Friday, March 7, 2025

Menapaktilasi Perjalanan Pak Subuh Dari Stasiun ke Stasiun (Revisi)

Tulisan ini merupakan revisi dari tulisan dengan judul yang sama yang diterbitkan di blogspot ini pada 22 Juni 2016.


BELAKANGAN ini saya kerap harus meluruskan anggapan banyak sekali anggota Subud Indonesia bahwa Bapak pernah bekerja di Stasiun Kedungjati, mungkin dengan pemikiran bahwa Bapak pernah menjadi pegawai NIS dan rumah orang tua beliau terletak berdekatan dengan Stasiun Kedungjati. Buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo nyatanya tidak menyebutkan hal itu.

Setiap tahun, pada tanggal 22 Juni, para anggota Subud memperingati hari lahirnya Bapak Muhammad Subuh. Bapak lahir di Kedungjati, sebuah desa di kecamatan bernama sama, yang berlokasi di Karesidenan Semarang (sekarang masuk Kabupaten Grobogan), Jawa Tengah.

Sebagai pehobi kereta api (railfan) yang juga anggota Subud, saya lebih tertarik untuk memperingati hari lahir Bapak dengan menapaktilasi perjalanan beliau “dari stasiun ke stasiun”. Ya, di samping menyebarluaskan Latihan Kejiwaan ke lebih dari 75 negara di dunia sejak tahun 1957, Pak Subuh sebenarnya lekat dengan sejarah perkeretaapian Indonesia, karena beliau sempat berkarir cukup lama di badan usaha kereta api swasta Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij (NIS).

Berkantor pusat di Kota Semarang, menempati bangunan yang kini dikenal sebagai “Lawang Sewu”, NIS memainkan peran signifikan dalam sejarah perkeretaapian Indonesia, karena perusahaan itulah yang pertama kali membangun jaringan kereta api di Nusantara. Dimulai dari pembukaan jalur antara Stasiun Kemijen di Semarang dan Stasiun Tanggung di Grobogan sepanjang 27,7 kilometer pada tanggal 10 Agustus 1867, NIS memicu revolusi transportasi berbasis rel di Hindia Belanda. Jalur itu kemudian diperpanjang hingga tiga kota di Jawa Tengah—Semarang, Solo, dan Jogjakarta—melalui Kedungjati, sebuah tempat terpencil di pedalaman Jawa Tengah di mana Pak Subuh dilahirkan.

 

Kantor Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) di Semarang sekitar tahun 1930. (KITLV)

Paling tidak ada enam stasiun warisan Hindia Belanda (heritage) disebut-sebut dalam buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (diterbitkan pertama kali pada 1991), yaitu Stasiun Telawa(h), Stasiun Kalitidu, Stasiun Bojonegoro, Stasiun Buyaran, Stasiun Pamotan, dan Stasiun Kedungjati.

Stasiun Telawa(h), Stasiun Kalitidu, Stasiun Bojonegoro dan Stasiun Kedungjati dikelola oleh NIS, sedangkan Stasiun Buyaran dan Stasiun Pamotan pada masanya merupakan halte trem (kereta api jarak dekat) bertenaga uap yang dimiliki oleh Samarang-Joana Stoomtrammaatschappij (SJS), atau Perusahaan Trem Uap Semarang-Juwana yang juga berkantor pusat di Semarang.

Stasiun Telawa(h) berada di jalur kereta api Brumbung-Gundih, tepatnya di Desa Pilangrejo, Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Jalur kereta api Brumbung-Gundih merupakan jalur heritage yang oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebisa mungkin dipelihara keasliannya sebagaimana keadaannya pada masa kolonial Hindia Belanda, antara lain dengan tidak mengganti sistem persinyalan mekanik dengan sistem elektrik. Tiga stasiun di jalur ini sudah non-aktif/mati, yaitu Gedangan, Jetis, dan Jambean.

 

Stasiun Telawa pada tahun 2020.

Dalam Autobiografi, disebutkan bahwa karir beliau di NIS dimulai ketika beliau diterima bekerja di Stasiun Kalitidu, berkat bantuan Pak Reksodiharja, adik dari eyang putri beliau yang menjabat sebagai “sep” (kepala) Stasiun NIS Kalitidu. Stasiun Kalitidu (KIT, +24 mdpl) di jalur kereta api Gambringan-Kandangan masih aktif hingga kini, berlokasi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dan merupakan salah satu stasiun di Lintas Utara Jawa yang dilalui kereta api-kereta api relasi Jakarta-Surabaya pp, antara lain Argo Bromo Anggrek dan Jayabaya.

 

Stasiun Kalitidu pada tahun 2020.

Di petak jalur rel antara Kalitidu dan Kapas terdapat Stasiun Bojonegoro (BJ, +15 mdpl). Di Autobiografi diceritakan bahwa Pak Subuh ditempatkan di Stasiun Bojonegoro sebentar setelah beliau diangkat menjadi pegawai resmi NIS. NIS mendapat konsesi pembangunan jalur kereta api baru yang melayani rute Gundih-Gambringan-Bojonegoro-Surabaya pada tanggal 24 September 1896. Stasiun Bojonegoro mulai beroperasi pada 1 Maret 1902 sebagai bagian dari pengoperasian jalur kereta api ruas Bojonegoro-Babat (Lamongan), sedangkan proyek jalur kereta api Gundih-Gambringan-Bojonegoro-Surabaya NIS (kini Stasiun Surabaya Pasarturi) tuntas pengerjaannya pada 1 Februari 1903.

 

Stasiun Bojonegoro pada tahun 2020.

Diceritakan dalam Autobiografi, bahwa Pak Subuh dimutasi ke NIS di Surabaya. Tidak dirinci dalam buku tersebut apakah itu stasiun atau kantor perwakilan NIS, namun bila memang stasiun maka dalam sejarah perkeretaapian Indonesia satu-satunya stasiun NIS di Surabaya adalah Stasiun Surabaya Pasar Turi (SBI, +1 mdpl). Stasiun Semut/Surabaya Kota dan Stasiun Surabaya Gubeng dikelola oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda. Stasiun Pasarturi beserta jalur kereta api lintas Lamongan-Surabaya mulai beroperasi sejak 1 April 1900.

 

Emplasemen Stasiun Surabaya Pasar Turi dilihat dari Pasar Grosir Surabaya, tahun 2017.

Dalam perjalanan pencarian spiritualnya, Pak Subuh dan beberapa teman beliau diceritakan dalam Autobiografi meninggalkan rumah seorang kyai dan menuju Stasiun Buyaran, naik kereta api pagi yang datang dari Demak menuju Semarang. Stasiun Buyaran (BYA) yang berlokasi di Desa Pulosari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah dibangun pada tahun 1885 di jalur kereta api Semarang Tawang-Demak oleh SJS, sebuah perusahaan swasta trem uap yang dahulu mengelola jalur kereta api sepanjang 417 kilometer di Kabupaten-Kabupaten Demak, Kudus, Pati, Rembang, Jepara, Blora, dan Grobogan, di Jawa Tengah, dan sebagian Tuban di Jawa Timur. Stasiun Buyaran ditutup Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada tahun 1986 bersama stasiun-stasiun lainnya di jalur kereta api Semarang Tawang-Demak. Bangunan bekas Stasiun Buyaran kini menjadi toko.

 

Bangunan bekas Stasiun Buyaran sudah berubah fungsi menjadi toko.

Stasiun Pamotan melekat di kenangan Bapak lantaran di stasiun inilah beliau melihat perempuan yang kelak diperistri beliau turun dari kereta trem SJS yang ditumpangi Bapak. Ibu Rumindah, istri pertama Bapak memang bertempat tinggal di Pamotan. Dibuka pada tahun 1900, Stasiun Pamotan kini tinggal bangunan tua yang merana, dengan area stasiun digunakan sebagai pangkalan truk. Papan penanda “Aset Milik PT KAI” yang dijumpai di muka bangunan menegaskan bahwa di Desa Pamotan, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pernah ada stasiun kereta api. Stasiun Pamotan ditutup oleh PJKA pada tahun 1989.

Peta jalur-jalur Samarang Joana Stoomtrammaatschappij (SJS) pada bulan Mei 1902. (KITLV)

Bangunan bekas Stasiun Pamotan.

Bapak boleh dibilang beruntung dengan lokasi rumah di mana beliau dilahirkan hanya berjarak sekitar 200 meter dari Stasiun Kedungjati (KEJ, +36 mdpl). Selama bersekolah di Ambarawa, pagi dan sore Bapak menumpang kereta api dari Stasiun Kedungjati melalui jalur Kedungjati-Secang dengan delapan stasiun persinggahan (Kedungjati, Ngombak, Tempuran, Gogodalem, Bringin, Telogo, Tuntang, dan Ambarawa). Jalur rel yang menyambungkan Kedungjati dengan Ambarawa ini masih bisa dilihat di selatan Stasiun Kedungjati, yang sempat direncanakan untuk direaktivasi pada tahun 2015 namun terhambat pembebasan lahan.

Dibuka pada 19 Juli 1868, Stasiun Kedungjati awalnya berwujud bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu jati—yang melimpah di daerah itu. Tahun 1907, stasiun ini mengalami perombakan dengan dibangunnya bangunan yang menggunakan bata berplester. Juga dipasangi atap peron dengan bentang 14,65 m yang terbuat dari seng bergelombang yang cenderung landai menyesuaikan iklim tropis.

 

Lokomotif CC206 dinas KA Semen Tiga Roda di Jalur 1 Stasiun Kedungjati pada tahun 2016.

Meski penampakan fisiknya besar dengan lima jalur rel (dua di selatan sudah tidak aktif), Stasiun Kedungjati tergolong stasiun kelas III/kecil. Bagaimanapun, semasa masih dioperasikan oleh NIS, Kedungjati merupakan stasiun besar yang dilengkapi depo lokomotif dan pemutar rel, yang kini tidak tersisa lagi bekas-bekasnya selain fondasinya. Sebuah bangunan gudang juga masih ada di seberang utara stasiun.

Rumah kelahiran Bapak bersebelahan dengan bangunan rumah dinas pegawai kereta api yang saat ini dipasangi papan penanda “Aset Milik PT KAI”; artinya, Desa Kedungjati merupakan bagian dari kompleks Stasiun Kedungjati. Stasiun Kedungjati juga masih aktif saat ini di jalur Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang) atau yang dikenal sebagai Lintas Tengah Jawa. Kereta Api Matarmaja, Joglosemarkerto, dan KA Semen Tiga Roda rutin meniti jalur ini dalam perjalanan mereka pergi-pulang Semarang-Solo.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Maret 2025

No comments: