Thursday, May 5, 2022

Episode Titik Terendah

 

Saya di halaman Wisma Subud Bogor, Jl. KH Sholeh Iskandar, Kota Bogor, 1 Februari 2022. Rasa syukur saya atas Latihan Kejiwaan Subud membuat saya rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk berlatih kejiwaan bersama saudara-saudara Subud.


TANGGAL 4 Mei 2022, satu sahabat saya semasa kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra/FS (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB) Universitas Indonesia bertandang ke rumah saya, masih dalam rangka Idulfitri 1433 Hijriyah. Januar namanya. Di Jurusan Sejarah, dia Angkatan 1986, sedangkan saya 1987, tetapi kami akrab sekali.

Selama di rumah saya, kami saling berbagi cerita, bernostalgia tentang masa-masa di FSUI. Salah satunya tentang episode “titik terendah” saya yang diakibatkan oleh cinta yang kandas. Episode itu, bagi saya, merupakan salah satu yang paling berat, yang kini membuat saya berandai-andai jika dahulu saya sudah menerima Latihan Kejiwaan saya mungkin dapat melaluinya dengan tabah atau tidak perlu mengalaminya.

Setelah Januar pulang, saya masih terkenang kembali pada episode yang menyakitkan itu. Terlebih setelah saya memposting foto Januar dan saya disertai kisah dahulu di FSUI di laman Facebook saya yang direspons satu senior saya yang kemudian saya WhatsApp untuk menceritakan tentang episode titik terendah saya itu.

Ceritanya begini...

Dia adalah Rully (bukan nama sebenarnya), mahasiswi Jurusan Sastra Korea (bukan jurusan sebenarnya) Angkatan 1987. Salah satu comblang saya adalah si Rizki (bukan nama sebenarnya), yang tinggal satu kawasan dengan Rully di wilayah yang kini dikenal sebagai Tangerang Selatan. Saya pernah menyatakan isi hati saya kepada Rully di ruang tamu rumahnya, tapi ditolak. Itu tahun 1993.

Bagaimanapun, saya tidak putus asa, saya masih mengejarnya terus sampai kemudian dia minta saya tidak boleh ke rumahnya maupun menghubunginya lagi. Saya pun mengutus si Januar untuk menyampaikan kado saya buat ulang tahunnya Rully. Saya menunggu di poskamling dari kompleks perumahan di mana Rully tinggal, sedangkan Januar sendirian berjalan kaki menuju ke rumah cewek itu. Cukup lama si Januar tidak balik-balik, lebih dari satu setengah jam, sementara saya bengong saja di poskamling itu.

Ketika kembali menemui saya di poskamling, wajah Januar tampak iba melihat saya. Dia mengajak saya pulang, dan menolak menceritakan saat itu juga apa yang terjadi ketika dia bertemu Rully dan menyampaikan kado dari saya. Sampai di rumah orang tua saya, Januar baru bercerita. Dengan hati-hati, karena khawatir bilamana saya down.

Rupanya, si Rully sudah ada yang melamarnya, dan saya pernah sekali berjumpa dengan cowok yang melamarnya itu di ruang tamu rumahnya Rully – Rully memperkenalkannya sebagai temannya. Januar menirukan ucapannya Rully: “Mas Januar, tolong sampaikan ke Anto, kalau aku sudah ada yang mau melamar. Yang mau melamar itu sudah mapan dan serius, nggak seperti Anto yang belum siap serius.”

Saya merasa down sekali. Hati saya patah sepatah-patahnya. Saya pun mengajak Januar ke kos saya di Gang Stasiun UI, Depok. Saya ditemani Januar dan Adi Nusferadi (Sejarah '86) melewati episode paling parah dalam hidup saya saat itu. Teman saya seangkatan di Jurusan Sejarah, Edi Sudarjat, yang tahu ceritanya dan juga mengenal Rully, menelepon saya, menawarkan ke saya untuk memakai jasa dukun untuk nyantet si Rully. Tapi Edi menyarankan ke saya supaya jangan sampai harus menggunakan cara itu, karena akibatnya juga akan buruk pada diri saya.

Saya sampai histeris di rumah orang tua saya setelah menerima telepon dari Edi. Saya pulang ke rumah orang tua saya setelah dibujuk Januar untuk pulang karena Januar dan Adi khawatir kalau saya keukeuh di kos sendirian saya bakal nekat bunuh diri.

Orang tua dan nenek saya waktu itu akhirnya mengetahui masalah yang sedang saya hadapi dan mereka menyuruh saya salat lima waktu dan Tahajud, dibantu ibu saya dengan melakukan yang sama, supaya saya tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Dalam salat-salat saya, saya berdoa supaya Rully mendapat balasan yang keji.

Sebulan berlalu, saya pun berfokus pada penyelesaian skripsi saya, meski saya belum pulih dari patah hati. Saya ketemu Rizki di kampus, dia bilang bahwa Rully tidak jadi dilamar, calonnya mundur entah apa sebabnya. Tapi saya merasa Tuhan sedang membalas sakit hati saya.

Dengan disemangati oleh Januar dan Adi, saya berhasil menyelesaikan skripsi dan berhasil pula lulus hingga diwisuda pada bulan Agustus 1993. Soal Rully saya sudah lupa, saya salurkan ke bersahabat pena dengan beberapa cewek di luar Jakarta, salah satunya di Surabaya yang kemudian memperkenalkan saya ke teman kuliahnya, yang sekarang menjadi istri saya.

Tahun 2009, saya berjumpa kembali dengan Rully di Facebook. Dia sudah berkeluarga dan tinggal di Prancis (bukan negara sebenarnya). Dia meminta alamat email saya, karena dia ingin menyampaikan sesuatu ke saya.

Saya kaget menerima emailnya. Ruly menulis email yang cukup panjang, yang menjabarkan tentang betapa dia merasa berdosa ke saya, tentang penyesalannya bahwa keadaanlah yang menghalangi dia untuk menerima cinta saya. Seperti yang diceritakan Rizki, Rully pun terus terang bercerita bahwa dirinya batal dilamar; cowok yang mau melamarnya pergi begitu saja tanpa kabar.

Di email itu, dia meminta maaf ke saya, bila saya merasa tersakiti, tapi ada masalah di keluarganya (konflik dia dengan kedua orang tuanya) yang dia yakin akan mengganggu hubungan kami seandainya kami menjadi suami-istri.

Saya menjawab singkat saja email itu. Saya menulis bahwa dia tidak perlu meminta maaf karena itu sudah masa lalu, dan saya bersyukur ke Tuhan bahwa saya diselamatkan melalui kejadian itu.

Kejadian itu salah satu alasan mengapa saya kadang menyesali mengapa saya tidak ditakdirkan untuk menerima Latihan Kejiwaan saat itu. Latihan Kejiwaan memperkuat pribadi saya, meningkatkan kepercayaan diri saya sekaligus merendahkan hati saya. Mungkin Tuhan memang menghendaki saya untuk mengalami episode itu; mungkin Dia sedang mengajarkan ke saya bahwa yang baik menurut saya belum tentu baik menurut Tuhan. Saya memetik hikmah dari kejadian itu, dan meneruskan perjalanan.

Saya merasa diselamatkan dari episode-episode kehidupan selanjutnya yang mungkin lebih berat berkat dibuka di Subud. Masalah memang tidak pernah berhenti tapi bimbingan Tuhan melalui Latihan Kejiwaan menuntun saya untuk selalu sabar, tawakal, ikhlas dan berani menghadapinya.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 Mei 2022 

 


No comments: