Wednesday, December 30, 2009

Diduduki Kursi

Keringat bercucuran saat saya berdiri menanti mikrobus Kopaja P-20 di depan terminal Lebak Bulus. Udara sedang panas-panasnya pada pagi itu. Selain minuman dingin, tempat duduk menjadi harapan saya ketika bus yang saya nantikan tiba. “Mudah-mudahan belum dipenuhi penumpang lain,” batin saya ketika di kejauhan saya melihat bus itu muncul.

Saya bersegera lompat ke dalam bus yang baru dimuati dua penumpang, dan dalam perjalanan lewat kampus Selapa Polri Pasar Jum’at bus tersebut segera ditumpati penumpang, juga yang berdiri berjejal-jejal lantaran tidak mendapat tempat duduk. Saya duduk dekat pintu, agar tidak kepanasan.

Naiklah dengan susah-payah seorang perempuan yang sedang hamil tua. Ia rela berdiri berjejalan dengan penumpang lain, sedang saya pada saat itu mengalami pertarungan dengan nafsu yang tidak rela menyerahkan tempat duduk saya kepada perempuan itu. Saya dijangkiti kondisi yang di kalangan anggota Subud menimbulkan permenungan: “Anda menduduki atau diduduki kursi?”; untuk menghindarkan diri kita dari sikap dan perbuatan yang dapat mengganggu hubungan dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia.

Menyembah berhala tidak melulu ditandai dengan penghambaan terhadap patung-patung belaka, melainkan mencakup pula sikap mengarahkan hati dan pikiran kepada selain Tuhan. Menafikan silaturahmi demi sesuatu yang hanya menguntungkan diri sendiri, seperti tindakan saya di atas, dikategorikan sebagai penyembahan terhadap berhala-berhala hati. Memusuhi orang-orang yang berbeda agama, atau yang berbeda paradigma walaupun satu agama, juga termasuk dalam perbuatan menuhankan nafsu angkara murka.

Sejatinya, bukan saya yang sedang menduduki kursi saat itu, melainkan (keakuan) saya yang sedang diduduki kursi. Saya dikalahkan oleh nafsu yang menghendaki duduk terus, sementara ada orang lain yang lebih membutuhkannya. Pada satu sisi, saya malu sekali pada diri sendiri, pada Tuhan, juga pada perempuan itu, tetapi di sisi lain saya lelah dan kepanasan, sehingga ingin duduk saja.

Lama-lama, malu saya pada Yang Maha Melihat lagi Memberi Pertolongan kian memuncak. Serasa saya sedang diamati oleh Yang Maha Kuasa yang berkata lewat jiwa saya, “Pertumbuhan spiritual kamu akan terhambat oleh tingkahmu yang menyebalkan itu.” Saya tidak rela kehilangan kedekatan berkelanjutan dengan Yang Maha Kuasa hanya gara-gara hati saya dikuasai oleh sikap menuhankan kursi.

Tidak! Saya tidak mau. Persetan dengan kursi, lelah dan jejalan penumpang. Saya akhirnya berdiri dan mempersilakan perempuan tadi mengambil tempat duduk saya. Di mata saya, perempuan itu laksana ibu saya waktu sedang mengandung saya. Saya pun takkan rela ibu saya diperlakukan sebagaimana saya memperlakukan perempuan itu saat saya masih diduduki kursi. Ketika perempuan tadi merebahkan pantatnya di tempat duduk dalam bus yang dipadati penumpang, saya mendapat berkah kepahaman tentang betapa celakanya mereka yang menuhankan segala sesuatu selain Tuhan Yang Maha Esa, termasuk kursi yang seyogianya dipakai untuk duduk, bukannya membiarkan ia menduduki kita.©

No comments: