Wednesday, December 30, 2009

Rendah Hati di Tempat Tinggi

“Apakah hidup layak dijalani?
Ya, dengan kehebatan kita,
Ketinggian kita, kedalaman kita –
Hidup adalah ujian kita!”
—Corinne Roosevelt Robinson (1861-1933), penyair, dosen dan orator



Meski sudah belasan kali terbang ke beberapa tempat di kepulauan Indonesia, sampai sekarang saya tidak pernah merasa nyaman naik pesawat. Saya fobia terbang dan ketinggian, dan alih-alih menikmati penerbangan sebagaimana diharapkan pramugari dari para penumpang ketika pesawat akan lepas landas, saya malah ‘full istighfar’ selama perjalanan. Tetapi, saya tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa saya harus terbang, demi mengisi hobi saya menulis artikel-artikel wisata (travel writing). Satu-satunya cara untuk mengatasi fobia itu ketika saya sudah kepalang terikat di kursi penumpang pesawat adalah dengan merendahkan hati, berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, yang ternyata mujarab untuk meredakan ketegangan.

Bertahun-tahun lalu, saya juga gamang dengan ketinggian, baik ketika duduk di kursi penumpang pesawat maupun di ‘kursi panas’ (hot seat) manajemen perusahaan tempat saya mengabdikan diri. Di tempat tertinggi di perusahaan atau di masyarakat kebanyakan orang begitu gamangnya sampai segan melihat ke bawah, padahal dari bawah juga mereka bermula. Dengan senantiasa melihat ke bawah, selalu ingat (bahwa di atas kita masih ada Yang Maha Tinggi) dan mawas diri (melihat ke dalam, tempat bersemayamnya kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan), kita dapat menengarai pijakan-pijakan yang nyaman. Sehingga kita dapat turun dengan aman dan legawa, atau kalau jatuh pun tidak terlalu menyakitkan; terbawa perasaan hingga kita jadi kehilangan kewarasan.

Itulah kenyataan yang kini marak di sekitar kita. Posisi-posisi di ketinggian dicapai secara instan atau lewat jalan pintas; dengan naik lift, bukan lewat tangga, sementara dalam keadaan darurat kita selalu disarankan untuk turun lewat tangga. Naik-turun tangga memang melelahkan, tetapi pertimbangkan sisi positifnya: kita jadi sehat dan punya banyak waktu untuk merenungkan mengapa kita menempuh perjalanan itu, dan mereguk kedewasaan, tanggung jawab, serta selalu ingat bahwa ketinggian setinggi apa pun tidak ada yang dapat melampaui Yang Maha Tinggi.

Eling lan waspada, kata orang Jawa. Selalu ingat dan mawas diri. Bercerminlah pada sosok Gareng, salah satu dari empat punakawan dalam pewayangan Jawa, yang berjalan dengan telapak kaki menjinjit, tangan mengibas-kibas dan mata melihat ke atas, menyerupai penderita keterbelakangan mental, tetapi sesungguhnya merupakan perlambang bahwa dalam melakoni hidup kita harus berhati-hati dalam melangkah/bertindak, mengibasi kemelekatan pada hal-hal duniawi (yang tidak akan kita bawa seiring jasad kita yang telah tak bernyawa), serta selalu ingat pada Yang Di Atas.

Sosok Gareng mengajarkan kita agar senantiasa rendah hati di ketinggian. Keinsafan akan Yang Maha Tinggi meredakan kegamangan saat kita berada di ketinggian, melunturkan kesombongan, melelehkan perasaan bahwa kita memiliki segalanya untuk selamanya. Hidup tidak kejam sebagaimana dikira kebanyakan kita; hanya saja kita, tanpa sadar, suka menzalimi diri sendiri maupun orang lain, yang sejatinya merupakan bagian terpadu dari diri kita juga. Dengan hati yang merendah, kita akan dapat memahami bahwa tempat tertinggi atau terendah pada hakikatnya sama saja. Pengalaman saya menuturkan, kesuksesan tidak ditentukan oleh tingginya kedudukan, melainkan oleh kebisaan menjadi diri sendiri – bebas lepas dari nafsu untuk menguasai, tidak menempatkan ego kita dalam jabatan kita.

Seperti halnya ketika berada di ketinggian langit, di ketinggian jabatan atau pencapaian pun saya selalu mengingatkan diri untuk ‘full istighfar’, menginsafi bahwa di atas saya masih ada Yang Lebih Tinggi, agar tidak jadi seperti kawan-kawan saya yang kehilangan kewarasan akibat jatuh dari ketinggian. Saya tetap bisa menjadi diri sendiri, dengan atau tanpa jabatan. Karena saya pikir, apa yang bisa saya banggakan ketika kelak badan saya sudah berkalang tanah?©

No comments: