-pacar anak-anaknya tanpa terlebih dahulu berkomunikasi dengan mereka. Setelah saya berlatih kejiwaan Subud, saya mengalami sendiri, bahwa kehalusan rasa yang ada pada diri ibu berpotensi mensinyalir hal-hal niskala (tankasat mata) pada diri orang lain.

Kehalusan rasa meningkatkan kepekaan kita. Kepekaan yang tajam membuka saluran komunikasi dan perasaan antara kita dengan orang lain. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya bila kita semua dapat terkoneksi secara ‘gaib’. Takkan ada lagi konflik akibat salah paham, kasih sayang akan membudaya dan, yang pasti, industri perangkat teknologi informasi dan telekomunikasi akan gulung tikar!

Jika kita tak mau lagi memberdayakan apa yang ada pada dan dalam diri kita, dan sebaliknya selalu amat bergantung pada apa yang ada di luar diri kita, bukankah sebaiknya eksistensi kita diakhiri saja?©

No comments: