Sunday, December 29, 2019

Kepribadian Ganda


SAYA kerap menyaksikan—entah nyata atau cuma halusinasi saya saja—bahwa diri pribadi saya mengikuti atau beradaptasi dengan situasi, kondisi, atau lingkungan di mana saya berada. Seperti pengejawantahan dari pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, saya menjadi pribadi yang sama sekali berbeda ketika saya berada di suatu tempat yang “mensyaratkan” saya untuk memiliki pembawaan tertentu; berbeda dari diri saya di tempat-tempat lainnya. Seakan saya memiliki kepribadian ganda.

Adaptasi itu, sebagaimana saya rasakan, bukan secara sengaja—bukan dibuat-buat, melainkan secara otomatis, tanpa saya harus mengusahakannya dengan bantuan nilai-nilai yang tertanam di akal pikiran saya. Bahkan acap kali saya tidak menyadari perubahan itu. Dan fenomena ini saya alami sejak saya dibuka di Subud, menerima Latihan Kejiwaan untuk pertama kalinya. Saya yakin, kekuasaan Tuhan melalui Latihan Kejiwaanlah yang memampukan saya demikian, karena sebagai manusia saya terlalu lemah untuk membuat diri pribadi saya berubah-ubah sewaktu-waktu, sesuai situasi, kondisi, dan lingkungan di mana saya berada pada suatu ketika.

Suatu ketika, di bulan Januari 2018, seorang saudara Subud dari Cabang Jakarta Selatan yang telah menerima dari saya buku berjudul Bakti Bagi Bumi: Kampung-Kampung Pelindung dan Pengelola Lingkungan (2017), yang kontennya saya yang tulis dan desain hingga cetaknya digarap LI9HT Brand—The IDEAS Company, berkomentar, “Om, saya sudah baca buku yang Om Anto tulis. Tulisannya kok beda ya di buku dengan di grup WhatsApp.”

Di perkumpulan persaudaraan kejiwaan Subud, terutama di Cabang Jakarta Selatan, saya memang dikenal sebagai orang yang suka membuat kekacauan, suka bikin ribut dan pertengkaran (walaupun di dunia maya), dengan menggunakan kata-kata yang tidak pantas, vulgar. Sehingga sebagian saudara Subud beranggapan bahwa saya tidak tahu hal lain selain membuat kekacauan dan berkata kotor. Sungguh amat berkebalikan dengan apa yang dibaca saudara Subud di atas dalam buku yang saya tulis—membahas tentang pemberdayaan kampung sebagai bagian dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Komentar saudara Subud tadi membuat saya merenung: “Iya-ya, kok kepribadian saya bisa berbeda di satu dan lain tempat?”

Sebagai konsultan penjenamaan (branding), bertemu dengan klien bukan hal baru bagi saya. Saya telah menghadapi yang namanya “klien” sejak saya berkarir di dunia komunikasi pemasaran, korporat, dan pembangunan berkelanjutan (sustainability communication) sejak tahun 1994. Di dunia profesional saya, saya tampil profesional sejalan dengan yang disyaratkan oleh tempat, situasi, dan kondisinya. Sebelum menerima Latihan Kejiwaan, bagaimanapun, sedikit banyak kepribadian saya di dalam maupun di luar ranah pekerjaan tidak jauh berbeda: Temperamental, ngototan, sulit menerima kritik dan hanya suka pujian, ngambekan, serta kurang bersemangat. Pokoknya, sama sekali tidak mencerminkan profesionalisme!

Nah, kepribadian seperti itu berubah sama sekali sejak saya aktif berlatih kejiwaan Subud. Baiklah, tidak “sama sekali”, karena di luar ranah pekerjaan, kadang saya masih menyuratkan kepribadian “negatif” seperti yang saya paparkan di atas. Tetapi di ranah pekerjaan, terutama saat berinteraksi dengan klien atau tim kerja, saya bisa menjadi pribadi yang sama sekali berbeda. Tidak saya buat-buat atau sengaja saya lakukan sebagai pencitraan, tapi benar-benar “dibuat seperti itu” tanpa melibatkan usaha dari pihak saya, alias otomatis, seakan ada dua atau lebih makhluk menghuni ruang di balik kemasan tubuh saya.

Perubahan kepribadian itu berlangsung dalam sekejap, dalam sekedip mata. Misalnya, saat bertemu klien yang ingin berkonsultasi menyangkut penjenamaan saya tampil benar-benar profesional, dengan segudang informasi berdasar pengetahuan dan pengalaman saya tumpahkan dengan lancar. Begitu pertemuan itu selesai dan saya sejenak menekuni diskusi-diskusi di grup WhatsApp (WA) Subud atau pasca meeting dengan klien saya pergi menjumpai orang-orang dalam situasi, kondisi, maupun lingkungan yang berbeda, bisa lho saya menjadi pribadi yang berbeda seratus delapan puluh derajat.

Di grup WA Subud, saya “kembali” menjadi pribadi yang luar biasa jahilnya, luar biasa vulgarnya, sampai saya dipersepsikan oleh para anggota grup tersebut sebagai pribadi monster yang kelakuan buruknya membuat mereka emoh berurusan dengan saya.

Saya pernah menghadiri sebuah seminar sejarah di gedung konvensi di kompleks Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 14 Februari 2018 lalu, di mana saya berjumpa dengan dua saudara Subud yang cukup sepuh. Satu adalah pengelola publikasi Subud Indonesia—sebut saja “Pak Wal”, sedangkan satunya lagi, “Ibu Sut”, hadir dalam kapasitasnya sebagai pakar ilmu sejarah bergelar doktor yang sehari-harinya berprofesi dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Saat rehat makan siang, Ibu Sut minta izin ke saya untuk menanyakan sesuatu. Saya persilakan, dan beliau pun mulai menanyakan kebenaran dari apa-apa yang beliau dengar dari satu saudara Subud yang selama ini tidak suka pada saya. Saudara Subud itu memperlihatkan postingan-postingan vulgar saya di sebuah grup WA beranggotakan anggota Subud dari berbagai cabang se-Indonesia, yang saya buat dan kelola. Ibu Sut mempersepsikan saya selama ini sebagai “sosok intelektual dengan analisis akademik yang mumpuni”, yang membuat beliau menaruh respek pada saya. “Sungguh berbeda Mas Anto yang saya kenal selama ini dengan Mas Anto dalam grup WhatsApp tersebut,” kata Ibu Sut.

Dalam kesempatan itu pun, saya meluruskan semua yang menyangkut diri saya dan apa maksud saya memposting hal-hal vulgar di grup WA tersebut. Pak Wal, yang mengenal pribadi saya berdasarkan apa yang beliau persepsikan dari postingan-postingan saya di grup WA Subud, turut mendengarkan penjelasan saya dengan saksama. Beliau yang tadinya “kurang berkenan” terhadap diri saya, akhirnya mengangguk-angguk sambil tertawa. Seorang saudara Subud, yang menjadi salah satu panitia penyelenggara seminar tersebut dan nimbrung dengan saya, Ibu Sut, dan Pak Wal, berseloroh, “Seharusnya publikasi Subud menampilkan profil Mas Anto, yang berhasil membuat semua orang Subud tertipu dengan kepribadian gandanya.”

Di kalangan teman-teman saya semasa kuliah di Universitas Indonesia dahulu, saya dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan jarang tersenyum, dan persepsi itu bertahan di benak mereka. Namun, ketika mereka berinteraksi dengan saya dewasa ini, baik di dunia nyata maupun maya, mereka tidak menyangka bahwa saya bukanlah pribadi yang pernah mereka kenal di bangku kuliah dahulu. Saya yang sekarang, di mata mereka, merupakan pribadi menarik yang murah senyum, tetap sulit bersikap serius dalam waktu yang lama namun memiliki opini-opini cerdas yang membuka mata mereka.

Dari serangkaian pengalaman dengan “kepribadian ganda” yang telah saya lalui, saya berkesimpulan, zat kekuasaan Tuhan yang hidup dalam diri saya, yang terbangkitkan oleh Latihan Kejiwaan yang saya tekuni dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun terakhir ini, menata diri pribadi saya sesuai situasi, kondisi, dan lingkungan di mana saya berada. Bagaimanapun, saya terus memohon kepada Tuhan, agar saya dapat merengkuh budi pekerti yang utama sejalan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga kepribadian saya tidak lagi merugikan orang lain. Amin!©2019


GPR 3, Jl. Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 30 Desember 2019

No comments: