Ini tulisan lama, yang saya persiapkan pada sekitar tahun 2010 untuk dimuat di sebuah majalah pada rubrik pariwisatanya. Tetapi saya lupa untuk mengirimnya, dan file tulisan ini pun hilang di sela-sela tak kasatmata dari komputer saya sekian lama. Saya menemukannya hari ini, 18 Mei 2022, ketika memindahkan satu folder ke external harddisk saya. Saya putuskan untuk disimpan di blog saya saja, yang berkemungkinan bermanfaat bagi orang lain, daripada kalau saya menyimpannya lagi di external harddisk saya.
Tugu Muda Semarang pada 8 Januari 2022. (Foto: Sahadewo Nalendro) |
KETIKA masih menetap di Surabaya, saya acap menggunakan sarana transportasi darat untuk pulang ke kampung halaman saya, Jakarta, utamanya kereta api. Saya tergolong fobia terbang, sehingga perjalanan dengan pesawat terbang saya masukkan dalam urutan terakhir pilihan saya akan moda transportasi.
Untuk menuju Jakarta dari Surabaya, maupun sebaliknya, tersedia dua jalur perjalanan kereta api, yaitu lewat utara dan lewat selatan Pulau Jawa. Saya lebih memilih yang lewat utara, karena jaraknya relatif lebih pendek ketimbang lewat selatan. Apabila lewat utara, sudah pasti kereta api yang saya tumpangi singgah untuk menaikkan dan menurunkan penumpang di Stasiun Tawang yang terletak di ibukota provinsi Jawa Tengah, Semarang. Itu kalau naik kereta api kelas Bisnis dan Eksekutif. Apabila kita naik kelas Ekonomi, Stasiun Semarang Poncol-lah pemberhentian terakhir kita.
Lama perjalanan dari Surabaya ke Semarang dengan kereta api kelas Eksekutif adalah sekitar tiga jam, dan selama itu saya biasanya tidur. Dan biasanya saya terbangun karena kaget lantaran tiba-tiba kereta melambat dan berjalan miring. Jika berangkat dari Surabaya pagi (dengan KA Argo Anggrek), maka saya bisa melihat pemandangan yang aneh di luar jendela kereta api: di sekeliling rel terdapat air, air dan air. Entah itu banjir air laut yang masuk ke daratan (rob), karena jalur rel kereta di Semarang memang dekat laut, atau tambak. Di depan Stasiun Tawang saja terdapat polder, yaitu dataran banjir yang dipisahkan dari laut menggunakan tanggul.
Perjalanan dengan kereta api saat memasuki Semarang terasa cukup menegangkan bagi saya, mengingat kecepatan kereta melambat lantaran berjalan di atas rel yang bantalannya miring. Dengan air di mana-mana, serasa seperti bukan naik kereta, melainkan kapal.
Semarang memang unik, paling tidak bagi orang yang baru pertama kali melihatnya, seperti saya. Meski sering banjir saat hujan deras yang lama, atau terendam air laut, Semarang bukan sembarang. Ia adalah kota yang memiliki sejarah yang menakjubkan, kuliner yang rasanya tak terlupakan serta kekayaan budaya dan keseniannya.
Desa Pohon Asam
SEMARANG tampaknya identik dengan lumpia. Lumpia Semarang memang sering menjadi oleh-oleh yang seolah menandai bahwa pembawanya baru saja pulang dari kota yang berjarak sekitar 466 kilometer sebelah timur Jakarta itu. Dia biasanya juga akan bercerita tentang bangunan kuno peninggalan zaman kolonial yang konon berhantu, yaitu Lawang Sewu.
Bagaimanapun, Semarang lebih dari sekadar lumpia dan Lawang Sewu. Semarang bukan sembarang; ia adalah peti harta karun sejarah. Kabarnya, sejarah Semarang berawal pada abad ke-8 M., yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno, sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah tetapi kemudian pindah ke Jawa Timur pada abad ke-10, dan akhirnya runtuh pada awal abad kesebelas.
Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Jadi, dulunya, bagian kota Semarang Bawah seperti dikenal sekarang ini, merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 Masehi. Di tempat pendaratannya, orang kepercayaan Kaisar Yongle (berkuasa tahun 1403-1424) dari Dinasti Ming, Tiongkok, ini mendirikan kelenteng dan masjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu).
Pada akhir abad ke-15 M., Pangeran Made Pandan ditugaskan oleh Kerajaan Demak untuk menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota. Dari waktu ke waktu, daerah itu semakin subur, dan dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang jarang-jarang (Jawa: asem arang), sehingga kelak daerah itu pun menyandang nama Semarang. Pendiri desa asem arang, Pangeran Made Pandan, kemudian diangkat oleh Sultan Demak Bintara sebagai bupati pertama Semarang dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang (disebut juga Pandanaran). Sepeninggalnya, kepemimpinan daerah itu dipegang oleh putranya, Pandan Arang II, yang kelak terkenal dengan sebutan Sunan Tembayat ketika kemudian menetap di daerah yang sekarang bernama Bayat, di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Adalah Sultan Hadiwijaya dari Pajang (kelanjutan dari Kesultanan Demak)
yang mensahkan Semarang setingkat dengan kabupaten pada tanggal 2 Mei 1537.
Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Semarang.
Belanda Kecil
KETIKA saya menginjakkan kaki di Semarang, waktu serasa berhenti. Betapa tidak, saya melihat bangunan-bangunan kuno peninggalan zaman Hindia-Belanda tersebar di penjuru kota. Tempat saya menginap, Hotel Candi Baru, di Jl. Rinjani No. 21 Semarang 50231, pun memiliki arsitektur warisan zaman kolonial, dengan interior kamar-kamarnya saja yang bernuansa modern. Kawasan kota tua Semarang dijuluki “Belanda Kecil” oleh masyarakat setempat, yang mencakup kawasan polder, Stasiun Tawang, Jembatan Berok dan Lawang Sewu.
Selain Lawang Sewu, yang mendapat sebutan “bangunan seribu pintu, seribu hantu” dari sebuah koran daerah, Kampung Melayu, Menara Suar, Jembatan Berok, kelenteng Tay Kak Sie, Gereja Blenduk, dan lain-lain, mempertegas Semarang sebagai kota peninggalan zaman kolonial. Saya perlu waktu lebih banyak untuk mengeksplorasi peninggalan tersebut satu per satu. Sayangnya, waktu saya sempit sekali. Tetapi saya sempat mengunjungi beberapa yang terkemuka.
Wajah fasad Lawang Sewu menyiratkan keangkeran bagi saya. Bangunan itu dulunya
merupakan kantor dari Nederlands-Indische
Spoorweg Maatschappij (NIS) atau Jawatan Perkeretaapian Hindia Belanda.
Dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907, bangunan itu terletak di
bundaran Tugu Muda yang dulu disebut Wilhelmina Plein. Masyarakat setempat
menyebutnya Lawang Sewu (seribu pintu), karena bangunan tersebut memiliki pintu
yang banyak sekali. Kenyataannya, jumlah pintunya tidak sampai seribu. Mungkin
karena jendela bangunan ini tinggi dan lebar lantas dianggap
sebagai pintu. Saat ini, bangunan berusia 103 tahun ini (ketika tulisan ini
dibuat tahun 2010) kosong dan bereputasi buruk sebagai bangunan angker dan
seram. Pernah juga digunakan sebagai tempat pameran, antara lain Semarang Expo
dan Tourism Expo.
Lawang Sewu, bangunan kuno peninggalan era Hindia Belanda di tengah kota Semarang. |
Stasiun Tawang di Tanjung Mas, Semarang Utara, dan Stasiun Poncol di Purwosari, juga merupakan bagian dari kompleks Belanda Kecil. Stasiun Tawang merupakan stasiun kereta api tertua di Indonesia setelah Semarang Gudang dan diresmikan pada tanggal 19 Juli 1868 untuk jalur Semarang Tawang ke Tanggung (di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah). Stasiun Poncol di Jl. Poncol, Semarang Utara, dibangun pada tahun 1914. Semula milik SCS (Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij, Jawatan Trem Uap Semarang-Cirebon), Stasiun Poncol kini menjadi tempat berhentinya kereta api kelas Ekonomi PT Kereta Api Indonesia (Persero). Bangunan stasiun dirancang oleh Herman Thomas Karsten (1884-1945), seorang arsitek dan perencana wilayah pemukiman dari Hindia Belanda yang juga merancang, antara lain, Lapangan Monas di Jakarta dan Museum Sonobudoyo di Yogyakarta.
Stasiun Semarang Gudang, sebagai stasiun tertua di Indonesia nomor urut pertama, dibangun tahun 1864 dan secara fisik sudah tidak ada lagi. Waktu saya tanyakan soal itu ke kenalan saya, dia mempersilakan saya menyelam ke tambak di Kelurahan Kemijen. Sebagian besar bagian gedung stasiun yang sudah berumur hampir seabad itu telah berubah menjadi rawa-rawa. Tepat di badan gedung utama ditumbuhi alang-alang setinggi kurang lebih satu meter.
Kampung Melayu merupakan pemukiman pedagang di tepi Kali Semarang dekat pelabuhan Tanjung Mas, yang dibangun pada abad ketujuhbelas. Di kawasan ini terdapat sebuah masjid yang dijuluki “Masjid Menara” dan sebuah kelenteng yang berdiri bersebelahan di Jl. Layur. Keduanya merupakan markah kota Kampung Melayu. Keunikan Kampung Melayu dapat dilihat pada gaya bangunan, detail bangunan, fasad-fasadnya dan rumah-rumah penduduknya yang mencerminkan budaya multi-etnik Arab, China, Melayu, Banjar (Kalimantan), Bugis, Madura dan Cirebon. Kondisi Kampung Melayu sekarang memprihatinkan, dengan pemukiman penduduknya yang padat, kumuh, tidak sehat, tidak aman, dan lingkungannya cenderung kotor, selain juga merupakan kawasan yang menjadi langganan banjir.
Menara Suar (dahulu disebut Mercusuar) dibangun tahun 1884 dan diresmikan oleh Raja Willem III. Bangunan Menara Suar berbentuk segi sepuluh dengan alas melebar dan mengerucut ke atas. Dengan ketinggian sekitar 30 meter, konstruksi Menara Suar terdiri dari sepuluh lantai dan setiap tingkatnya dilengkapi dengan dua jendela. Sampai tahun 1999, Menara Suar masih berfungsi dengan baik, hanya saja lantai dasar bangunan telah terendam air, yang untuk mengatasinya dibuat saluran dan tanggul agar air tidak masuk ke bangunan.
Jembatan Berok merupakan jembatan yang melintasi Kali Semarang dan menghubungkan antara Kota Lama dengan Jl. Pemuda. Orientasi jembatan adalah timur-barat. Jembatan dibentuk dari empat buah kolom utama dengan bentuk menyerupai obelisk, dan pada puncak kolom terdapat lampu yang cukup unik. Penambahan lampu pada Jembatan Berok dilakukan pada tahun 1910. Bentuk tiang Jembatan Berok menyerupai tiang pada taman di depan Stasiun Tawang. Pagar pembatas jembatan terbuat dari besi. Jembatan Berok dibangun tahun 1705. Dinamai “Berok” karena penduduk pribumi tidak bisa mengucapkan kata “brug” yang dalam bahasa Belanda berarti “jembatan”.
Kelenteng Tay Kak Sie adalah sebuah kelenteng yang terletak di kawasan Jl. Gang Lombok, Semarang. Kelenteng yang didirikan pada tahun 1746 ini pada awalnya hanya untuk memuja Kwan Sie Im Po Sat (Yang Mulia Dewi Welas Asih). Kelenteng ini kemudian berkembang menjadi kelenteng besar yang juga memuja berbagai dewa-dewi Tao. Nama “Tay Kak Sie” tertulis pada papan nama besar di pintu masuk kelenteng, dengan catatan tahun pemerintahan Kaisar Dao Guang (1821-1850) dari Dinasti Qing, yang berarti “Kuil Kesadaran Agung”.
Melihat bentuk gereja itu, kenangan masa kecil saya saat liburan ke Paris melintas di benak saya. Bentuknya, menurut saya, sama sekali tidak mengesankan bangunan yang “mengindonesia” dengan kubahnya yang besar dan berlapis perunggu serta jendela-jendelanya yang berkaca patri. Gereja Blenduk (kadang-kadang dieja Gereja Blendug dan seringkali dilafalkan secara Jawa sebagai mBlendhug) adalah gereja Kristen tertua di Jawa Tengah yang dibangun oleh masyarakat Belanda yang tinggal di Kota Semarang pada 1753, dengan bentuk heksagonal (persegi delapan).
GPIB Immanuel Semarang (Gereja Blenduk) pada 21 Februari 2020. (Foto: Tamtomo) |
Gereja ini
sesungguhnya bernama “Gereja GPIB Immanuel”, di Jl. Letjen Suprapto No. 32. Di dalamnya,
saya dengar, terdapat sebuah orgel Barok. Arsitektur di dalamnya dibuat
berdasarkan salib Yunani. Gereja ini direnovasi pada 1894 oleh W. Westmaas dan
H.P.A. de Wilde, yang menambahkan kedua menara di depan bangunan gereja ini.
Nama “blenduk” adalah julukan dari
masyarakat setempat yang berarti “kubah”. Di sekitar gereja ini juga terdapat
sejumlah bangunan lain dari masa kolonial Belanda.
Aliran Lumpia
MELANCONG ke berbagai tempat di Indonesia belum lengkap rasanya tanpa melakoni wisata boganya. Makanan seakan mewakili kekhasan budaya suatu masyarakat dari tempat-tempat yang kita kunjungi. Sejumlah makanan bahkan melekat dengan imbuhan nama tempat asalnya, seperti, misalnya, kue lapis Surabaya, soto Madura, sate Padang, dan gudeg Yogya, meski tanpa nama tempat asalnya pun makanan-makanan itu memiliki kekhasannya masing-masing.
Lumpia yang banyak dijajakan di Semarang terkenal dengan nama “lumpia Semarang”, yang diperdagangkan dalam keadaan sudah digoreng atau masih basah. Lumpia Semarang berbeda dari lumpia-lumpia yang sering kita temukan di bagian-bagian lain di Pulau Jawa. Lagipula kudapan tradisional ini bukan asli Indonesia, melainkan dibawa oleh pedagang-pelaut asal Tiongkok yang merapat di pesisir Pulau Jawa. Di Tiongkok sendiri, lumpia merupakan salah satu dari menu khas negeri itu, yakni dimsum.
Ciri khas lumpia Semarang terletak pada ukurannya yang melampaui lumpia
yang biasa dijajakan pedagang gorengan di Jakarta, juga renyah dengan rasa
isinya agak manis. Isinya, umumnya, terdiri dari irisan rebung, telur, dan
daging ayam atau udang. Cita rasa lumpia Semarang adalah perpaduan rasa
Tionghoa dan Indonesia, karena memang penemunya adalah orang Tionghoa Semarang
yang menikah dengan orang Indonesia. Makanan ini mulai dijajakan dan dikenal di
Semarang pada waktu pesta olahraga Ganefo (Games
of the New Emerging Forces) pada tahun 1962.
Lumpia khas Semarang yang disajikan di toko Lumpia Gang Lombok, Semarang. |
Sepuluh potong lumpia yang saya beli di Stasiun Tawang dikemas dalam besek anyaman bambu yang labelnya bertuliskan “Mataram”. Tadinya saya kira, lumpia itu adalah warisan kuliner kerajaan Mataram, tapi ternyata saya keliru. Cap “Mataram” pada kemasan lumpia itu berasal dari nama jalan di Semarang, Jl. Mataram, yang merupakan salah satu dari lima aliran lumpia Semarang.
Seperti perguruan kungfu, dalam kisah-kisah klasik Tiongkok, yang punya banyak aliran, jajanan tradisional Negeri Tirai Bambu itu, dewasa ini, punya lima ”aliran” yang kesemuanya dapat ditemukan di Semarang. Masing-masing terkenal dengan cita rasa berbeda, yaitu aliran Gang Lombok (Siem Swie Kiem), aliran Jl. Pemuda (almarhum Siem Swie Hie), dan aliran Jl. Mataram (mendiang Siem Hwa Nio). Ketiga aliran ini berasal dari satu keluarga Siem Gwan Sing-Tjoa Po Nio yang merupakan menantu dan putri tunggal pencipta lumpia Semarang, Tjoa Thay Yoe-Wasih.
Aliran keempat muncul setelah sejumlah pegawai lumpia Jl. Pemuda keluar dari tempat mereka bekerja dan mendirikan usaha sendiri, dan aliran kelima adalah orang-orang dengan latar belakang hobi kuliner yang membuat lumpia dengan resep hasil pembelajaran dari lumpia yang sudah beredar.
Generasi tertua saat ini, yaitu generasi
ketiga Siem Swie Kiem, yang tetap setia melayani konsumennya di kios warisan
ayahnya (Siem Gwan Sing) di Gang Lombok No. 11. Keistimewaan lumpia Gang Lombok
ini, menurut sejumlah penggemarnya, adalah racikan rebungnya yang tidak berbau,
juga campuran telur dan udangnya tidak amis.
Toko Lumpia Gang Lombok di kota Semarang. (Foto: David FP) |
Lumpia buatan generasi keempat dapat kita peroleh di kios lumpia Mbak Lien alias Siem Siok Lien, di Jl. Pemuda dan Jl. Pandanaran. Mbak Lien meneruskan kios almarhum ayahnya, Siem Swie Hie, yang merupakan abang dari Siem Swie Kiem, di Jl. Pemuda (mulut Gang Grajen) sambil membuka dua cabang di Jl. Pandanaran.
Kekhasan lumpia Mbak Lien ini adalah isinya yang ditambahi racikan daging ayam kampung. Ketika awal mula meneruskan usaha mendiang ayahnya, Mbak Lien membuat tiga macam lumpia, yaitu lumpia isi udang, lumpia isi ayam (untuk yang alergi udang), dan lumpia spesial berisi campuran udang serta ayam. Tapi karena merasa kerepotan dan apalagi kebanyakan pembeli suka yang spesial, sekarang Mbak Lien hanya membuat satu macam saja, yaitu lumpia istimewa dengan isi rebung dicampur udang dan ayam.
Toko oleh-oleh "Loenpia Mbak Lien" di Gang Grajen, Jl. Pemuda No. 1, Pandansari, Semarang Tengah. (Foto: Freddy Samad) |
Adapun generasi keempat lainnya, yaitu anak-anak dari mendiang Siem Hwa Nio (kakak perempuan dari Siem Swie Kiem) meneruskan kios ibunya di Jl. Mataram (Jl. MT Haryono), di samping membuka kios baru di beberapa tempat di kota Semarang. Di antara anak-anak almarhum Siem Hwa Nio ini ada juga yang membuka cabang di Jakarta. Bahkan ada cucu almarhum Siem Hwa Nio sebagai generasi kelima membuka kios lumpia sendiri di Semarang.
Selain keluarga-keluarga leluhur pencipta lumpia Semarang tersebut, sekarang banyak juga orang-orang ”luar” yang membuat lumpia Semarang. Mereka umumnya mantan karyawan perusahaan-perusahaan pembuat lumpia yang sudah melegenda. Mereka yang mempunyai hobi kuliner juga turut meramaikan bisnis lumpia Semarang dengan membuat lumpia sendiri, seperti Lumpia Ekspres, Phoa Kiem Hwa dari Semarang International Family and Garden Restaurant di Jl. Gajah Mada, Semarang.
Wisata boga Semarang cukup kaya akan keanekaragaman makanan dan kudapan yang lezat. Sejak lama, Semarang sudah begitu identik dengan lumpia, wingko babat, tahu gimbal dan bandeng presto. Pusat oleh-oleh khas Semarang di Jl. Pandanaran yang begitu padat pengunjung pada akhir pekan merupakan bukti besarnya potensi wisata boga kota itu.
Wisata boga juga bisa dilakukan di Pasar Semawis, yang dibuka di Gang Warung, kawasan Pecinan, tiap Jumat-Minggu malam. Di tempat itu, kita bisa menikmati makanan, minuman dan jajanan khas Semarang.
Pasar Semawis, atau dikenal juga sebagai Waroeng Semawis, awalnya merupakan gagasan dari perkumpulan Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata). Pasar Semawis bermula dengan diadakannya Pasar Imlek Semawis di tahun 2004, menyusul diresmikannya Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional di Indonesia.
Pasar Semawis menyajikan beraneka ragam hidangan yang bisa kita pilih bersama keluarga, mulai dari pisang plenet khas Semarang, nasi ayam, es puter, kue serabi, aneka sate, bubur kacang hingga menu-menu steamboat yang menarik untuk dicicipi. Pusat jajanan terpanjang di Semarang ini buka mulai jam enam sore hingga tengah malam.
Sebenarnya, ada sejumlah kawasan lain di kota Semarang yang menjadi tujuan
wisata boga. Kawasan Simpang Lima, Jl. Ahmad Dahlan, Jl. Gajahmada dan Tanah
Mas merupakan kawasan wisata boga yang hidup setiap malam. Sementara itu,
sejumlah kafe, restoran, rumah makan, hingga warung tenda menjadi jujugan orang-orang yang
membeli kenyamanan menikmati makanan.
Budaya Campur-Aduk
SOAL kekayaan budaya, Semarang juga amat kaya. Mulai dari
kesenian Gambang Semarang yang diadopsi dari gambang kromong Betawi, ketoprak,
wayang orang – yang begitu identik dengan Ngesti Pandawa, hingga ritual
dugderan. Ngesti Pandawa adalah kelompok wayang orang yang berdiri sejak 1 Juli
1937, dan hingga kini masih terus menghibur penonton setiap malam Minggu di
Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Semarang. Namun nasib Ngesti Pandawa sudah
tidak seperti dulu lagi, yaitu pada masa kejayaannya hingga tahun 1980an.
Setelah berusia 72 tahun pada 2009, kelompok wayang orang itu masih harus
berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Setelah
Gedung Ngesti Pandawa diambil alih oleh pemerintah, kelompok wayang orang
tersebut pindah ke Gedung Kesenian Ki Narto Sabdo yang berada di kompleks TBRS.
Kebudayaan Semarang merupakan campur-aduk antara budaya Tionghoa, Jawa, dan
Islam, sehingga tak heran jika muatannya mengandung unsur-unsur budaya
tersebut. Gambang Semarang contohnya. Gambang Semarang merupakan perpaduan
antara tari dengan diiringi alat musik dari bilah-bilah kayu dan gamelan Jawa
yang biasa disebut “gambang”. Gambang
Semarang sering muncul pada perhelatan tertentu, seperti Festival Dugderan dan
Festival Jajan Pasar. Gambang Semarang telah ada sejak tahun 1930 dengan bentuk
paguyuban yang anggotanya terdiri dari pribumi dan peranakan Tionghoa, yang
mengambil tempat pertunjukan di gedung Pertemuan Bian Hian Tiong di Gang Pinggir.
Jenis alat musik yang dipakai adalah kendang, bonang, kempul, gong, suling,
kecrek, gambang serta alat musik gesek. Di samping musik, ada penari dan
penyanyi.
Dugderan adalah
sebuah upacara yang menandai bahwa bulan puasa telah datang. Dulunya,
dugderan merupakan sarana informasi pemerintah Kota Semarang kepada
masyarakatnya tentang datangnya bulan Ramadhan. Dugderan dilaksanakan tepat satu hari sebelum bulan puasa. Kata “dugder”, diambil dari perpaduan bunyi “dugdug”, dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian diasumsikan
dengan derr.
Sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah, yang dikenal
sebagai “jantung” budaya Jawa, Semarang memayungi berbagai kesenian tradisional
Jawa yang juga terdapat di daerah-daerah lain di Jawa Tengah, seperti,
misalnya, wayang kulit dan ketoprak.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Digelar secara rutin setiap malam Jumat Kliwon di TBRS, kesenian ini sudah tumbuh sejak abad ke-16 pada masa Wali Sanga.
Ketoprak merupakan kesenian tradisional yang
mengangkat cerita tentang babad Tanah Jawa. Sejarah yang dijadikan landasan
cerita sering dibumbui dengan berbagai pemanis sehinggga menjadi cerita yang
layak dinikmati. Saat ini ketoprak sering ditampilkan di TBRS setiap malam
Selasa Kliwon dan di gedung museum Ronggowarsito.
Batik Semarangan juga menandai kekhasan
budaya Semarang. Batik ini pernah mengalami masa kejayaan sekitar abad ke-18
sampai abad ke-19, karena dipakai semua kalangan, baik bangsawan maupun rakyat
jelata. Namun, konon kejayaan ini berakhir menyusul meletusnya Gunung Ungaran
akhir abad kesembilanbelas. Tahun 1980an, motif batik Semarangan mulai disibak
lagi. Salah satu motifnya adalah sarung kepala pasung. Motif ini didominasi
warna coklat dan hitam dengan ornamen lebih mengarah bentuk tumbuhan.
Menyambut Sepenuh Hati
SEMARANG adalah salah satu dari segelintir
kota di Jawa di mana kita masih dapat merasakan cara hidup tradisional berpadu
dengan kenyamanan kota modern. Kota ini memiliki baik daerah pantai maupun
perbukitan. Tampaknya, pemerintah daerah Kota Semarang melakukan upaya
terbaiknya untuk menjadikan kota kembar dari Brisbane, Australia, itu sebagai
destinasi wisata yang cukup representatif bagi turis domestik maupun
mancanegara. Keberadaan hotel-hotel bertaraf internasional, dari berbintang
lima hingga satu, maupun yang kelas melati, melengkapi eksistensi Semarang
sebagai tujuan wisata. Ada cukup banyak pusat perbelanjaan di kota
ini, dan belanja di Semarang merupakan pengalaman yang menarik, karena kita
bisa mendapatkan beraneka macam di mal-malnya. Apabila ingin
merasakan atmosfer lokal, kita bisa ke Pasar Johar, sebuah pasar tradisional.
Simpang Lima adalah pusat perbelanjaan yang
paling terkemuka di kota ini. Simpang Lima menaungi banyak toko dan bioskop,
dan menyediakan apa saja yang kita cari. Setiap pagi, banyak orang berlari pagi
di sepanjang jalan di depan pusat perbelanjaan itu. Mal Sri Ratu adalah mal
tertua di Semarang, sedangkan mal-mal penting lainnya adalah Plaza Matahari,
Mal Citraland, dan Java Mall. Ada banyak restoran di kawasan pusat
perbelanjaan, di mana kita bisa istirahat setelah berbelanja.
Pusat jajanan berselera di kawasan Simpang Lima Semarang. Kawasan ini terkenal dengan wisatawan kuliner yang mencicipi aneka kuliner khas Semarang. (Foto: Krisnandy Bagus) |
Saya menunjukkan Tahu Gimbal yang saya pesan di pujasera Simpang Lima Semarang. Difoto pada 6 Juni 2015. |
Ibukota provinsi Jawa Tengah yang terletak
312 km sebelah barat Surabaya itu memiliki brand
wisata “Semarang Pesona Asia” yang dimulai pada tahun 2007. SPA adalah sebuah event tahunan yang mementaskan berbagai
kegiatan pagelaran seni dan budaya Asia, pameran, seminar pariwisata, festival
film dokumenter dan kuliner.
Dengan segala fasilitas dan infrastruktur
yang tergolong cukup memadai, masyarakat Semarang dengan sepenuh hati menyambut
wisatawan untuk datang ke kota itu. Mereka memiliki alasan yang kuat: infrastruktur dan
fasilitas yang menunjang, daya tarik wisata yang cemerlang serta kisah-kisah
sejarah yang gemilang membuktikan bahwa Semarang bukan sembarang!©2022
No comments:
Post a Comment