Sunday, September 21, 2008

Cerita di Belakang Panggung

Karakter Jaques dalam karya William Shakespeare berjudul As You Like It (Act II, Scene VII, lines 139-166) mengutarakan frasa “dunia ini panggung sandiwara”. Monolog ini mengumpamakan dunia ini sebagai sebuah panggung sandiwara dan kehidupan manusia seperti sebuah sandiwara, dan menerangkan tentang tujuh tingkatan usia manusia, yang terkadang disebut sebagai ‘tujuh usia manusia’: bayi, anak sekolah, pecinta, prajurit, keadilan, pantaloon, dan masa kanak-kanak kedua, ‘tanpa gigi, tanpa mata, tanpa rasa, tanpa semuanya’. Maksud Shakespeare adalah bahwa dunia ini tidak lain adalah panggung teater dan manusia adalah aktornya. Sejak lahir manusia memasuki dunia teater dan terus berakting sesuai dengan usia mereka, hingga pada usia tua mereka ketika episode yang terakhir dimainkan. Layaknya sebuah pertunjukan sandiwara, ada yang namanya – yang kadang bahkan lebih menarik daripada serangkaian adegan yang dipentaskan – ‘cerita di belakang panggung’ (behind the stage).

Sejumlah guru dan psikolog spiritual (mereka yang disebut sebagai ‘murid-murid dari William James’, pelopor psikologi spiritual) berpendapat bahwa tingkat kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) tidak mungkin bisa diukur, karena sifat pengalaman dan pemahaman spiritual sendiri sangat esoteris (hanya dipahami oleh orang yang mengalami). Kebenaran batiniah, karena itu, sering disebut sebagai ‘kebenaran subyektif’ – sebagai lawan dari kebenaran mutlak, yakni segala sesuatu yang (diyakini) berasal dari Tuhan. Namun, para guru dan psikolog spiritual itu juga berpendapat bahwa spiritualitas kita dapat kita ukur sendiri, berdasarkan pemahaman kita akan makna dari setiap peristiwa atau keadaan yang kita alami dalam hidup ini.

Makna apa yang perlu dipahami? Terserah kebijaksanaan pribadi Anda. Dengan, paling sedikit, mengetahui saja bahwa setiap peristiwa atau keadaan yang kita alami di sepanjang perjalanan hidup kita memiliki ‘cerita di belakang panggung’-nya masing-masing, kita bakal lebih bisa menikmati (baca: memaknai) hidup ini.

Setiap peristiwa atau keadaan tidak berdiri sendiri. Ia merupakan riak dari peristiwa atau keadaan lain sebelumnya. Hati yang bersih dari buruk sangka menghidupkan indra keenam – mata dan telinga batin – kita agar kita mampu menengarai kandungan hikmah-hikmah yang dibawa peristiwa atau keadaan tertentu. Kemampuan ini membuat kita bisa senantiasa bersyukur.

Berkaitan dengan ini, saya punya pengalaman tersendiri. Ketika masih berstatus trainee copywriter pada sebuah biro iklan multinasional di Jakarta, yang diperingkat sebagai biro iklan No. 1 di negeri ini, saya dimentori oleh seorang senior copywriter perempuan yang, menurut penilaian pribadi saya, bersikap egosentris dan arogan. Saya diperlakukan olehnya tak ubahnya jongos bodoh yang tidak berharga. Pada saat itu, yang menghuni hati saya hanya rasa benci dan sumpah serapah. Ketidaksukaan saya pada mentor saya itu memuncak tatkala saya berpartisipasi dalam lokakarya team-building yang diadakan oleh biro iklan tersebut untuk sejumlah karyawannya.

Dalam kesempatan itu, saya lontarkan baik kepada fasilitator lokakarya maupun yang bersangkutan bahwa saya tidak suka diperlakukan secara yang diperbuat si mentor. Namun, saking emosinya, saya ternyata melontarkannya dengan pilihan kata-kata yang keliru, sehingga menimbulkan pertengkaran berbuntut permusuhan di tengah momentum yang sesungguhnya dimaksudkan untuk membangun kerja sama tim yang lebih kompak itu. Sebagai ungkapan sakit hatinya, mentor saya itu memperingatkan agar saya tidak berlagak pintar, karena dibandingkan dia saya belum ada apa-apanya. “Gue udah menang Citra Pariwara dua kali, sedang lu belum apa-apa,” ujarnya sengit. Permusuhan tersebut berlanjut hingga waktu-waktu mendatang, bahkan mempengaruhi kerja tim kami. Akhirnya, saya pun menanggung akibatnya: manajemen meminta saya mengundurkan diri dari biro iklan tersebut.

Sedikit pun saya tidak mau berusaha untuk menjernihkan pikiran serta membersihkan hati setelah kejadian itu. Yang ada hanyalah sakit hati dan terus-menerus menyalahkan keadaan, sehingga selama tahun-tahun berikutnya saya menjadi copywriter yang bernafsu menggapai kejayaan dengan dilatari oleh dendam belaka serta hasrat untuk mengalahkan si mentor dalam bidang periklanan, khususnya penulisan naskah iklan. Tanpa saya sadari, saya telah membiarkan roh si mentor arogan itu mengganduli diri saya. Dengan kata lain, saya tidak menjadi diri saya sendiri.

Memang, dalam perjalanan waktu saya kian piawai dalam hal copywriting, namun latar dendam yang mengiringi karier saya membuat saya tidak bisa bersyukur atas semua yang saya peroleh. Keberhasilan karier yang melesat tinggi juga membuat hati saya inginnya selalu berada di tempat yang tinggi: saya menjadi mudah tersinggung, serta gila hormat dan sanjungan. Padahal, ketika saya dahulu diminta mengundurkan diri, saya bertekad untuk tidak berkelakuan seperti mentor saya itu.

Saat saya mulai menapakkan kaki di jalan spiritual secara bertahap saya mulai bisa memaknai setiap peristiwa atau keadaan yang pernah saya lalui sepanjang kehidupan dewasa saya – yang sebelum itu selalu saya sesali dan membuat saya sempat membenci Tuhan. Sebagai prasyarat, pertama-tama saya harus bersikap rendah hati (humble), merasa diri kecil tak berarti di hadapan Tuhan Yang Maha Besar! Saudara saya di jalan spiritual mengatakan bahwa dalam momentum ini kita harus admit (mengakui diri tak berdaya) dan submit (berserah diri kepada Tuhan; menyerahkan segala sesuatunya, termasuk diri dan keakuan kita kepada Tuhan).

Bagi saya yang sejak kecil tidak pernah diajarkan, baik oleh orang tua maupun guru agama, untuk memberdayakan sisi rohani (spiritual) dari agama yang saya anut, menjadi rendah hati memerlukan upaya yang keras dan menguras energi, bila Tuhan tidak turut campur. Nyatanya, Tuhan selalu memberi pertolongan, namun, biasanya, dari pihak kitanya yang cenderung tidak mau mengikuti tuntunanNya. Akibatnya, kekuasaan Tuhan tidak bisa bekerja dengan baik atas diri kita. Seorang bijak mengatakan, “Tuhan tidak ada di mana-mana. Ia ada hanya jika Anda membiarkanNya masuk (ke dalam ruang batin Anda).” Orang bijak itu sesungguhnya memperjelas kebenaran bahwa Tuhan itu ada dan hidup, tetapi hanya jika kita meyakini dan taat pada tuntunanNya.

Berikutnya, saya harus memaafkan dan melupakan (forgive and forget). Sai Baba, seorang guru spiritual mashur asal India, mengatakan, “Ada dua hal yang harus kita lupakan dalam hidup ini, (yaitu) melupakan kebaikan kita pada orang lain dan melupakan kesalahan orang lain pada diri kita.” Dalam kasus saya, ‘penerimaan jiwa’ ini saya rasakan amat berat. Saya sempat berpikir, “Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan dan melupakan perbuatan keji mentor saya dulu itu?!” Lalu teringat oleh saya ungkapan bijak dari masa lalu: Memaafkan orang lain membuatmu bisa berdamai dengan diri sendiri. Berdamai seperti apa? Memangnya kita sedang berperang melawan diri sendiri?

Semua manusia, tak terkecuali utusan Tuhan sekali pun, senantiasa menghadapi kondisi perang batin yang tak berkesudahan. Sifat malaikati yang patuh dan sifat setaniah yang pembangkang dalam diri kita selalu bertarung memperebutkan hegemoni. Itu adalah hal yang sangat manusiawi; yang satu menghidupi yang lain. Dan setan secara kodrati tidak bisa (dan tidak boleh) sepenuhnya diberantas, karena hakikatnya setan merepresentasi nafsu kita; ia adalah daya yang mendorong kita untuk berikhtiar guna memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan dan bahkan mental-spiritual kita. Bayangkan saja, apa jadinya hidup kita bila kita tidak memiliki nafsu sama sekali. Sama saja kita sudah mati!

Berperang melawan diri sendiri merupakan hal yang adikodrati, yang melaluinya kita dapat mengenal kemuliaan dan keluhuran Tuhan. Nabi Muhammad pun bersabda, bahwa jihad (perjuangan) terbesar adalah melawan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri berarti menghargai diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Di belakang panggung, saya, akhirnya, menyambung rasa dengan Sutradara pertunjukan sandiwara berjudul “Hidup” ini. OlehNya dituturkan kepada saya cerita mengenai adegan di mana seorang senior copywriter egosentris dan arogan memperlakukan saya bak jongos bodoh ketika saya masih berstatus trainee copywriter. Menurut arahanNya, dia ditampilkan agar sekarang saya bisa menjadi copywriter tangguh yang mampu berlaku tegar dalam situasi-situasi yang tidak menyenangkan berkenaan dengan profesi saya serta mampu bersikap rendah hati saat kejayaan menghampiri saya. Saat itulah – dan itu baru-baru ini – saya baru bisa memaknai secuil peristiwa dalam hidup saya itu sebagai sesuatu yang berharga. Saya pun mempersembahkan tepuk tangan sambil berdiri sebagai penghormatan atas karya adiluhung sang Sutradara dari deretan kursi penonton di dalam gedung teater dunia nan megah.©

No comments: