Thursday, September 11, 2008

Dunia Paradoks


Budaya Jawa membawa kita ke dunia paradoks (pernyataan yang seolah-olah berlawanan dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran). Ikhtiar yang keras hadir bersama ojo ngoyo (jangan memaksa diri terlalu keras). Ketentraman menjadi sempurna hanya jika Anda dapat merangkul hiruk-pikuk kehidupan pada saat yang sama. Muhammad Subuh, yang merepresentasi seorang Jawa yang tipikal, melakukan enterprise sambil menerima Latihan Kejiwaan!

Semua ini mengingatkan saya pada konsep ‘melakoni hidup secara meditatif’, seperti yang dijelaskan oleh Siddhartha Gautama. Meditasi (bhavana), seperti yang dipraktikkan oleh Sang Buddha, kebanyakan tidak menggambarkan sebagaimana orang modern bermeditasi – duduk secara khusus, mata terpejam dan berfokus pada napas atau mendaraskan amitabha Buddha berulang-ulang.

Terlalu sering kita berhadapan dengan fakta bahwa jika kita berusaha untuk menyandingkan semua unsur yang saling berlawanan hidup kita pun akan menjadi bermakna. Satu unsur tampaknya ada demi yang lainnya. Disebut apa ‘wanita cantik’ bila tidak ada yang jelek? Disebut apa ‘kebaikan’ jika tidak ada keburukan? Apa gunanya spiritualitas bila tidak ada ritual – dalam maknanya yang luas, bukan hanya siklus dari tatacara-tatacara yang tidak jelas juntrungannya?

Perpadanan dua unsur yang saling berlawanan (opposite forces) yang populer sebagai prinsip yin-yang ini memang nyata ada di alam semesta, masuk akal serta memiliki manfaat terapan yang menguntungkan kita. Panas-dingin, siang-malam, pria-wanita, tua-muda, kaya-miskin, baik-buruk; semua senantiasa berjalan seiring dan harus begitu. Mistikus dan penyair sufistik asal Turki yang termashur di dunia, Jalaluddin Rumi, menyatakan, “Karena ada siang dan malamlah makanya ada hari.” Eksistensi Setan perlu dikemukakan, sebab, jika tidak, kita pun tak akan pernah dan tak perlu memohon perlindungan kepada Tuhan dari godaan Setan yang terkutuk. Dan Tuhan pun bakal kehilangan wibawa dan, akhirnya, kehadiranNya tidak kita perlukan lagi. Yang satu ada karena sebab yang (ditimbulkan oleh) lainnya. Harmonisasi di antara keduanya melahirkan fenomena bernama ‘kehidupan’.

Aplikasi praktis dari prinsip yin-yang ternyata sangat simpel dan amat berguna bagi kehidupan kita. Intinya, jangan sampai porsi yang satu melebihi yang lainnya, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan. Contohnya, bekerja itu baik dan bermanfaat karena melalui kerja kita dapat memenuhi kebutuhan hidup kita. Tetapi, jika kita bekerja secara berlebihan, sehingga menjurus ke workaholic, efeknya tidak bagus bagi kesehatan kita, keharmonisan keluarga, bahkan arah gerak kita pun melenceng dari misi sejati kerja, yaitu memenuhi kebutuhan (need) dan memuaskan keinginan (want). Bagaimana kita bisa menikmati hasil kerja kita jika waktu untuk itu saja tersita untuk bekerja, bekerja dan bekerja?

Saya pernah membaca dalam sebuah artikel di sebuah majalah kesehatan dan gaya hidup, bahwa menjadi vegetarian dapat menopang gaya hidup sehat, namun jika dilakukan secara ekstrem bisa menimbulkan efek yang justru merugikan, tidak saja secara jasmani tetapi juga secara rohani. Ajaran tasawuf klasik menekankan bahwa sifat-sifat seseorang dipengaruhi oleh apa yang dikonsumsinya. Jika kebanyakan daging, menurut ajaran itu, kita bakal berwatak hewani – pemarah, meletup-letup sekaligus penuh semangat juang. Bila kelebihan sayur/unsur tumbuhan, kita pun akan menjadi seperti tanaman: lemah-gemulai sekaligus plin-plan bak tanaman yang melambai-lambai ke sana ke mari bila tertiup angin. Kenyataan ini saya jumpai pada orang-orang yang mempraktikkan vegetarian secara ekstrem.

Semula beroleh pengetahuan dari jalan spiritual, saya kemudian mendapatkan konfirmasi ilmiahnya dari saluran National Geographic Channel (dalam seri tentang rahim) bahwasanya manusia itu merupakan implementasi dari keseimbangan antara hewani dan nabati. Riset laboratorium selama bertahun-tahun berhasil mengungkap bahwa 98% DNA manusia berasal dari hewan (anjing) dan tanaman (bunga daffodil), sedangkan unsur manusianya hanya 15%! Terbayang oleh saya, bila persentase DNA anjing dalam tubuh saya melampaui yang lain-lainnya, mungkin saat ini Anda tidak bisa membaca tulisan ini, karena Anda sibuk menghindar dari kejaran anjing galak ber-tag ‘Anto’.

Dalam beribadah religius saja – yang selalu diutamakan oleh mereka yang taat – kita mesti menjaga keseimbangan. Secara umum (berlaku untuk agama apa pun), ibadah terbagi menjadi dua: ibadah ritualistik/syari’ah dan ibadah yang berbasis laku kehidupan/mu’amalah. Keduanya, seyogianya, mesti berjalan seimbang, yang satu menopang yang lainnya, dan jumbuh. Beberapa agama mengalami hambatan untuk maju secara sosial dan ekonomi, yang setelah diteliti rupanya dikarenakan umat agama-agama tersebut lebih mengutamakan sisi ritualnya. Saya pernah mendengarkan sebuah program interaktif di radio yang membahas kenapa kaum muslim banyak yang tidak berkembang sosial-ekonominya. Sang narasumber mengatakan, “Abis, antara dagang dan ibadah dipisahkan sih. Emangnya Tuhan cuman ada waktu salat? Banyak orang Islam lupa kalau kerja pun ibadah. Kata Nabi Muhammad kan gitu.”

Pada banyak jalan spiritual – yang biasanya mengurangi, bahkan meniadakan ritual – pun kecenderungan mempertentangkan (bukan malah menjumbuhkan) dua unsur yang saling berlawanan terjadi. Hakikat dipisahkan dari syari’at dan tarekat, seakan semua itu merupakan tangga menuju tingkat yang lebih tinggi dalam pengamalan dan pengalaman religius seseorang. Orang yang merasa sudah di aras (level) hakikat menganggap syari’at dan tarekat tidak perlu lagi. Kecenderungan ini sudah berlangsung sejak awal berakhirnya ‘era nabi-nabi’, sehingga Imam Malik r.a. pun menandaskan, “Syari’at tanpa hakikat adalah zindik (menjurus ke kafir). Hakikat tanpa syari’at adalah fasik (tidak bermanfaat).” Ya-iyalah, hakikat itu kan (artinya) kebenaran; lha kok bisa tahu bilamana sesuatu itu benar bila tidak pernah mempraktikkan (tarekat) gagasan (syari’at)-nya?

Sekuens syari’at-tarekat-hakikat-makrifat merupakan istilah akademis yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, yang pada masanya berlaku pada semua agama wahyu. Maksud al-Ghazali sebenarnya adalah untuk mengklasifikasi kitab-kitab ajaran klasik yang beredar saat itu (ca. 200 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad) ketika ia tengah menyusun mahakaryanya, Ihya’ Ulum ad-Din, dan bukan untuk menggolongkan tingkat (maqam) religiusitas seseorang. Dalam perjalanan waktu, barulah kaum Sufi Persia memperlakukan klasifikasi itu sebagai indikator keberagamaan. Padahal semasa nabi-nabi, istilah-istilah ini tidak dikenal dan tidak pula diteorikan; semua sudah jumbuh, saling melingkupi, di dalam laku kehidupan para nabi.

Pada 30 Agustus 2008 lalu, saya dan dua saudara Subud saya tampil dalam diskusi interaktif dengan para dosen dari Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta, bertempat di kampus UMJ di Ciputat, Tangerang. Diskusi diadakan selain untuk menyambut bulan Ramadhan juga untuk mengujicoba program pelatihan mentalitas wirausaha yang diciptakan oleh saudara Subud saya yang hari itu tampil sebagai pemrasaran diskusi. Banyak dari kalangan dosen bingung, kok kewirausahaan – yang di benak kebanyakan kita terkait melulu dengan bisnis – bawa-bawa teologi segala. Banyak dari mereka rupanya tidak menyadari bahwa Tuhan pun punya peran dalam enterprise. Lha, kalau tidak punya peran buat apa kita berdoa memohon pertolonganNya saat bisnis kita bangkrut?!

Pada kesempatan itu, saya minta waktu untuk menceritakan pengalaman saya tentang betapa terbantukannya saya dalam pekerjaan saya yang sarat dengan aktivitas beride dan berkarya jika saya menentramkan diri, mengakui kekurangan saya dan berserah diri kepadaNya. Ide yang datang bagaikan kucuran air dari pancuran di tengah sejuknya udara pegunungan. Dahulu, sebelum berlatih kejiwaan Subud, setiap kali menerima order pekerjaan membuat iklan, saya perlu brainstorming berhari-hari, menghabiskan berbungkus-bungkus rokok dan, kadang, nongkrong di kafe sambil menenggak alkohol. Sudah begitu, belum tentu pula idenya nongol. Kini, setelah berlatih kejiwaan, ide yang muncul terkadang, menurut pikiran saya, terlalu biasa dan corny, tetapi perasaan saya (yang cenderung intuitif) menganggapnya ‘pas’; sehingga saya pun berpihak kepada perasaan. Pengalaman saya bertutur, bahwa semua ide yang saya rasakan pas, walaupun corny, selalu berhasil memenuhi harapan klien!

Dalam diskusi di FAI-UMJ itu secara implisit juga mengungkapkan bahwa spiritualitas tidak mesti diekspresikan melalui amalan-amalan mistis (pengasingan diri/asketisme, bertirakat, bertepekur di rumah-rumah ibadah, atau mendaraskan nama Tuhan berkali-kali), tetapi, yang jauh lebih bermanfaat lagi, bisa pula dihidupkan melalui tindakan-tindakan sehari-hari yang menguntungkan diri sendiri maupun orang lain. Kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa Arab abadda, yang kemudian terserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘abdi’. Artinya, dalam ibadah, kita seharusnya menumbuhkan sikap mengabdi atau melayani, yaitu melayani (baca: mewujudkan) kekuasaan Tuhan di dalam diri kita melalui pelayanan yang tulus kepada sesama kita.©

No comments: