Wednesday, July 6, 2011

Cinta Dalam Sepotong Cabai

 “Setiap orang bodoh bisa mengkritik, mengutuk, dan mengeluh tetapi diperlukan karakter dan pengendalian diri untuk dapat memahami dan memaafkan.”

~Dale Carnegie

 

SEPUPU saya, laki-laki yang kini berusia 38 tahun (pada tahun 2011), sewaktu kecil sangat nakal dan sering melawan orang tua. Ia anak bungsu dari tiga bersaudara, yang mana dua lainnya adalah perempuan. Lantaran “senasib”, ia lebih dekat dengan saya ketimbang saudara-saudara perempuannya. Anehnya, kalau bersama saya dia malah tidak menunjukkan kenakalan sama sekali.

Sekali waktu, ketika saya sedang menginap di rumah orang tuanya, saya menyaksikan kenakalannya yang luar biasa. Hanya karena ibunya menolak memberinya uang jajan (lantaran sebelumnya ia sudah mendapat uang jajan) ia mengejek ibunya dengan kasar. Seluruh penghuni kebun binatang dan kakus ia lontarkan kepada ibunya, yang pada gilirannya kemudian hanya diam dan tampak menahan tangis. Sepupu saya kemudian kabur, meninggalkan teras rumah dan kembali bergabung dengan kawan-kawan sepermainannya.

Tak dinyana, bibi saya, yang sebelumnya kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya,  melangkah ke teras. Di tangannya, beliau menggenggam sepotong cabai merah keriting, yang dengan melihatnya saja saya sudah merasa kepedasan. Bibi saya menyembunyikan tangan yang menggenggam cabai itu di belakang punggungnya dan beliau memanggil-manggil sepupu saya. Sepupu saya sempat tidak mau, tetapi lantaran bibi saya mengiming-iminginya dengan uang jajan, dia segera berlari menuju teras, mendatangi ibunya.

Begitu sepupu saya mendekat, bibi saya menangkapnya, menarik rambutnya agar sepupu saya terdesak untuk mendongakkan kepalanya dan mulutnya menganga. Pada saat itulah, bibi saya “mengulek” sepotong cabai merah keriting itu di mulutnya. Sepupu saya menjerit-jerit sambil memegangi mulutnya yang berlumuran cabai merah. Ia berlari kencang ke arah dapur, di mana ia membenamkan kepalanya ke dalam termos es batu.

Membandingkan diri sepupu saya yang dahulu dengan yang sekarang tentu akan tampak perbedaan yang signifikan. Kini ia lebih pendiam, hormat pada orang tua dan santun kepada siapa saja. Kepada saya—ketika saya mengungkit kisah sepotong cabai merah keriting yang diulek ibunya di mulutnya itu—ia mengutarakan bahwa ia sebenarnya mendapatkan cinta ibunya lewat pengalaman dengan cabai merah keriting itu.

Kebanyakan dari kita lebih suka dipuji daripada dikritik, atau dicaci, atau dimarahi, tidak menyadari bahwa justru lewat kritik, cacian atau kemarahan yang seimbang dengan pujian yang kita terima, pribadi kita tumbuh dan berkembang menjadi kian mantap. Pujian yang berlebihan, tanpa sekalipun menerima kritik, cenderung menjadikan pribadi kita manja dan tidak tahan dengan cobaan hidup, juga menjauhkan kita dari kesintasan (survivability).

Perlakuan yang saya terima ketika masih berstatus trainee copywriter di sebuah biro iklan multinasional papan atas di Jakarta sama sekali tidak ada korelasinya dengan pekerjaan saya. Tukang bikin copy (naskah iklan) diterjemahkan seenaknya oleh senior saya sebagai “tukang bikin kopi”; saya disuruh membuatkan kopi untuknya, padahal ada office-boy. Dan dari mulutnya jarang sekali keluar pujian atas pekerjaan yang saya lakukan dengan baik, tetapi kritikan dan caciannya sepedas cabai. Pengalaman itu membuat saya sempat bersumpah bahwa jika suatu saat saya mencapai tingkat sejajar dirinya (senior copywriter atau creative director) saya tidak akan bersikap sebagaimana dirinya terhadap bawahan atau yuniornya.

Ternyata hal itu tidak selalu bermanfaat. Ketika para pemula di bidang pekerjaan saya diperlakukan dengan lunak, tanpa pernah dikritik sama sekali, mereka malah tidak mengalami kemajuan sama sekali; pikirannya terjebak pada rutinitas atau berpikirnya tidak berani keluar dari pakem (out-of-the-box).

Hal yang sama saya lihat pada lulusan perguruan tinggi yang ketika menjadi mahasiswa baru tidak melewati masa pengenalan kampus atau perploncoan, yang sering terkesan sarat kekerasan yang intimidatif. Beberapa dari “spesies” ini pernah menjalani program permagangan di tempat saya bekerja dahulu, dan tampak jelas mereka tidak tahan banting, mudah menyerah dan sensitif terhadap kritikan. Ada yang sampai ngambek dengan membolos satu-dua hari dari masa permagangannya yang berlangsung sebulan itu. Berdasarkan pengalaman saya, inisiasi yang saya lewati ketika menjadi mahasiswa baru di Universitas Indonesia malah menempa saya untuk menghadapi kehidupan nyata di luar pagar kampus yang kerasnya melampaui apa yang saya terima dalam inisiasi.

Beberapa tahun lalu, sejumlah saudara Subud saya mengeritik serta mencaci saya sedemikian rupa di ajang mailing list, hingga saya nyaris tergerak untuk melontarkan amarah saya. Ajaibnya, pada saat saya hendak mengetik e-mail balasan untuk balik mencaci mereka, seorang saudara Subud saya yang sudah sepuh menelepon saya. Beliau berkata, “Kamu sudah baca e-mail mereka? Kalau kamu marah dan terpancing oleh mereka, berarti kamu gagal dalam Latihan Kejiwaan (baca: penyerahan diri) kamu. Kritikan dan kecaman maupun caci-maki semacam itu melatih “badan pengertian” (understanding) kamu. Terimalah dengan legawa (lapang dada). Dirasakan saja dengan penuh cinta pada mereka yang mencaci kamu.”

Itulah yang saya lakukan. Sepertinya Tuhan sedang mengajari saya untuk menjadi rendah hati terhadap situasi apa pun. Susah sekali pada awalnya memang, bak—meminjam istilah saudara Subud saya lainnya—menelan buah kedondong bulat-bulat; rasanya sakit sekali, terasa ngilu di ulu hati. Tetapi saya bersyukur lantaran pernah melewati “inisiasi kehidupan” semacam itu, karena kini, sesuai sikap kritisisme saya yang memang alami, saya cenderung terbuka dan blak-blakan dalam mengkritik orang lain, tetapi pada saat yang sama saya siap dengan konsekuensinya: dikritik atau dikecam balik oleh orang bersangkutan. Hanya saja, kini saya dapat menerimanya tanpa perasaan benci atau ketidaksukaan; sebaliknya, saya malah menyayangi orang tersebut.

Pujian memang perlu, tetapi harus proporsional, tidak berlebihan. Demikian pula dengan kritikan—harus seimbang. Dengan adanya keseimbangan, dibarengi sikap kerendah-hatian, kritikan sepedas cabai merah keriting pun berasa mengandung cinta dan perhatian.Ó2011

 

Lantai Dasar Wisma Indonesia, Kompleks Wisma SUBUD Cilandak, Jakarta Selatan, 6 Juli 2011

No comments: