Wednesday, July 25, 2007

Kisah-Kisah Yang Menyembuhkan

"DE nobis fabula narratur," ungkap filsuf dan sejarawan Romawi Kuno, Cicero, yang berarti "kisah mereka adalah kisah kita juga". Kisah-kisah yang kerap digunakan untuk mengidentifikasi diri dan keadaan pada hakikatnya adalah suatu sistem simbol yang bersifat inspirasional. Karenanya, kisah-kisah sering digunakan dalam metode penyembuhan jiwa. Banyak sistem spiritual menyingkirkan doktrin-doktrin agama yang dogmatis dan non-kompromis. Gantinya adalah penyampaian (sharing) kisah-kisah para utusan Tuhan dan pencari spiritual terdahulu.

Para terapis psikologi spiritual (bidang yang dipelopori oleh psikolog Amerika, William James, ini mengkaji jiwa sebagai spirit, bukan sebagai psyche) biasanya menyampaikan kisah secara tulisan maupun lisan yang sesuai kebutuhan penderita. Pada tingkat tertentu, sebuah kisah membantu penderita membangun momentum yang diperlukan untuk bergerak menuju sesuatu yang ia identifikasi dengan keadaan dirinya. Kisah-kisah yang inspiratif mendorong penderita untuk melihat sedikit lebih jauh dari apa yang ia lihat di hadapannya. Kisah-kisah mengilhaminya untuk menjadikan sesuatu yang tidak kentara menjadi dapat dirasakan secara intuitif. Kisah-kisah membantunya melihat, berpikir dan merasakan hal-hal dan situasi yang biasanya mungkin tidak ia perhatikan.

Tugas terapis dalam hal ini adalah sekadar membuka cakrawala pandangan penderita dan menjajaki nilai-nilai yang memungkinkan dapat ditemukannya makna hidup, yaitu nilai-nilai kritis, kreatif dan sikap bertuhan. Sebagai metode penyembuhan, kisah-kisah dipandang psikologi sebagai terapi yang bercorak orientasi masa depan (future-oriented), yang efektif terhadap kasus-kasus dengan kesadaran diri dan intelejensi yang cukup baik.

Menghidupkan kebenaran

Lama sebelum kelahiran agama-agama resmi, kisah lisan menjadi wahana untuk memelihara kebijaksanaan yang berabad-abad usianya. Dalam kisah-kisah, legenda, sejarah dan perumpamaan, kebenaran tentang kehidupan menemukan ekspresinya. Kisah-kisah memperkenalkan pendengarnya pada sebuah dunia magis dan misteri, pada kemungkinan yang lain-lain. Kisah-kisah yang mempesonakan dan menenangkan pikiran yang penat di akhir sebuah hari yang melelahkan.

Kisah-kisah juga sudah lama menjadi medium pendidikan dan pengajaran tradisional. Koentjaraningrat dalam Beberapa Pokok Antropologi Sosial (cetakan ke-4, 1980) menyatakan bahwa pengkisahan beberapa peristiwa dari kehidupan tokoh-tokoh keramat atau dewa-dewa melalui upacara seni drama bisa menimbulkan suatu suasana keramat juga, yang seolah-olah bisa memberi kekuatan kepada orang untuk tahan kepada penderitaan yang akan datang.

Yesus dan Buddha sangat menonjol dalam hal menyampaikan ajaran melalui kisah-kisah. Kaum shaman serta para tetua dari setiap tradisi menangkap kearifan para guru agung dalam kisah-kisah di sekitar perapian dan pada pertemuan anggota suku, menorehkan dalam dunia pendengarnya sebuah visi kehidupan yang lebih dalam dengan berbagai gambaran dan simbol-simbol.

Masyarakat Arab pra-Islam tidak memiliki tradisi baca-tulis, sehingga kisah-kisah (tradisi lisan) menjadi metode Nabi Muhammad untuk menyampaikan kebenaran wahyu Tuhan dengan bersandar kepada kitab-kitab sebelumnya (lihat QS Faathir [35]: 3). Penyusunan Al Qur'an menjadi kitab tertulis/tercetak justru baru terwujud lama setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa kekhalifahan Utsman ibn 'Affan.

Literatur teologi dan filsafat Zaman Baru acapkali memakai kisah-kisah yang mampu menciptakan pemahaman praktikal, ketimbang gagasan-gagasan konseptual yang membuat pembaca berhenti pada teori. Psikologi sufi yang diklaim sebagai metode penyembuhan holistik mengedepankan kisah-kisah dan perumpamaan untuk menyampaikan kebenaran yang subtil.

Buku Heart, Self and Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance, and Harmony (1999) karya Robert Frager, misalnya, menyelipkan cukup banyak kisah semi-mitologis untuk memudahkan pembaca mengerti tentang topik-topik tasawuf yang kompleks. Maulana Wahiduddin Khan dalam karyanya, An Islamic Treasury of Virtues -- A Collection of Inspiring Thoughts, Stories, Quotes and Sayings of the Prophet Muhammad and His Companions (1999), mengumpulkan kisah-kisah tentang perbuatan dan perkataan yang terpilih untuk diteladani; tujuan Khan adalah untuk memberikan gambaran otentik tentang pandangan hidup Islami.

Karya populer Christina Feldman dan Jack Kornfield, Stories of the Spirit, Stories of the Heart--Parables of the Spiritual Path From Around the World (1991), adalah kumpulan kisah-kisah pengajaran yang sifat muatannya melampaui batas-batas agama dan budaya, dari tradisi agung di Timur dan Barat, dari Kristen, Buddha, Sufi, Zen, Chassid, Hindu, suku Indian, Afrika dan sumber-sumber lainnya. Diungkap oleh kedua penulis buku tersebut, "Setiap kisah terus hidup, terisi dengan hati dan inspirasi dari tradisi-tradisi ini."

Logoterapi

Berdasarkan penjelasan di atas, kisah-kisah yang berpotensi menyembuhkan tersebut termasuk ranah logoterapi, sebuah corak psikoterapi yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Victor Frankl (1905), seorang ahli penyakit syaraf dari Austria.

Logoterapi menggunakan metode retrospektif (mengenang kembali) dan introspeksi terhadap perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan lain-lain melalui, antara lain, kisah-kisah yang dengannya penderita dapat mengidentifikasi dirinya. Kisah-kisah yang tergolong sejarah itu, bagaimanapun, terfokus pada masa depan dan kewajiban serta makna hidup yang harus dipenuhi oleh seseorang.

Dalam kehidupan, mungkin hasrat hidup bermakna sebagai motif utama tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan kita melihat, bahwa dalam kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang sifatnya potensial, yang perlu disadari dan ditemukan. Keadaan ini menimbulkan semacam frustrasi yang disebut frustrasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi oleh penghayatan tanpa makna. Gejala-gejalanya sering tidak terungkapkan secara nyata, karena umumnya bersifat laten dan terselubung.
Pendekatan kisah-kisah membantu pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan menyadarkan akan tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani, keluarga, masyarakat maupun terhadap Tuhan. Kisah-kisah menjawab dan menyelesaikan berbagai problem, krisis dan keluhan manusia masa kini, yang intinya adalah seputar hasrat untuk hidup secara bermakna.

Kisah-kisah mencitrakan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni melalui hal-hal yang dialami dan dihayati. Kisah-kisah menuntun pikiran bawah sadar (sub-conscious mind) untuk mengambil sikap terhadap keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin dielakkan. Kisah-kisah menunjukkan suatu jalan, memancarkan cahaya di jalan kita, mengajari kita bagaimana kita melihat, menyingkap kenyataan psikologis dan kejiwaan kita, menerangi kenyataan dan kesulitan-kesulitan yang tak terhindarkan dalam keseluruhan perjalanan kita. Seperti dinyatakan oleh Cicero pula: "Historia vitae magistra -- kisah sejarah adalah guru kehidupan."(AD)

No comments: