Wednesday, July 25, 2007

Diri Merdeka

Tulisan berikut ini merupakan perspektif pengalaman "praktis" saya saat menempuh jalan spiritual. Juga sebagai refleksi diri menyambut peringatan enampuluh dua tahun Proklamasi Kemerdekaan RI.

Sebuah pertanyaan teosofis patut diajukan setiap kali kita, rakyat Indonesia, merayakan peringatan Hari Proklamasi pada 17 Agustus: Benarkah kita sudah merdeka?

Dari sudut pandang fisikal, kita memang sudah lepas dari kekang penjajahan bangsa asing ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, bila kita merefleksi diri ke dalam, ada beberapa keraguan yang patut diajukan.

Keraguan itu bersandarkan pada hakikat kemanusiaan kita. Sebab, secara hakiki, manusia bukanlah makhluk fisik di dunia spiritual, melainkan makhluk spiritual di dunia fisik. Kita terbentuk oleh Ruh dari Allah, bukan oleh paradigma, pengalaman, lingkungan, materi atau kebendaan lainnya. Artinya, anggapan kita selama ini bahwa keutuhan ragawi merupakan han kodrati manusia hidup di dunia sebenarnya adalah "kebenaran semu".

Pendekatan nalar dalam ajaran-ajaran agama menegaskan bahwa Tuhanlah yang gaib, tidak berujud, sehingga ajaran-ajaran tersebut menafikan "bersatunya Allah dengan diri" kita. Padahal kenyataan di jalan spiritual membuktikan bahwa memang diri atau jiwa adalah hakikat kita. Jiwa yang terkondisikan secara keilahian untuk senantiasa berada dalam bimbinganNya, bila manusia berserah diri tanpa syarat ke dalam Kekuasaan Tuhan Yang Maha Wujud!

Merefleksi sang diri, yang di zaman modern ini terlampaui kekuasaan akal pikir dan hawa nafsu, menjadi dasar penilaian bahwa secara mental dan spiritual orang Indonesia belum merdeka seutuhnya.


A. Reza Arasteh dalam bukunya Growth to Selfhood--A Sufi Contribution (1998), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "diri" hakiki adalah diri yang terbentuk dari produk jagat raya dalam evolusi (universal self), suatu entitas dari ruh (spirit) yang diisikan Tuhan pada awal penciptaan manusia. Teosofi Jawa menyumbangkan terminologi "jiwa" ke dalam kamus esoterikisme Indonesia, yang secara etimologis kurang tepat untuk disinonimkan dengan jiwa (psyche) dalam gagasan psikolog dan psikoanalis Barat, yang lebih merupakan dimensi sosial.

Makna jiwa menurut teosofi Jawa itu terasosiasi dengan "diri", "rasa", "kreativitas", "implementasi", "mengingat" (eling), dan "pengendalian". Dalam konteks ini, seseorang dapat melakukan pengembaraan ke dalam jiwa atau diri bila ia berkemauan untuk mengendalikan kerja akal pikir dan hawa nafsu (laku weneng) dan menentramkan diri (laku meneng). Pada tahap persentuhan dengan jiwa ia akan mengalami kondisi ekstase, suatu kerinduan mendalam dan agung kepada Tuhan. Segala ucapan, tindakan dan pikirannya akan terbimbing dengan sendirinya oleh "energi Illahi". Kesadaran tetap melekat pada dirinya, tetapi hanya sebagai "penonton" atas apa yang dilakukan kekuasaan Tuhan terhadap jiwanya, entitas yang tunduk kepada Sang Pencipta.

Ia lantas dihadapkan kepada situasi introspeksi dan retrospeksi; ia akan menyaksikan sendiri betapa semua perbuatan yang pernah dilakukannya membawa efek timbal-balik kepada dirinya. Di dalam Al Qur'an, berkali-kali Allah berfirman, "Dan Aku sekali-kali tidak menyiksamu, melainkan engkau menganiaya dirimu sendiri." Proses weneng dan meneng pada orang Jawa membawanya kepada kontak spiritual yang imanen dengan Tuhan (manunggaling kawula kalawan Gusti), yang diaplikasi baik dalam meditasi atau kontemplasi maupun dalam laku sehari-hari; semua ucapan, tindakan dan pikirannya senantiasa terbimbing dan tertuntun oleh Gusti Allah, seperti halnya wayang di tangan sang dalang.

Sifat jiwa terbebas dari segala sesuatu selain Tuhan. Kenyataan ini diperkuat oleh firman Allah, bahwasanya ruh adalah urusanNya. Barangkali pembaca akan berasumsi, bukan tidak mungkin setan akan menancapkan pengaruhnya. Mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, "Payahkanlah setan-setan di dalam dirimu dengan ucapan laa illaha ilallah," mahaguru Tarekat Qadirriyah, Syekh Abd' al-Qadir al-Jilani dalam Fathurrabani: Pencerahan Sufi (2001) berpendapat bahwa yang disebut "setan" adalah entitas lain dalam diri manusia, yaitu hawa nafsu atau ego! Psikolog Amerika yang juga syekh sufi Tarekat Halveti al-Jerrahi, Robert Frager, Ph.D., dalam Hati, Diri dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi (2002), menyatakan bahwa manusia merupakan wadah yang "menampung" jiwa (dzat Allah), akal pikir (sifat malaikat) dan hawa nafsu (sifat setan); ketiga-tiganya menjadikan badan kasar sebagai medan pertempuran untuk menguji keimanan manusia bahwasanya tiada Tuhan selain Allah. Akal pikir dan hawa nafsu adalah alat-alat peserta manusia untuk melakoni hidup di dunia. Ibarat radar, jiwa menerima banyak petunjuk dari Tuhan, yang sering tidak jelas maknanya. Untuk itu, manusia harus berikhtiar menemukan jawabannya berbekal hasrat pendorong, melalui prosesor pencitraan yang bernama akal pikir.

Diri yang merdeka (baca: jiwa yang berserah diri kepada Tuhan semata) senantiasa dituntun di jalan yang diberi Cahaya Allah (petunjuk atau wahyuNya). Baik atau buruk adalah tolok ukur relatif di jalan spiritual ini. Yaitu dalam kerangka penemuan hakikat eksistensi diri: Keburukan bisa jadi sebuah jalan menuju kebaikan. Atau, maksud baik belum tentu berakibat baik. Kita tidak akan bisa merasakan nikmatnya makan bila kita tidak pernah merasakan sengsaranya kelaparan, kan?

Spiritualitas yang terhidupkan membuat manusia sampai pada kesadaran bahwa Tuhan memang tidak pernah menyiksa umatNya yang berbuat kemudharatan, melainkan manusia menganiaya dirinya sendiri. Tanpa bermaksud menggugat syari'at Islam atau qanun yang berlaku di Aceh dewasa ini, saya merasa bahwa hukum cambuk yang diterapkan kepada para penjudi tidak akan menjerakan mereka. Yang mudah-mudahan akan membuat mereka benar-benar jera adalah siksa neraka kemiskinan yang semakin berat, akibat harta mereka--yang sudah kekurangan--dipertaruhkan di meja judi. Secara teoritis, manusia mau berubah, hanya bila itu berasal dari dirinya.

Menurut Arasteh, yang juga saya alami di jalan spiritual, kebanyakan orang paling tidak satu kali dalam hidup mereka pernah mendengarkan suara batin mereka dan seringkali melihat signifikansinya. Sebagian lagi, pada saat yang tepat berada pada situasi holistik yang membantu mereka untuk memperkuat keyakinan mereka. Pada saat seperti itu, jiwa yang terbangkitkan larut dalam tuntutan dorongan hasrat manusia dan menolak argumentasi akal pikir.

Saat transendental ini lebih unggul daripada saat pertobatan, tetapi mempunyai kesamaan karakteristik. Tobat merupakan saat menghentikan diri seseorang dari dosa, tetapi saat keyakinan adalah saat menghentikan diri dari konsep baik dan buruk, dan realisasi fakta bahwa baik dan buruk merupakan produk budaya. Saat pengenalan dengan kesadaran diri seseorang yang lebih unggul adalah saat sumpah seseorang dengan realitas wahyu dan ilham, yang akan mengarahkannya kepada kedekatan dengan hakikat Tuhan.

Apa pun yang "diskenariokan" Tuhan untuk kita mengandung hikmah pembelajaran yang hakikatnya dapat membawa kita kepada kedekatan spiritual denganNya. Asal manusia sudi dan pasrah melakukan pengembaraan ke dalam diri universalnya, cobaan adalah nikmat agung yang dikaruniakan Tuhan untuk ciptaanNya. Hanya melalui kegelapanlah kita akan melihat cahaya yang menuntun kita ke arah pencerahan spiritual--bangkit dan hidupnya sang jiwa, melampaui penjajahan akal pikir dan hawa nafsu.

Kemerdekaan diri atau jiwa merupakan kodrat Illahi, kemurahan Tuhan yang tiada habisnya dan tidak berbatas dalam kekuasaanNya (lihat firmanNya di atas). Jiwa yang berserah diri kepada Tuhan tidak tersentuh oleh nilai-nilai dunia yang lama-kelamaan menjadi sumber pertentangan antar umat manusia, yang mana memunculkan pemberhalaan terhadap ritual dan pemberhalaan terhadap materi.

Ritual yang diajarkan agama bila dipahami secara kontemporer dan kontekstual, adalah suatu "jalan" menuju Tuhan. Namun, tanpa kita sadari fanatisme sering membutakan kita sehingga kita cenderung menyembah "jalan" tersebut, bukannya Tuhan. Dan kita juga menyembah berupa simbol-simbol; simbol merupakan materi, sedangkan Tuhan tidak terbatasi materi. Dia adalah Ruh Yang Maha Kuasa dan tidak dapat dibatasi oleh materi. Spiritualitas merupakan suatu jalan tanpa ritual--atau, spiritual merupakan dasarnya ritual --yang diyakini dapat meraih Tuhan seperti agama. Frager menyebutkan, jalan kepada Tuhan adalah melalui kuilNya yang berada di dalam diri.
Tetapi orang Indonesia di zaman modern ini mengalami degradasi keikhlasan, kesabaran dan ketawakalan, menafikan ujian berat Nabi Ibrahim ketika harus menyembelih putra kesayangannya; menutup mata terhadap derita Yesus Kristus kala memanggul salib ke bukit Golgota di bawah siksa cambuk Romawi; dan memungkiri penyerahan diri Rasulullah SAW di hadapan Allah dalam mengajak umat jahiliyah ke jalanNya. Tak dipungkiri kenyataannya, bahwa kita secara kolektif telah membiarkan diri universal kita terjajah oleh akal pikir dan hawa nafsu.

Akal pikir dan hawa nafsulah yang membuat manusia merasa takut akan kekurangan materi, sehingga berkorupsi ria. Rasionalitas manusia modern menganggap Tuhan itu jauh "di surga sana", padahal Tuhan meliputi segala sesuatu, bukan sesuatu meluputiNya, sehingga para ulama pun tidak segan-segan bermaksiat. Daya-daya rendah (lower forces) manusia telah secara tidak sadar menciptakan bentukan-bentukan budaya yang berkiblat kepada materialisme dan simbol-simbol. Budaya seperti ini melahirkan pola pikir bahwa kesuksesan dalam hidup adalah kekayaan materi; dan umat beragama pun baru mau menyembah Tuhan bila diuntungi pahala dan surga, layaknya pedagang.

Ada kecenderungan umat beragama menyembah simbol-simbol, dengan kepercayaan bahwa simbol-simbol itu adalah Tuhan sendiri. Tidak mengherankan bilamana banyak umat yang diperdayai oleh kebendaan, dan kalangan pemuka agama tak segan-segan mengakomodasi umat dengan jimat-jimat yang "dilegalisasi" dengan tulisan yang dikutip secara sembarangan dari kitab suci. Bukankah Allah berfirman, "Janganlah engkau menyembah sesama makhluk!"?

Orang Indonesia harus melihat dirinya dalam perspektif pertumbuhan transformatif, agar bisa mengetahui "diri sejatinya". Sekali terbangkitkan, kita akan menyadari bahwa proses pertumbuhan yang membimbing kita kepada keadaan sekarang ini terus menerus berjalan. Proses ini mungkin berkembang lebih jauh dalam pikiran kita, dan menjadikan kita sadar akan kebutuhan kita sebagai manusia agamis atau manusia cendekia. Pada tahapan berikutnya, mengutip Arasteh, kita akan berkenalan dengan berhala-berhala dalam pikiran kita dan berusaha untuk menghancurkan semuanya agar kita dapat mencapai keadaan hidup kita yang baru.

Seorang bijak mengatakan, bahwa solusi kebahagiaan bukan didapat dari luar, tetapi dari dalam, yaitu dari diri atau jiwa yang dikodrati kemerdekaan oleh Tuhan, melampaui gemerlap kekayaan materi duniawi, bila kita berserah diri kepadaNya secara ikhlas, sabar dan tawakal. Haruskah kita menunggu enampuluh dua tahun lagi untuk memproklamasikan "diri" kita merdeka?(AD)

No comments: