Sunday, January 16, 2011

Negeri (Tanpa) Harapan


“Perubahan tidak akan datang jika kita menunggu orang lain atau waktu lain. Kita sendirilah yang kita harapkan. Kitalah perubahan yang kita cari.”

—Barack Obama



Seorang perempuan di sebuah dusun di kawasan Purwokerto Barat, Banyumas, Jawa Tengah, menawarkan bayi yang sedang dikandungnya untuk saya adopsi.


Kemiskinanlah yang mendorongnya berbuat begitu. Dia sudah punya dua anak, dan tidak sanggup untuk menanggung perawatan anak ketiga, yang diperolehnya akibat upaya keluarga berencana yang 'kebobolan'.


Bersama istri, saya kunjungi gubuk reyotnya. Suaminya adalah buruh serabutan, yang tidak berada di rumah ketika saya datang. Tantangan kemiskinan mendorongnya untuk bekerja tak peduli waktu. Ia mendukung keputusan istrinya untuk menyerahkan anak ketiga mereka kepada orang tua angkat.


Perempuan itu berkisah bahwa ia pernah menjadi TKI di Malaysia. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji tujuh ratus ribu rupiah per bulan, setara dengan gaji PRT di keluarga-keluarga kelas atas Jakarta. Lalu, mengapa harus ke Malaysia? tanya saya.


“Saya mencari harapan yang lebih baik, Mas,” jawab perempuan itu sambil mengelus-elus perutnya yang membuncit sedemikian rupa, yang menandakan kondisi dirinya yang hamil tua.


Harapan yang lebih baik? Apakah negeri ini sudah tidak punya harapan? Saya tercenung saat itu, merenungkan apa gerangan yang saya miliki untuk memastikan bahwa harapan saya lebih baik daripada perempuan itu.


Saya menerawang, ke belakang dan ke depan. Negeri ini tidak bisa memberi harapan. Sampai kapan pun. Yang bisa adalah diri kita sendiri. Sedangkan negara dapat menciptakan situasi yang kondusif agar harapan-harapan rakyatnya, apa pun itu, selama masih realistis, dapat terealisasi.


Situasi yang berkembang sekarang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan atas apa pun yang mereka yakini selama ini. Bahkan kepercayaan diri pun merosot hingga ke titik nadir. Kepercayaan pada sesuatu yang lebih besar daripada eksistensi manusia (Tuhan) juga telah surut bagai ombak yang menarik diri dari pantai. Tidak mengherankan bila tingginya angka bunuh diri mampu membunuh kenyataan bahwa negeri ini merupakan tempatnya agama-agama dapat tumbuh subur.


Para pemimpin yang membiarkan diri dipimpin oleh ego mereka sendiri telah memelorotkan harapan banyak orang, menjadikan negeri ini hampir tak memiliki harapan. Dewasa ini, semakin banyak orang yang terhipnotis oleh harapan yang dijanjikan negeri-negeri lain. Mulai dari kalangan kelas bawah yang merasa tidak punya harapan sampai orang kaya yang kelebihan harapan.


Hidup tidak berhenti pada harapan. Bahkan bergantung pada harapan saja akan menghasilkan hidup yang tidak nyata. Adalah lebih baik jika harapan ditindaklanjuti dengan upaya untuk mewujudkannya. Apa pun kendala yang menghadang di muka, seyogianya langkah kita tidak surut selama kita meyakini harapan kita.


Orang-orang beriman merupakan sosok-sosok yang meyakini bahwa setiap harapan mereka dapat terwujud lewat setiap langkah usaha mereka. Sang Buddha mengajarkan, agar kita jangan hanya duduk diam, melainkan supaya kita melakukan sesuatu. Jika harapan kita adalah perubahan, misalnya, lakukanlah perubahan itu, tidak usah menunggu orang lain atau alam yang melakukannya.


Tidak ada negeri yang dapat memberi atau tidak dapat memberi kita harapan—apakah negeri itu kaya-raya atau tidak. Harapan adalah cetusan dari diri kita sendiri, dan pemenuhannya juga berawal dari niat kita sendiri. Jadi, apakah masih ada harapan di negeri ini? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.(AD)



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 17 Januari 2011, pukul 04.46 WIB


No comments: