Sunday, September 14, 2008

Visi Dunia Kerja

Ini sebuah pengalaman pribadi. Suatu ketika, pada pertengahan tahun 1990an, saya berkunjung ke bekas almamater saya, sebuah perguruan tinggi negeri di kawasan pinggir selatan kota Jakarta. Saya menjumpai sejumput mahasiswa berkerumun di kantin fakultas. Mereka tengah membicarakan isu-isu lokal populis dan keresahan. Kedatangan saya bukan disambut dengan kebanggaan, karena salah seorang alumnus fakultas ini cukup sukses berkarier.

"Degradasi intelektual!" Itulah reaksi spontan mereka, ketika saya menjawab pertanyaan, di mana saya bekerja dan apakah pekerjaan saya. Sesaat saya tercenung. Inikah dunia mahasiswa Indonesia era 1990an? Reaksi spontan mereka tak ubahnya sikap-sikap radikalisme mahasiswa terhadap gaya hidup kapitalisme. Saya dipandang tak lebih dari seorang kapitalis yang menyusahkan.

Pengalaman 'mengesankan' ini memancing saya untuk mengamati lebih jauh. Sebelum saya lanjutkan, saya ingin tegaskan, dengan segala pertimbangan latar belakang akademis saya, yakni seorang sarjana ilmu sejarah, serta bidang pekerjaan yang saya tekuni sekarang, seorang penulis naskah iklan (copywriter) pada biro iklan: intelektualitas saya sama sekali tidak mengalami degradasi!

Kembali saya bernostalgia masa-masa kuliah saya selama dua belas semester. Perjalanan itu relatif mulus. Setiap jam kuliah, saya lahap teori-teori tanpa kejelasan aplikasi. Pemahaman dan penalaran dibangun, diperkuat sedemikian rupa. Semuanya tanpa didasari visi: mau diapakan ajaran-ajaran ini?

Mahasiswa. Sebuah predikat mulia pada zaman Revolusi '45-'49 hingga akhir 1990an. Apalagi mahasiswa yang terjun tujuh puluh lima persen dalam organisasi-organisasi pergerakan, dan dua puluh lima persen sisa waktunya diluangkan untuk duduk di bangku kuliah. "Gerakan mahasiswa perlu basis," demikian diteriakkan corong-corong gerakan mahasiswa saat saya masih 'makan' bangku kuliah. Kalau tidak disokong partner-partner di piramida politik nasional, mau tak mau mahasiswa mesti berpijak pada kemampuan intelektualitasnya. Dan itu hanya bisa dibangun jika mahasiswa bersangkutan mau bela-belain duduk berjam-jam di perpustakaan atau dengan seksama mendengarkan penjelasan dosennya.

Saya bukan aktivis gerakan mahasiswa, meskipun saya suka juga dengan rumpian bertema sosial, frustrasi, dan radikalisme dari mulut rekan-rekan sesama mahasiswa. Bagaimanapun, sosok-sosok naif seperti saya ini terkadang terkungkung kodrat duniawi, bahwasanya mahasiswa adalah mediator kekuatan rakyat; fenomena yang terus berkesinambungan di Indonesia sejak masa Pergerakan -- bahkan rapat Dr. Soetomo pun dianggap gerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa bukanlah dampak dari kevakuman. Letupan emosional mahasiswa justru relevan dengan ketidakstabilan sosial-politik, ketidakpuasan dan frustrasi rakyat. Selama ketidakpuasan dan frustrasi hanya terbatas pada para mahasiswa, maka stabilitas keadaan tidak terancam bahaya. Ancaman justru terletak pada kemampuan mahasiswa menemukan partner-partner di lapisan menengah dan atas dari piramida politik nasional.

Itulah salah satu teori yang keluar dari mulut salah seorang dosen saya.

Saya belajar ilmu sejarah di universitas, bukan komunikasi. Baik kuliah yang saya terima secara formal maupun pendidikan nonformal di bawah rindangnya pepohonan taman kampus bersama para aktivis gerakan tak satu pun menanamkan skill pada saya untuk menekuni bidang pekerjaan saya sekarang ini -- yang konon merupakan lahan nyari duit-nya sarjana komunikasi. Satu-satunya yang secara tidak langsung mendukung adalah bahwasanya orang yang belajar ilmu sejarah harus mengerti bagaimana menulis yang baik dan benar. Sejarah bukan cuma sepenggal masa lampau yang berhenti pada penelitian serta kepahaman sang sejarawan. Sejarah mesti pula disampaikan, dikomunikasikan, tidak saja di hadapan sidang penguji skripsi, namun juga disuarakan pada khalayak luas.

Saya memahami keheranan yunior-yunior saya -- yang cenderung menutupinya dengan sikap antipati -- mengapa saya, seorang sarjana sastra bidang sejarah, lantas melangkahkan kaki ke dunia kerja yang sungguh bertentangan dengan ilmu yang saya pelajari selama enam tahun di perguruan tinggi. Begitu pula, saya memahami 'keterbatasan nalar' manajer sumber daya manusia biro iklan multinasional yang merekrut saya. "Apa hubungan ilmu Anda dengan iklan? Tolong jelaskan," ujarnya dengan berkerut kening.

Lagi-lagi, ini sebuah pengalaman pribadi. Pada bulan November 1995, saya memperoleh kesempatan membanggakan: saya tampil sebagai salah seorang panelis acara talkshow di Anteve. Bersama saya, tampil dua panelis lainnya yang istimewa. Di antara kami ada kesamaan. Kami bertiga menekuni pekerjaan yang sangat jauh dari latar belakang kesarjanaan kami; dua panelis lainnya masing-masing adalah sarjana teknik nuklir jebolan UGM yang berputar haluan menjadi manajer teknik sebuah perusahaan taksi (pasti Anda tak heran, kalau taksi-taksi di Indonesia sudah mengaplikasi bahan bakar nuklir), dan seorang senior saya di jurusan sejarah yang berprofesi instruktur pendakian gunung yang oleh sebuah tabloid olahraga dipredikatkan sebagai salah seorang pendaki gunung terbaik Indonesia.

Bukan hanya para panelisnya, scriptwriter dan pengarah acara tersebut juga merupakan sosok-sosok yang kesarjanaannya bertolak belakang dengan pekerjaannya. Masing-masing adalah sarjana sejarah dan sarjana hubungan internasional.

Talkshow tersebut mendapat reaksi-reaksi pro dan kontra dari para partisipan sekaligus penonton. Reaksi spontan dari salah seorang partisipan terhadap saya adalah, "Sia-sia dong Anda kuliah enam tahun, kalau akhirnya ilmu Anda nggak kepakai sama sekali." Saya punya jawaban sekaligus pertanyaan jitu untuk itu. Pertama, saya kuliah untuk memperluas wawasan saya. Klise memang. Kedua, sudahkah sistem pendidikan tinggi kita demikian sempurna, sehingga mampu mempersiapkan mahasiswanya untuk melangkahkan kaki ke bidang pekerjaan yang sesuai minatnya? Paling tidak, apakah visi dunia kerja sudah ditanamkan sejak dini pada mahasiswa?

Yang saya amati selama saya 'bernasib naas' menjadi mahasiswa di era akhir 1980an adalah bahwa mahasiswa kita kurang diperlakukan sebagai orang per orang, melainkan lebih sebagai satu kesatuan. Kalau, misalnya, enam puluh persen mahasiswa dalam satu angkatan memperoleh predikat memuaskan, semata-mata karena mereka mampu menyelesaikan minimal dua puluh satuan kredit semester (SKS) -- eh, masih ada nggak sih SKS? -- yang bersifat wajib fakultas (MKDU, mata kuliah dasar umum) atau mata kuliah keahlian (MKK) dalam satu semester, maka sisa empat puluh persen yang sebetulnya punya kemampuan pribadi -- tetapi kebanyakan berstatus mata kuliah pilihan -- dipaksa menyejajarkan diri dengan persentase yang tersebut pertama.

Tepat hingga batas akhir dua belas semester saya kuliah di almamater saya, sebuah PTN yang tidak dibebani segala iuran SKS, cicilan gedung dan ujian negara. Saya tersangkut di benang kebijakan SKS selama enam tahun masa perkuliahan saya. Saya hanya punya satu senjata rahasia, yakni kemampuan pribadi yang sanggup membentuk kepribadian ilmiah sekaligus mematok visi saya terhadap dunia kerja, yang bakal saya jalani begitu saya melangkahkan kaki keluar gerbang universitas, menenteng ijazah sarjana dan transkrip nilai, yang entah menjadi perhatian sang manajer SDM biro iklan yang merekrut saya atau tidak.

Saya punya kemampuan pribadi yang tak pernah terjangkau dosen-dosen saya maupun kebijakan SKS. Saya seorang sarjana ilmu sejarah, tetapi bukan sejarawan. Teknik menulis yang saya peroleh di jurusan sejarah bukan demi mengonstruksi historiografi yang bakal memperkaya khasanah sejarah. Pekerjaan saya adalah menulis untuk mengomunikasikan pesan-pesan produk dan layanan kepada calon konsumen. Ya, saya seorang copywriter, yang berbekal ilmu sejarah semata-mata demi memperluas wawasan saya.

Tulisan ini tidak punya kesimpulan. Dan tidak dimaksudkan untuk menuding siapa pun. Semata-mata hanya untuk mereka yang tengah seksama mengikuti perkuliahan dan mereka yang bergelut antara kuliah dan romantika gerakan mahasiswa untuk tidak cuma mencekoki diri dengan idealisme paham-paham dan idealisme intelektualitas tanpa aplikasi. Saya akan bangga, kalau di antara yunior-yunior saya yang pernah 'mengesankan' saya dapat menekuni pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Bagi mereka yang 'keluar jalur', saya tandaskan lagi, bahwa itu bukan gejala degradasi intelektual. Malah sebaliknya, itu menunjukkan Anda siap mengantisipasi perkembangan zaman berbekal ilmu yang Anda miliki.[]

No comments: