Wednesday, November 1, 2023

Kualitas Gunung Es

APAKAH kita benar-benar mengenal orang yang kita rasa mengenalnya dengan baik? Pertanyaan itu mengemuka ketika saya sedang merenungkan pembelajaran saya mengenai persepsi dalam kaitan dengan merek. Saya teringat pada diagram gunung es yang acap digunakan para pengajar ilmu merek (brand).

Diagram tersebut dibagi menjadi dua: bagian puncak gunung es dan bagian badan hingga kaki gunung es, yang dipisahkan oleh permukaan laut. Bagian puncak itu merupakan ranah kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), sedangkan bagian badan dan kakinya merupakan ranah kualitas mutlak (absolute quality) dari seseorang atau sesuatu. 


Kebanyakan orang, atau malah semua orang tak terkecuali, sesungguhnya hanya mengenal seseorang atau sesuatu dari kualitas puncak gunung esnya, namun kita cenderung mudah menghakimi seseorang atau sesuatu hanya dengan melihat kualitas yang kita persepsikan, dan memutuskan bahwa itulah kualitas mutlaknya.

Anggapan bahwa kita sudah mengenal dengan baik seseorang atau sesuatu hanya dengan melihat kualitas puncak gunung esnya adalah tidak tepat, bahkan berbahaya—dalam kaitan dengan produk, konsumen akan merasa tertipu atau dirugikan secara materi. Ini seperti nakhoda kapal Titanic yang merasa kapal yang dinakhodainya sangat kuat, tidak bisa tenggelam, dan meremehkan gunung es yang diberitahu keberadaannya oleh awak di tiang pengawas kapal lantaran ukurannya lebih kecil dari badan Titanic. Nakhoda tidak memperhitungkan ukuran badan gunung es yang tersembunyi di bawah permukaan air laut yang gelap, dan itulah yang mencelakai kapal yang dikatakan tidak dapat tenggelam itu.

Persepsi adalah pandangan ringkas kita terhadap seseorang atau sesuatu, yang bersifat relatif (berbeda di setiap orang), yang menafikan keseluruhan kualitas yang dimilikinya. Persepsi melibatkan apa yang penting bagi masing-masing kita, karena setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap seseorang atau sesuatu.

Persepsi kualitas sulit ditentukan, mengingat itu merupakan hasil persepsi (tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris untuk memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan kita) dan penilaian yang bersifat subyektif.

Meskipun kita sudah berhubungan dengan seseorang sekian lama dan sangat dekat, belum tentu kita mengenalnya dengan sangat baik. Bisa jadi karena dia menutupi atau menyembunyikan sebagian besar sifat-sifat atau kepribadiannya yang bakal dipandang buruk oleh orang lain. Ada pula orang-orang, saya salah satunya, yang dengan sadar maupun tidak sadar, menampilkan sifat-sifat yang berbeda satu sama lain sesuai lingkungan keberadaannya.

Teman-teman saya dari kalangan alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, misalnya, berbeda persepsi mereka terhadap saya dengan mereka yang sering berhubungan dengan saya di lingkungan Subud. Satu saudara Subud Jakarta Selatan, yang saya beri buku mengenai upaya kampung-kampung di Pulau Jawa dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, yang saya tulis untuk klien saya, berkomentar, “Membacanya memberi saya kesan yang berbeda terhadap Om Arifin yang saya kenal selama ini di Subud. Dari tulisan di buku ini, Om terkesan intelektual, santun, beretika. Berbeda banget dengan Om Arifin di grup WhatsApp Subud 4G—yang kasar dan vulgar!”

Saudara Subud lainnya, yang baru-baru ini melihat video singkat ketika saya tampil di layar kaca dengan predikat “pengamat militer” pada 26 Oktober 2023 lalu di status WhatsApp saya, menyatakan keheranannya. “Bagaimana bisa jadi pengamat militer, Mas? Saya tahunya hanya hobi menulis yang kemudian bisa jadi duit,” tulis saudara Subud tersebut dalam pesan WhatsApp-nya pada 27 Oktober 2023.

Yang dia ketahui tentang saya hanya itu dan itu sudah cukup bagi dia untuk merasa mengenal saya. Ya, karena otak manusia “malas” untuk memproses informasi yang sangat banyak. Saya pun terpaksa bercerita mengenai kualitas mutlak saya menyangkut latar belakang kehidupan saya, yang mencakup hobi saya dengan sejarah militer, strategi militer, dan pertahanan, dengan masa kecil saya yang sudah diwarnai dengan kegemaran membaca buku sejarah Perang Dunia Kedua.

Kenyataan mengenai “gunung es kualitas” seseorang atau sesuatu—yang saya pelajari justru dalam profesi saya sebagai konsultan branding, bagi saya pribadi memberi saya pengertian bahwa tak seharusnya saya mudah menilai atau menghakimi orang lain, baik atau buruk, hanya dengan melihat perbuatan atau perkataannya pada suatu momen. Kehidupan seseorang sejak dilahirkan hingga dewasalah yang membuat seseorang menjadi pribadi seperti yang kita kenal sekarang, dan kecuali kita mau menaruh kaki kita di sepatunya, janganlah terlalu cepat memberi cap baik atau buruk padanya.©2023

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 November 2023

No comments: