Sunday, September 14, 2008

Bukan Pahlawan Kesiangan


"Seringnya, pertempuran terbesar seorang pahlawan justru tidak pernah Anda saksikan; karena pertempuran itu terjadi di dalam dirinya."
-- Kevin Smith, My Boring Ass Life, 04-18-06



Pada 25 Juli 2008 lalu, saya menghadiri undangan seminar tentang Mr. Ahmad Subardjo, menteri luar negeri pertama Republik Indonesia. Oleh karena itu, seminar pun digelar di salah satu ruang pertemuan di kompleks Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta Pusat. Tampil sebagai pembicara, Prof. Dr. Susanto Zuhdi, SS, M.Hum, gurubesar ilmu sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Indonesia (FIB-UI). Seorang pejabat dari Departemen Sosial yang mengurusi 'kepahlawanan' juga ditampilkan. Kenapa? Karena seminar tersebut diadakan dalam rangka mengusulkan agar salah seorang tokoh di balik aktivitas Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda pada zaman pergerakan itu sebagai pahlawan nasional.

Profesor Susanto Zuhdi mengemukakan bahwa dalam konteks rekonstruksi sejarah tidak ada yang namanya 'pahlawan' dan 'tindak kepahlawanan'. Hal itu disebabkan oleh karena sejarah harus tampil obyektif. Dalam hal ini, sejarah Indonesia tidak boleh Indonesia-sentris, tidak boleh pula Neerlando-sentris: seorang pelaku sejarah bisa saja dianggap sebagai pahlawan oleh bangsa Indonesia, sedangkan dari sudut pandang Belanda ia dianggap penjahat. Skripsi saya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI (sekarang FIB-UI) mencantumkan terminologi 'Agresi Belanda Kedua', padahal dari sudut pandang Belanda, serangan pasukannya ke Yogyakarta, sebagai ibukota RI, pada 19 Desember 1948 itu bukan merupakan 'agresi militer', melainkan 'aksi polisionil', karena yang dihadapi dianggapnya bukan kekuatan militer RI, tetapi 'ekstremis Republiken', alias 'bandit'. Jika ingin menerapkan obyektivitas -- yang tidak merugikan salah satu pihak -- istilah yang tepat dalam hal ini adalah 'Aksi Militer Belanda', karena baik agresi maupun aksi polisionil merupakan suatu bentuk aksi militer.

Kita memperingati Hari Pahlawan pada tanggal 10 November setiap tahunnya. Banyak hal terlintas di benak kita ketika memperingati hari itu. Mulai dari kenangan generasi tua akan perjuangan arek-arek Surabaya pada 10 November 1945 yang begitu heroiknya, sehingga ibukota provinsi Jawa Timur itu dijuluki Kota Pahlawan. Sampai pengetahuan generasi sekarang pada sederet nama pahlawan yang diajarkan di bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi -- Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Bung Tomo, Panglima Soedirman, dan lain-lain. Apa pun jawaban yang terlontar, yang pasti semua tertuju pada pahlawan dan kepahlawanan.

Lalu, apakah pahlawan? Kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat kita sekarang cenderung menempatkan pahlawan hanya ada pada masa lampau Indonesia. Kita sepertinya sudah terlanjur mengidentifikasi masa lampau Indonesia sebagai era 'perjuangan', 'pengorbanan jiwa' dan 'bersatu merebut kemerdekaan dari tangan penjajah'.

Dalam semua penekanan mengenai predikat pahlawan dan perjuangan (atau kepahlawanan), kita mulai kehilangan jejak tentang arti 'pahlawan'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cetakan IX, 1997), kata 'pahlawan' diartikan sebagai 'orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran' atau 'pejuang yang gagah berani'. Pendekatan 'keberanian lahiriah' amat kental dalam pengartian ini --pendekatan khas militerisme. Namun pemaknaan seperti inilah yang sekarang umum diterima masyarakat kita, sehingga hampir tidak ada upaya untuk memberi makna baru pada kata ini.

Sejauh mencakup pengertian perjuangan, arti sebenarnya dari kata 'pahlawan' lebih berkaitan dengan semangat daripada pengorbanan. Mereka yang tidak melihat bahwa sosok pahlawan mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi dan mencapai disiplin untuk melakukan hal itu, tidak akan mengerti makna sebenarnya dari kata tersebut. Dan 'si pahlawan' yang tidak memiliki hal-hal tersebut di balik api yang menggelora di dadanya sama sekali bukanlah pahlawan yang sebenarnya -- melainkan tak lebih dari pahlawan kesiangan.

Dengan adanya pemaknaan seperti yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia serta anggapan masyarakat yang menyempitkan eksistensi pahlawan semata-mata sebagai produk Tempo Doeloe, seakan-akan sudah baku bahwa pahlawan dan kepahlawanan bukan lagi wacana yang bisa diterima untuk bersepadan dengan kondisi zaman sekarang.

Kesalahan terbesarnya, barangkali, terletak pada kesalahkaprahan bahwasanya pahlawan dan kepahlawanan adalah wacana yang senantiasa bersifat kontekstual -- tidak ada Pahlawan Kemerdekaan, bila pada 1945-1949 tidak ada Perang Kemerdekaan; tidak ada Pahlawan Revolusi, jika tidak ada revolusi. Mengapa konteks harus selalu menyertai eksistensi pahlawan dan kepahlawanan, walaupun sebenarnya tidak harus ada?

Wacana pahlawan dan kepahlawanan seharusnya mengaburkan garis pemisah antara pelaku aktif yang 'ditakdirkan' menjadi pahlawan dengan penyaksi pasif yang hidup di lingkungannya pada zaman si pelaku aktif melakukan tindak kepahlawanannya. Dengan kata lain, semua orang yang hidup dalam masa itu akan mendapatkan hak sebutan pahlawan yang patut dikenang dan dihargai. Upaya jukstaposisi dalam hal ini amat kentara.

Cukup banyak orang yang percaya dengan jukstaposisi ini, terbukti bahwa novel North and South-nya John Jakes menyatakan pahlawan dan kepahlawanan menjadi hak sebutan semua orang yang hidup pada masanya begitu buku sejarah mulai ditulis. Jakes memberi penghargaan kepada orang-orang Amerika yang berjuang di bawah bendera Amerika Serikat maupun Konfederasi selama Perang Saudara Amerika (1861-1865), pejuang atau rakyat awam, sebagai pahlawan dan tindakan mereka dalam perang itu sebagai aksi kepahlawanan. Jakes juga mencoba menegaskan, bahwa perang/perjuangan selalu melahirkan pahlawan dan kepahlawanan, tetapi pahlawan dan tindakan kepahlawanan (heroic acts) tidak harus berawal dari peperangan. Sebuah pengungkapan yang teramat berani -- bila tidak dapat dikatakan fair -- dari Jakes, mengingat bahwa mereka yang setia pada Konfederasi justru dicap pengkhianat bangsa dalam penulisan sejarah resmi (official history) Amerika.

Di sini tampak bahwa wacana pahlawan dan kepahlawanan yang selama ini bersifat kontekstual, yang hampir selalu diterapkan dalam penulisan sejarah nasional kita, sesungguhnya bisa dibubuhi karakter relativitas. Kenyataannya, dalam sejarah Indonesia konstruksi kepahlawanan yang berkonteks tidak harus selalu terjadi. Bukankah R.A. Kartini 'sekadar' mengungkapkan buah pikirannya tentang kemajuan wanita Indonesia (baca: pribumi) dari balik tembok istana sang bupati, sementara zaman di mana beliau hidup belum berkonteks gerakan emansipasi wanita? Toh, ia menjadi simbol kepahlawanan wanita Indonesia.

Contoh Kartini atau sejumlah nama yang tidak begitu beruntung dicantumkan dalam lembaran sejarah Indonesia memberi gambaran bahwa cita-cita 'calon pahlawan' tadinya begitu sederhana: memikirkan kaum atau bangsanya, atau, tidak dapat disangkal, juga kepentingan pribadinya. Dengan merujuk pada kata 'perjuangan' (kepahlawanan) yang populer, yaitu 'semangat', tidak pernah ada keinginan para pahlawan untuk menjadi pahlawan kesiangan -- yang bertindak tanpa keteguhan hati, keikhlasan, disiplin dan kerja keras.

Di era globalisasi ini, sudah saatnya dikikis kesadaran kolektif bahwasanya pahlawan dan kepahlawanan merupakan wacana Tempo Doeloe; yang senantiasa memiliki jalinan kontekstual dengan zamannya; zaman yang kaya akan momentum-momentum atau tema-tema sosial yang layak diperjuangkan.

Pahlawan dan kepahlawanan seharusnya bersifat fleksibel seiring waktu yang terus berputar serta bersifat bebas nilai. Tidak lagi terbelenggu hal-hal abstrak macam 'semangat membela kebenaran dan kehormatan bangsa dengan pengorbanan jiwa' seperti pada masa yang didominasi pada pejuang gagah berani.

Tanpa mengecilkan jasa pahlawan-pahlawan yang namanya sudah terukir dalam buku-buku sejarah kita, bila diupayakan suatu jukstaposisi, tentu pahlawan-pahlawan yang lahir dari konteks Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, misalnya, bukan hanya Bung Tomo yang membakar semangat juang di kota itu, atau si pemuda yang merobek bendera Belanda di Hotel Oranje pada 19 September 1945; atau Ruslan Abdulgani; atau para pelajar yang tergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Melainkan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Langsung atau tidak langsung, pelaku atau penyaksi. Ada sesuatu yang lebih dari pergeseran makna ini daripada sekadar mengakui peran semua orang dalam suatu peristiwa -- seperti yang dilakukan dalam penulisan sejarah yang obyektif.

Lalu, di mana pemaknaan baru pahlawan dan kepahlawanan akan mendapatkan tempat di zaman sekarang ini?

Yang jelas, kita cerap dalam hati dan pikiran kita, bahwa kita tengah berada dalam suatu zaman, di mana pahlawan dan kepahlawanan tetap mendapat tempat yang layak dan seharusnya menjadi kehendak kuat semua orang. Ini, barangkali, akan merupakan perwujudan secara konkret dari idealisme pahlawan dan kepahlawanan dalam makna barunya di suatu zaman yang nyaris menutup mata terhadap eksistensinya. Bahwa para 'calon pahlawan' modern haruslah bukan pahlawan kesiangan, melainkan mereka yang memiliki impuls-impuls untuk keteguhan hati, keikhlasan, disiplin dan kerja keras di bidang dan lingkungannya masing-masing demi kemajuan.[]


No comments: