MANUSIA itu kadang aneh, suka sekali berstandar ganda. Orang-orang yang pernah bilang ke saya bahwa Subud itu sesat, atau keluarga dari teman atau kerabat saya yang mau ikut Subud melarang dengan alasan yang sama, justru dalam keseharian mereka mencampuradukkan agama-agama dengan praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran agama mereka. Saya ingat di Surabaya dulu, ada teman saya yang sudah sempat minta penjelasan ke pihak Subud Cabang Surabaya lantas dilarang orang tuanya, yang mengatakan, “Sudah, nggak usah ikut-ikut kayak gitu deh. Agama sudah cukup!”
Tapi saya sih cuek, saya ikhlaskan saja. Suatu malam, saya ke rumah teman itu dan memergoki orang tuanya yang aktif di organisasi Islam mayoritas di Surabaya itu membakar dupa dan melakukan ritual layaknya perdukunan sambil mendaraskan ayat-ayat suci. Kata teman saya, itu ritus orang tuanya tiap malam sebelum pergi berdagang, supaya dagangannya laris. Saya hanya tertawa dalam hati dan membatin, “Jancuukk!!! Bilang gue sesat karena ikut Subud, lha itu apa, Pak-Bu?! Weleh-weleeh!”
Teman dan kerabat saya lainnya yang menuding saya sesat juga masih doyan berkonsultasi ke dukun atau berbuat syirik—yang menurut standar mereka tidak demikian. Tapi saya tidak ambil pusinglah, malah jadi pemandangan lucu yang menghibur saya. Terima kasih, Tuhan, atas itu semua.
Pada akhirnya, semua ini hanya antara saya dan Tuhan. Peduli amat apa kata orang, yang penting tetap melakukan kebaikan dan bermanfaat bagi orang lain.©2025
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 20 Maret 2025
No comments:
Post a Comment