Sunday, November 1, 2009

Manut pada Mood

Baru-baru ini, ketika sudah berada di Surabaya dalam rangka mudik Lebaran (13 September-2 Oktober 2009), saya dibebani pekerjaan menulis naskah buat muatan kalender sebuah perusahaan energi berbasis batubara. Sifatnya masih pitching; ditenderkan perusahaan tersebut kepada tujuh belas biro iklan, butik kreatif dan firma desain. Saya kira, jumlah peserta tender kelewat banyak, apalagi masing-masing diwajibkan mengajukan dua desain kalender 12-bulanan yang lengkap, bukan sekadar beberapa halaman sebagai sampel.

Kenyataan itu melorotkan mood (suasana hati) saya, karena menurut pikiran saya perusahaan komunikasi kreatif yang saya representasi tidak bakal memenangi tender, atau tak satu pun peserta dimenangkan, lantaran tujuan tender tersebut mungkin saja hanya akal bulus perusahaan itu untuk mencuri ide-ide para peserta tender. Pemikiran itu berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah lewat.

Namun, dalam prosesnya (saya sempat berdebat dengan istri saya yang juga bertindak sebagai mitra saya), saya memperoleh ‘pemberitahuan dari dalam’, suatu bimbingan kepahaman, bahwa apabila mood jelek saya dipicu oleh pikiran negatif akibat pengalaman saya di masa lalu, maka sama saja saya tidak sabar serta tidak ikhlas dalam berikhtiar – yang menandakan bahwa saya berseberangan dengan inti ajaran agama saya, yang memberi tekanan pada kesabaran. Sama saja saya takut pada hasilnya kelak, sedangkan esensi dari berserah diri adalah berusaha semaksimal mungkin, dengan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Juga sama saja sayamanut (Jw. ‘patuh’, ‘cenderung mengikuti’) pada mood, bukannya pada bimbingan dan tuntunan Tuhan atas diri saya.

Mesti saya akui, belakangan ini saya kerap dihadapkan pada kenyataan bahwa tak ada satu pun yang bisa diprakirakan dalam hidup ini; tak ada aturan yang bersifat baku. Semua bisa berubah, menjadi anomalistik (bersifat aneh, tidak biasa, atau unik) jika Tuhan menghendaki. Tanding pitching yang dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, bisa saja berakhir tragis. Sebaliknya, yang dipersiapkan dengan setengah hati malah sukses. Situasi ini kadang menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan pada diri saya. Obatnya hanya keyakinan bahwa Tuhan tahu yang apa yang terbaik untuk saya. Dan dihidangkanNyalah ke hadapan saya, bukti-bukti bahwa jika saya manut pada tuntunannya dengan perasaan menyerah yang sabar, ikhlas dan tawakal, saya pun takkan merasa berusaha keras – semua seakan berjalan lancar tanpa ada upaya sama sekali dari pihak saya. Jelas tidak ada gunanya manut pada mood

No comments: