Monday, October 3, 2011

Produk Gagal

“Kegagalan disebabkan oleh tidak suksesnya kita mensyukuri satu fase kesuksesan yang telah kita peroleh.”

~Anonim

 

SATU Oktober 2011 lalu, saya menghadiri acara reuni dan halal bihalal alumni Angkatan 1986 Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FP-IPS) IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri Jakarta, bertempat di Rumah Makan Cibiuk, Gandaria, Jakarta Selatan. Meski dianggap alumnus, saya hanya sempat dua semester kuliah di IKIP Jakarta, karena saya kemudian pindah ke Jurusan Sejarah Fakultas Sastra (FS; sekarang menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, FIB) Universitas Indonesia.

Salah seorang alumnus sengaja datang jauh-jauh dari Tegal demi reuni tersebut. Seperti kebanyakan dari mantan teman kuliahnya, ia menjadi guru, mengajar mata pelajaran IPS di sebuah sekolah menengah kejuruan di Kota Tegal. Mengetahui bahwa profesi yang saya, dan juga sebagian kecil teman kuliahnya di IKIP Jakarta, tekuni selepas kuliah sama sekali jauh dari bidang ilmu kesejarahan maupun keguruan dan kependidikan, teman saya itu bergurau bahwa kami itu termasuk golongan produk gagal, lantaran tidak sejalan dengan tujuan pendidikan kami.

Tetapi teman saya itu bercerita bahwa setamat kuliah di IKIP ia pun tidak serta-merta menjadi guru, melainkan sempat bekerja di Singapura atas ajakan kakaknya. Ia bekerja di perusahaan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), yang untuk itu ia sempat pula mengunjungi beberapa negara di Asia. “Negara-negara yang sebelumnya hanya aku tahu dari buku saat itu aku mengalaminya langsung,” kisah teman itu.

Saya mencoba membawa dia pada kesadaran bahwa masa lalunya justru merupakan bekal bagi kehidupannya sekarang. Dengan pernah mengunjungi sejumlah negara dalam kapasitasnya sebagai staf perusahaan EMKL, kini sebagai guru IPS, yang antara lain mencakup pelajaran Geografi, ia dapat lebih fasih menceritakan tentang masyarakat dan budaya suatu negara.

“Jadi,” kata saya dengan penekanan namun tetap diiringi tawa untuk memberi kesan bahwa saya sama sekali tidak tersinggung dengan predikat “produk gagal” yang ia berikan pada saya, “sebenarnya tidak ada yang namanya ‘produk gagal’. Tuhan sudah mengatur perjalanan kita; kita menjadi apa, mengalami apa, itu semua sudah ada dalam rencanaNya.”

Teman saya membenarkan apa yang barusan saya ucapkan, karena ia belakangan, setelah menekuni pekerjaannya sekarang, dapat memetik hikmah dari pengalamannya bekerja di bidang yang lain dahulu, padahal ia kuliah di IKIP Jakarta dalam rangka mewujudkan cita-citanya sebagai guru.

Anda, saya—kita semua—diperjalankan dalam hidup ini, baik secara sadar maupun tidak. Pengalaman saya bertutur, sebagian cita-cita kita sebenarnya tak pernah gagal terwujud, melainkan “diperbaiki” agar kualitas dari apa yang ingin kita capai menjadi lebih baik.

Saat reuni kemarin, setelah mendengarkan penuturan teman saya dari Tegal itu, saya langsung teringat pada Steve Jobs, yang lantaran gagal dalam kuliahnya lantas iseng belajar kaligrafi, yang sepuluh tahun kemudian menjadi berguna ketika perusahaannya, Apple Inc., menelurkan komputer Macintosh yang pertama, yang dikenal sebagai komputer dengan jenis-jenis font yang indah. Setelah membaca kisah Jobs, mungkin di antara Anda ada yang berpikiran untuk segera berhenti kuliah dan berwirausaha saja sebagaimana pendiri Apple Inc. itu. Eits, tunggu dulu, apakah itu benar-benar jalan Anda?  

Meski selepas kuliah di Jurusan Sejarah FSUI saya menjadi praktisi periklanan, bukan berarti saya produk gagal atau kuliah saya sia-sia. Salah seorang pimpinan perusahaan yang pernah dan sering menggunakan jasa saya di bidang penulisan naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat memberikan referensi sebagai berikut: “Belum pernah saya menemukan seorang copywriter yang pemikiran dan gaya penulisannya demikian terstruktur, rapi, jernih dalam konsep, mudah dibaca dan sangat komunikatif seperti Anto Dwiastoro.” Di mana lagi saya mempelajari model penulisan seperti itu jika bukan di Jurusan Sejarah FSUI?

Creative director (CD) saya di salah satu biro iklan multinasional di mana saya pernah bekerja mereferensikan saya sebagai seorang pemikir strategis yang berguna untuk pengembangan bisnis. “Jarang sekali saya menjumpai copywriter yang juga strategic thinker,” tulis sang CD di rapor appraisal saya yang diberlakukan setahun sekali di biro iklan tersebut. Dalam kaitan itu, saya diuntungkan oleh kesempatan yang saya peroleh ketika untuk menulis skripsi di Jurusan Sejarah FSUI saya mendalami ilmu strategi militer. Padahal waktu itu tak sedikit teman saya yang mencemooh hobi saya mempelajari strategi militer: “Ngapain belajar strategi? Emangnya mau perang lu?”

Saya tidak pernah membayangkan diri saya menjadi praktisi periklanan. Saya punya segudang cita-cita, tetapi berkarir di industri komunikasi tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Namun, manusia merencanakan, Tuhan pula yang menentukan. Menjawab tawaran dari dosen pembimbing skripsi saya untuk menggantikannya sebagai pengajar sejarah militer di FSUI—yang waktu itu merupakan program kerja sama UI dengan Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), saya mengisi formulir untuk mengikuti program wajib militer (wamil) bagi sarjana strata satu. Namun apa daya, loket untuk penerimaan kembali formulir yang telah diisi dan ditandatangani beserta berkas-berkas pelengkapnya sedang tutup ketika saya datangi. Akibatnya, saya terpaksa duduk menunggu di depan loket. Tiba-tiba saya dihampiri seorang dosen dari jurusan lain yang mengenal saya. Saya ditawari kerja di sebuah biro iklan papan atas yang mencari sarjana sejarah untuk penulisan buku dalam rangka ulang tahun ke-25 biro iklan tersebut.

Singkat cerita, saya diterima bekerja di biro iklan itu. Karena belum tersedia ruangan, maka untuk sementara saya ditempatkan di perpustakaan, yang menyimpan ribuan buku mengenai industri komunikasi merek. Sederet buku bertema copywriting dan advertising saya lahap selama berkantor di perpustakaan itu, yang akhirnya menumbuhkan minat saya pada penulisan naskah iklan dan kreativitas penciptaan iklan. Kalau dirunut kembali ke masa lalu, hanya gara-gara loket pendaftaran wamil di kampus UI tutup saya malah tecebur ke dunia periklanan, yang menjadi karir saya selama tujuh belas tahun belakangan ini!

Jangan terpaku pada masa lalu, kata orang bijak. Benar, tetapi luangkanlah waktu sejenak untuk mengingatnya, menyusuri fase demi fase kehidupan yang pernah kita lalui dalam perjalanan menuju masa sekarang. Dengan mengingat masa lalu, utamanya hal-hal yang membawa kita kepada keadaan sekarang, membuat kita senantiasa bersyukur atas apa saja telah menimpa kita, baik maupun buruk.

Yang dimaksud orang bijak itu dengan jangan terpaku pada masa lalu adalah agar jangan sampai kita menyesali masa lalu kita, sehingga masa sekarang diisi semata dengan meratapinya. Nasi memang sudah menjadi bubur, tetapi bubur pun bukan produk gagal, karena bila kita syukuri dengan membubuhinya irisan daging ayam goreng, cakwe, seledri, kacang kedelai, kerupuk, kuah kaldu dan kecap ia menjadi bubur ayam yang lezat! Kalau sudah begini, adakah yang namanya “produk gagal”?Ó2011

 

Apartemen Citylofts Lantai 7, Jl. KH Mas Mansyur, Jakarta Pusat, 3 Oktober 2011

No comments: