Waktu masih pacaran dulu, saya dan istri menjalin long-distance relationship, terpisah jarak 980 km -- saya di Jakarta dan dia di Surabaya. Kami memang mengawalinya dari persahabat-penaan. Walaupun berjauhan, toh hubungan kami berjalan mulus selama tiga tahun dan delapan bulan, sampai akhirnya kami melangkah ke pelaminan. Ketika kami beretrospeksi, ternyata banyak peristiwa yang membuktikan adanya hubungan batin di antara kami.
Apa yang ada dalam pikiran dan perasaannya, otomatis saya menangkapnya, tanpa rekayasa maupun pengetahuan, dan begitu pula sebaliknya. Suatu kali, saya sangat terkesan mendengar lagu baru Richard Marx, Now and Forever, yang diputar berulang kali di radio pada tahun 1994, karena liriknya menggambarkan hubungan kami. Begitu terkesannya sampai jauh di dalam lubuk hati saya merasa bahwa pacar saya (yang kemudian jadi istri saya) juga menyukainya, sehingga saya membeli kasetnya dan mengirimnya ke dia tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, biar surprise. Dia senang sekali dan bertanya, "Kok tahu kalau aku kesengsem sama lagu itu?" Saya malah bertanya balik, "Kenapa kok suka Now and Forever?" Jawabannya membuat saya terperangah: "Karena liriknya ngegambarin tentang kita!" Cocok dengan latar belakang keterkesanan saya terhadap lagu tersebut. Yang membuat saya semakin terperangah adalah bahwa ternyata dia juga sudah berencana mau membeli dan mengirim saya kasetnya pada hari saya membeli kaset Richard Marx itu (saya selalu mencantumkan tanggal pembelian), namun tidak jadi karena suara batinnya memberitahu bahwa saya sudah membelinya.
Kecenderungan hubungan batin ini masih terus berlangsung hingga kini, ketika usia perkawinan kami telah menginjak usia ke-11. Sejak saya kembali bekerja di Jakarta, mulai 25 Juni 2005, saya tinggal berjauhan dari istri saya yang untuk sementara tetap di Surabaya. Selain SMS dan telepon SLJJ, 'telekomunikasi batin' juga mewarnai hubungan suami-istri jarak jauh ini. Hubungan batin dua arah ini mulai gencar sejak kami sama-sama aktif berlatih kejiwaan Subud. Sebelum saya berspiritualitas, kebanyakan hanya istri saya yang bisa merasakan diri saya. Kini kami sama-sama bisa saling merasakan, yang terjadi begitu saja. Apa yang tidak dia sukai dari sikap dan perilaku saya, misalnya, tanpa dia harus menegur saya, saya sendiri akan tiba-tiba merasa bahwa sikap dan perilaku saya tidak menyenangkannya.
Kata orang, gejala begini namanya jodoh! Bila dengan pasangan sendiri bisa begitu, coba bayangkan bagaimana rasanya bila kita bisa berjodoh dengan kehendak Sang Pencipta? Ini bukan hal yang tidak mungkin, lho. Tidak usah jauh-jauh membayangkan kaum ahlullah (orang yang selalu intim (uns) dengan Allah), seperti para nabi alaihisalam dan orang-orang suci di masa lalu, yang memang dianugerahi perjodohan semacam ini. Kita pun bisa mengalami, bukan sekali dua kali tetapi selalu, kesejajaran kehendak antara pribadi kita dengan Gusti Alah. Saudara saya di jalan spiritual secara subyektif mengistilahkannya wahdat al-iradat (penyatuan kehendak; kehendak Tuhan menyambung dengan kehendak kita, bukan sebaliknya, karena daya dan kekuatan kehendak kita bersumber padaNya).
Ya, semua orang, tak terkecuali, bisa berjodoh kehendak dengan Tuhan Yang Maha Berkehendak, sehingga membangkitkan keyakinan hakiki bahwa Tuhan selalu menjawab doa kita. (Saya menggarisbawahi kata 'selalu', karena banyak sekali orang yang mengaku beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi nyatanya tidak sepenuhnya percaya bahwa Dia senantiasa sudi menjawab doa hambaNya.) Kok bisa? Kaum ahlullah mengungkapkan, "Man lam yadzuq lam y'arif!" (siapa yang belum merasakan tidak akan mengenalNya). Kuncinya ada pada kepekaan rasa. Rasa kita harus selalu dilatih dalam rangka mencapai perjodohan kehendak dengan Tuhan. Bagaimana melatih kepekaan rasa? Rasa diri (inner feeling, yaitu rasa yang hidup bila kita melihat, mendengar dan mengecap keindahan) kita harus dilembutkan. Bagaimana caranya? Dengan banyak memperhatikan kebutuhan sesama kita yang kekurangan, melebihi kepentingan kita sendiri, serta berserah diri dengan sabar dan tulus ikhlas. Tidak usah takut miskin walau harus menyalurkan sebagian besar kepemilikan kita kepada orang miskin. Selama kita tulus dan ikhlas, hakikat dari 'banyak menerima dengan banyak memberi' bukan isapan jempol!!!
Berempati pada sesama manusia dengan ikhlas, tanpa pamrih, dapat menjinakkan nafsu-nafsu keinginan kita. Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Al-Fath ar Rabbani wa al-Faydl ar-Rahmani -- Renungan Sufi (Yogyakarta: Pustaka Furqan, 2006) berkata, "Jika engkau pendekkan anganmu, maka kebaikan akan mendatangimu. Karena itu, pegang teguhlah ini jika memang engkau menginginkan keberuntungan." Banyak dari kita yang sesungguhnya terusik ketenangan hidupnya karena membiarkan diri ditaklukkan nafsu-nafsu keinginan pribadi. Kalau keinginannya tidak terpenuhi dia akan kecewa, tetapi kalau terpenuhi dia tidak pernah puas. Memang begitulah sifat nafsu; selalu merongrong, selalu membuat kita terburu-buru ingin mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, padahal belum tentu baik bagi kita. Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani selanjutnya berkata, "Orang yang terburu-buru tidak akan mendapatkan apa pun yang diinginkannya. Buru-buru termasuk sifat Setan dan mempertimbangkan segala sesuatu dengan hati-hati dan pelan tetapi pasti adalah sifat Maha Pengasih." Dan nafsu suka membuat kita ketakutan akan segala sesuatu selain Allah. Seyogianya kita serahkan segala perkara kepada Tuhan semata; biar Dia yang mengelola nafsu-nafsu keinginan kita.
Nah, tatkala kita sudah sepenuhnya menyerahkan manajemen nafsu kita kepada Tuhan, pada saat itulah mulai mulus jalinan perjodohan kehendakNya dengan kita. Ada sebuah kata mutiara yang berbunyi, "Tuhan selalu menjawab doa kita, dan kadang jawabanNya adalah 'tidak'!" Ya atau tidak adalah jawaban kan?! Pengalaman saya bertutur, bila Tuhan menjawab 'tidak', bukan berhenti sampai di situ. Dia pun akan menyiram kita dengan kucuran hikmah makrifat (pengetahuan berdasarkan pengalaman langsung) yang -- saya yakin -- bakal bikin kita tidak mau lagi (baca: mengabaikan) apa pun yang pernah kita inginkan dan kita pohonkan kepada Tuhan agar dikabulkan. Kita akan mengalami fenomena ekstase 'mabuk cinta' [kepada Allah] yang oleh kaum Sufi diistilahkan 'memandang Wajah Allah'!
Mudah-mudahan lanturan saya ini berjodoh dengan kebutuhan mental-spiritual Anda.©
No comments:
Post a Comment