Wednesday, July 18, 2007

Keyakinan Mewujudkan Segalanya

Jendral Thomas Jonathan Jackson mendapat julukan "Stonewall" (tembok batu) ketika dalam Pertempuran Bull Run I (21 Juli 1861) dirinya bergeming meski di sekitarnya peluru senapan berseliweran dan peluru-peluru meriam berjatuhan. Pasukan Virginia Utara yang berada di bawah bendera Konfederasi yang dipimpinnya bergerak mundur setelah dihajar oleh pasukan Federal. Salah seorang komandan pasukan berhasil menggelorakan semangat anak buahnya untuk kembali maju setelah ia menunjuk ke arah bukit di mana Jendral Jackson berada, dengan sikap gagah berani, dan berseru, "There is Jackson standing like a stone wall. Let us determine to die here, and we will conquer. Follow me!"
Ditanya oleh salah seorang ajudannya, usai pertempuran, kenapa ia bisa tetap bergeming walau maut mengintai di tengah dahsyatnya pertempuran, salah seorang panglima pasukan Konfederasi yang legendaris semasa Perang Saudara Amerika (1861-1865) itu menjawab, "Keyakinanku pada Tuhan memberiku rasa aman meskipun di medan perang. Tuhan yang menentukan kematianku dan aku tak khawatir soal kematian." Dan Tuhan menentukan kematian Stonewall Jackson dalam Pertempuran Chancellorsville (30 April-6 Mei 1863) yang, ironisnya, disebabkan oleh peluru yang ditembakkan pasukannya sendiri!

Satu kata tercamkan di benak saya ketika membaca kisah salah seorang tokoh idola saya ini: keyakinan. Banyak pemimpin yang sukses di medan perang atau pun medan perjuangan hidup dapat bertahan kokoh karena memiliki keyakinan. Keyakinan dipercayai sebagai suatu energi yang membangkitkan mental wirausaha untuk selalu sukses menaklukkan tantangan hidup.

Keyakinan mampu mewujudkan segalanya. Kenyataan praktiskah itu atau semata ungkapan pelipur lara bagi orang yang sudah demikian terpuruk hidupnya? Robert Frager, Ph.D. dalam bukunya yang menyentak dunia psikologi tradisional (baca: psikologi Barat yang tidak berkonsep ketuhanan), Hati, Diri dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi--Cetakan ke-2 (Jakarta: Penerbit Serambi, 2003) memberikan contoh realistis tentang begitu kuatnya pengaruh daya keyakinan terhadap diri manusia--yang sebagian besar dari kita pasti pernah mengalaminya. Frager berkisah tentang seorang ibu yang mendapati anaknya terjepit di bawah mobil yang tengah direparasi si anak. Si ibu tua itu bukan Superman, bukan pula juara angkat besi, tapi ia memiliki keyakinan dalam dirinya bahwa ia bisa dan harus menyelamatkan anaknya. Dan tiba-tiba saja ia memperoleh kekuatan untuk mengangkat mobil tersebut dan menarik anaknya keluar. Ketika beberapa lama kemudian ia mencoba lagi mengangkat mobil tersebut, ia tidak mampu melakukannya.

Lain lagi dengan kisah yang dituturkan Elizabeth Kubler-Ross, M.D., psikiater rekan Frager. Seorang wanita yang sakit kanker stadium akhir dan diramalkan hidupnya tinggal empat bulan lagi, curhat ke Dr. Kubler-Ross bahwa ia belum mau mati, karena ia punya anak berumur 14 tahun yang dikhawatirkannya bakal disiksa suaminya yang psikopat. Demi anaknya, si wanita 'menolak' meninggal hingga si anak mencapai usia 18 tahun. Ketika Dr. Kubler-Ross memberitahu si wanita bahwa anaknya sudah dewasa dan bisa menghindar dari ancaman suaminya, malamnya wanita itu pun menghembuskan napas terakhir.

Familiar dengan kisah-kisah semacam ini? Atau mungkin Anda pernah tahu--atau mengalaminya sendiri--tentang anak kecil yang tiba-tiba bisa melompati pagar yang lebih tinggi dari pinggangnya, atau melompati selokan lebar, ketika dia begitu ketakutan dikejar anjing? Penjelasan yang paling saintifik berkenaan dengan ini menekankan pada "dorongan adrenalin" yang tiba-tiba terpompa. Ketakutan yang begitu besar terhadap sesuatu justru bisa menghilangkan rasa takut itu sendiri. Tahun 2005 di Surabaya, saat menunaikan sholat Hajat tengah malam, saya bertemu face-to-face (tepatnya, saling menempel jidat) dengan kuntilanak. Saya merasakan napas saya berhenti seketika, dan jantung saya serasa jatuh ke perut. Namun bukannya pingsan, adrenalin saya tiba-tiba terpompa untuk menghadapi si makhluk Dunia Lain yang super seram itu. Saat itu, saya sudah pasrah, seandainya Mbak Kunti mau mencekik saya atau apa. Tapi satu hal yang pasti, ketidakberdayaan membangkitkan keyakinan saya akan pertolongan Tuhan. Walaupun berhasil mengatasi rasa takut luar biasa saat itu, bagaimanapun saya berharap tidak akan pernah mengalami pertemuan dengan makhluk-makhluk semacam itu lagi.

Tetapi pengalaman menyeramkan itu membawa saya kepada kepahaman praktikal bahwa keyakinan yang kuat akan dapat membuat kita sanggup mengatasi masalah, bahkan mewujudkan segala sesuatu yang dihakimi akal pikir kita sebagai tidak mungkin. Keyakinan ini tidak mesti berlandaskan kepercayaan kepada Tuhan. Bisa juga disebabkan oleh kepercayaan kepada orang-orang tertentu yang sukses. Juga kepercayaan kepada cita-cita atau ideologi tertentu. Atau melalui kepercayaan kepada suatu motto/ungkapan yang memberi inspirasi/simbol.

Pada tingkat tertentu, biasanya pada kaum muda, keberadaan sebuah simbol membantu membangun momentum yang diperlukan untuk bergerak menuju sesuatu yang mereka identifikasi. Pada saat itulah, mereka dapat menjalani transisi menuju keyakinan yang lebih dewasa dengan menciptakan hubungan-hubungan pribadi dengan Tuhan, dengan menerima keyakinannya dan menjadikan keyakinan itu bagian dari semua yang ia lakukan.

Di dunia militer, utamanya pada para prajurit tempur, simbol/motto kesatuan bisa mengilhami mereka untuk menjadikan yang biasa menjadi luar biasa, yang tidak mungkin menjadi mungkin, dan sesuatu yang tidak kentara menjadi dapat dirasakan secara intuitif. Lihat saja Kapten Richard "Dick" Winters (Anda bisa menonton DVD mini-seri kisah nyata Band of Brothers untuk mengenal sosok pemimpin di medan perang ini); dia selamat melewati semua pertempuran di Eropa pada tahun-tahun terakhir Perang Dunia Kedua, walaupun dia selalu berada paling depan, langsung menghadapi tembakan musuh. Dengan keyakinan tinggi dia selalu berhasil menyemangati anak buahnya dengan seruan "Follow me!", motto pasukan infanteri Angkatan Darat AS.

Keyakinan pada kemampuan diri sendiri pun bisa membantu kita melihat, berpikir dan merasakan hal-hal dan situasi yang biasanya mungkin tidak kita perhatikan. Pendek kata, keyakinan melahirkan kesadaran. Kesadaran mencetuskan pengenalan, dan pengenalan membuka jalan bagi pengetahuan.

Pada sebagian besar orang, proses ini adalah proses yang panjang dalam kehidupan mereka. Peralihan ditandai dengan dualisme antara kritisisme yang berkelanjutan pada bentuk keyakinan, dan pencarian terus menerus akan makna; dan dengan proses kritisisme tersebut, kita bisa membedakan diri dengan keyakinan yang ditanamkan dari luar dan keyakinan pribadi yang tumbuh dari "dalam". Penemuan spiritualitas ini merupakan sesuatu yang penting dalam keberadaan kita; sesuatu yang memerlukan waktu dan usaha. Latihan spiritual (a.l. meditasi transendental, sembahyang khusyuk, berdoa khidmat) yang didukung dengan kemauan untuk memperhatikan (me-niteni) diri sendiri maupun dunia sekitarnya pada hakikatnya bisa "memendekkan" waktu tersebut, sehingga aneh--kalau tidak bisa dikatakan "anomalistik"--bila orang yang sudah berspiritualitas tidak memiliki keyakinan sama sekali bahwa ia dapat mewujudkan tindakan ikhtiar untuk kesejahteraan hidupnya.

Menjadikan keyakinan sebagai bagian dari hidup kita lebih berarti daripada menoleh pada Tuhan saat kita perlu, saat berspiritualitas atau saat kita merayakan hari besar keagamaan. Dengan menghidupkan keyakinan pribadi kita membuktikan kebenaran dari apa yang kita yakini dalam tindakan kita sehari-hari.(AD)


No comments: