Sunday, October 2, 2011

Identifikasi

TAHUN 1996, saya mengundurkan diri sebagai karyawan sebuah biro iklan multinasional papan atas Indonesia yang berbasis di Jakarta. Dengan identifikasi “mantan copywriter Lintas” saya berani melamar ke duapuluhan biro iklan di Jakarta, dan berdasarkan identifikasi itu pula 16 di antaranya memanggil saya untuk diwawancara. Sebagai “lengan periklanannya Unilever, Lintas (Lever International Advertising Services) waktu itu didaulat sebagai universitasnya insan periklanan, yang bahkan karyawan yang dipecat sekalipun berpeluang besar untuk ditangkap agensi-agensi bergengsi lainnya.

Salah satu pihak yang menghubungi saya adalah pengarah kreatif eksekutif (executive creative director/ECD) sebuah biro iklan multinasional. Sang ECD, ketika mewawancarai saya, menepis tawaran saya untuk memperlihatkan portofolio karya iklan yang pernah saya buat bersama tim kreatif Lintas. “Tidak perlu, saya sudah tahulah kualitas Anda sebagai jebolan Lintas!” kata sang ECD dalam aksen Aussie yang kental.

Awalnya, saya memang bangga menyandang identifikasi “mantan copywriter Lintas, tetapi lama kelamaan kok terasa mengganggu, tidak membebaskan malah membebani, karena orang jadinya berekspektasi lebih dari saya, melampaui kemampuan saya yang sebenarnya. Akhirnya, saya bertekad bahwa saya harus dikenal dan diterima sebagai diri sendiri, tanpa embel-embel apa pun. Rasanya, lebih membanggakan dan membahagiakan jika orang-orang menyambut saya sebagai teman mereka lantaran saya adalah saya, bukan saya dengan identifikasi tertentu.

Idealisme seperti itu agaknya sulit dikembangkan, karena saya berada di lingkungan di mana identifikasi jauh lebih penting dari apa pun. Sepertinya, tanpa identifikasi kita tidak punya eksistensi. Dengan pengalaman 17 tahun (tahun 2011, ketika saya menulis artikel ini) menangani merek dan pemerekan (branding), saya dapat memastikan bahwa itu benar adanya. Menurut Dan Ariely, penulis Predictably Irrational: The Hidden Forces That Shape Our Decisions (2010), kita selalu mengira keputusan-keputusan yang kita ambil adalah berdasarkan alasan-alasan yang masuk akal, padahal tidak selalu begitu. Hampir selalu ada alasan yang “bukan aslinya Anda” ketika Anda memilih merek yang satu dan bukan merek yang lain, atau memilih apa pun dalam hidup Anda, termasuk suami/istri, pacar, sekolah, pekerjaan, rumah, mobil dan lain sebagainya. Menurut Ariely, kita selalu mengidentifikasi diri dengan sesuatu di saat ini atau di masa lalu, yang pada gilirannya mempengaruhi pilihan-pilihan kita.

Kita cenderung senang dan bangga diidentifikasi sebagai bagian dari sesuatu, walaupun tak jarang sesuatu itu semu. Adik saya tadinya bangga sebagai pengguna Nokia E63. Belakangan, ia muncul di hadapan saya dengan Blackberry Bold dan Samsung Galaxy Mini, sedangkan Nokia E63-nya ia pensiunkan. Pengalaman saya di dunia branding membuat saya sudah menduga jawaban adik saya, waktu saya tanya mengapa ia mengganti Nokia E63-nya dengan BB dan Galaxy Mini: Identifikasi sebagai bagian dari komunitas pengguna BB dan telepon seluler (ponsel) layar sentuh lebih membanggakan daripada idealisme untuk bertahan sebagai dirinya sendiri yang sebenarnya lebih suka pakai Nokia E63.

Padahal bila dicermati lebih jauh, landasan bagi identfikasi itu bersifat “holografis (terlihat tetapi sejatinya tidak ada). Coba deh, tanyakan para pengguna BB mengapa mereka menggunakan BB (atau tanyakan pada diri Anda sendiri, jika Anda kebetulan menggunakan BB). “Ada Blackberry Messenger-nya sih, jadi gampang dalam berkomunikasi. Gratis pula!” jawab rata-rata dari mereka.

Gampang berkomunikasi dengan siapa? Dengan sesama pengguna BB tentu saja, bukan dengan pengguna merek ponsel pintar lainnya atau ponsel apa pun, tetapi justru itulah persepsi yang sengaja ingin ditanamkan di benak konsumen oleh pemasar merek bersangkutan. Tampaknya mereka amat berhasil dalam melakukannya. Strateginya simpel saja: Para pengguna BB dipengaruhi sedemikian rupa lewat upaya branding untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang eksklusif, yang bila tidak tergabung di dalamnya mereka dianggap bukan warga dunia virtual (netizen) yang hebat! Mereka juga diminta untuk mengajak sebanyak mungkin teman atau relasi mereka untuk bergabung dengan mereka di komunitas tersebut—tak jarang dengan taruhan hubungan pertemanan bakal berakhir bila ajakan mereka ditepis.

Hebat benar nih industri komunikasi merek, puji Tuhan! Berarti profesi saya di bidang branding bakal semakin dibutuhkan di masa depan…

Spiritualitas dalam Kemasan

IDENTIFIKASI telah pula merambah ke dunia spiritual yang tadinya bebas dari yang serba semu seperti itu. Spiritualitas baru bisa diklaim sebagai “hakikat” (kebenaran mutlak) justru ketika padanya tidak dilekatkan identifikasi macam apa pun. Ironisnya, justru klaim-klaim hakikat berasal dari organisasi-organisasi spiritual, yang untuk keperluan identifikasi merasa perlu diorganisasikan, diberi nama merek (brandname), ditata dan distruktur sedemikian rupa, sehingga sebenarnya sifat hakikat dari spiritualitas menjadi kabur.

John Naisbitt bilang, “Spirituality yes, organized religion no—spiritualitas ya, agama yang terorganisasi tidak,” ketika abad ke-21 merangkul dunia, yang waktu itu diramalkan akan mengalami perubahan radikal dengan berakhirnya agama-agama yang terorganisasi lantaran umatnya memilih jalan spiritual yang tidak dikekang kewajiban dan kepatuhan apa pun. Bagi masyarakat Barat, agama dipandang sebagai suatu gerakan yang terorganisasi, memiliki landasan yang terstruktur, teratur rapi, yang jika dilanggar akan menyebabkan si pelanggar celaka, sedangkan spiritualitas dipandang merupakan wilayah yang bebas nilai, bersifat open-source (bisa diakses siapa saja tanpa batasan) karena sumbernya bisa apa saja—tidak melulu pengalaman ketuhanan.

Sejatinya, spiritualitas memang tidak terorganisasi lantaran spiritualitas merupakan produk dari pengalaman pribadi masing-masing pejalan. Tetapi kini, bertentangan dengan ramalan Naisbitt di atas, tendensi yang tampak adalah spiritualitas yang terorganisasi, yang karena orang Barat tetap beranggapan bahwa hanya agama yang memiliki sifat terorganisasi maka tendensi spiritualitas demikian dicap experiential religiosity atau keberagamaan yang didasari oleh pengalaman pribadi dengan yang transenden (Tuhan, realitas tertinggi, Rahasia, Unsur ke-11, atau apa pun namanya).

Dewasa ini, karena manusia butuh identifikasi, organisasi-organisasi spiritual bermunculan dengan mengusung ajaran (sebenarnya sih nasihat, tetapi derajatnya dinaikkan menjadi ajaran untuk menghargai) para pendirinya. Dalam berbagai segi, organized spirituality ini tak ubahnya organized religion, dengan struktur kekuasaan yang mengendalikan jalannya organisasi, serta sistem kependetaan dan nilai-nilai yang menata pertumbuhan spiritual anggota.

Di sektor spiritualitas yang terorganisasi ini, sama seperti agama dalam perkembangannya jauh setelah penerima wahyu meninggal, Tuhan tidak lagi Maha Kuasa lantaran dikuasai oleh organisasi dan penguasa di dalamnya. Orang-orang di dalam organisasi ini mengatur kapan sesuatu merupakan kehendak Tuhan dan kapan yang bukan! Kini, bukan cuma ada AMDK (air mineral dalam kemasan), tetapi juga ada SDK, spiritualitas dalam kemasan—spiritualitas yang dijual dalam kemasan macam-macam warna dan selera, dan masing-masing merek mengklaim dirinya lebih baik daripada yang lain-lainnya, tak ubahnya consumer goods.

Menaksir Cinta

ILMU psikologi membedakan antara naksir (infatuation) dan cinta (love): Yang tersebut pertama adalah perasaan suka pada seseorang yang dilandasi identifikasi-identifikasi tertentu, seperti wajahnya tampan/cantik, senyumnya memukau, baik hati, bicaranya bermutu, tulisannya menginspirasi, jenius, hobinya sama, dan lain-lain. Sedangkan “cinta” timbul tanpa perlu identifikasi apa-apa—suka saja! Dengan wawasan ini, saya kira Anda bisa mulai menaksir cinta Anda kepada sesuatu atau seseorang, apakah bebas identifikasi atau tidak.

Saya sangat suka menulis, dan sampai sekarang saya belum menemukan alasan yang tepat untuk menjelaskan kepada orang lain mengapa saya menyukainya. Dahulu, semasa sekolah di Negeri Belanda, saya memang jago dalam pelajaran mengarang sampai guru-guru saya berdecak kagum, tetapi saya kira itu bukan alasan yang tepat untuk menjelaskan mengapa sekarang saya sangat suka menulis, sebab saat itu hingga tamat kuliah saya memandang menjadi penulis bukanlah apa yang saya cita-citakan (lagi-lagi lantaran identifikasi mengenai kehidupan penulis yang kurang menjanjikan secara ekonomi).

Hidup pada hakikatnya tidak memerlukan identifikasi, karena manusia pun dilahirkan tanpa embel-embel apa pun. Bila Anda dapat mengerahkan perasaan dan pemikiran, perkataan dan perbuatan untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan umum tanpa identifikasi apa-apa, Anda telah melampaui kemelekatan, terbebas dari penderitaan, dan mencapai keabadian.©2011

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 2 Oktober 2011

No comments: