Sunday, November 30, 2025

The Colorful Black-and-White Side of Arifin

 


LAST night, at his apartment in the Cipete Selatan area of South Jakarta, my Subud brother, Dino, was experimenting with the effects of black-and-white photography. He took pictures of me with his phone camera while I was sitting on the couch, absorbed in my smartphone. This is how the photo came out. To strengthen the narrative of these images, I decided to create a story about myself, which is as follows:

Arifin Dwi Slamet, a man whose gaze held the depth of three decades in the demanding world of branding, leaned back, a silent testament to a life richly lived. His hands, though casually at rest, had crafted countless narratives, shaping perceptions and forging connections for brands big and small. A historian by training from the esteemed University of Indonesia, Arifin’s strategic mind is a tapestry woven with the threads of the past, allowing him to see patterns and predict futures where others see only chaos.

 


Beyond the work desk, his passions paint a vivid portrait of a soul constantly seeking wonder. The rhythmic clatter of trains on tracks spoke to his railway enthusiast heart, a metaphor perhaps for the journey of life itself, with its many stations and unexpected detours. The disciplined world of the military, a stark contrast to the fluidity of advertising, offers another facet of his multifaceted curiosity. And for 22 years, his dedication to Subud had grounded him, providing a spiritual anchor amidst the ever-shifting currents of his professional life.

In this quiet moment, holding his phone, Arifin isn’t just a strategist; he is a storyteller, a seeker, a man whose every experience, every interest, fueled the boundless creativity that defined him. His story isn’t just about crafting campaigns; it is about crafting a life—a masterpiece of passion, intellect, and unwavering spirit.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 1 December 2025

Kepribadian Akademik

 


KEMARIN, saat ngopi-ngopi di Kopi Bar Jl. Margonda Raya No. 417-E (sebelah selatan Kampus D Universitas Gunadarma), Depok, Jawa Barat, saya bersama tiga rekan alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; sejak 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI/FIBUI) yang, seperti saya, semuanya berprofesi praktisi komunikasi, membahas perilaku anak-anak Milenial (Gen Y) dan Gen Z dalam memilih perguruan tinggi.

 

Pilihan generasi Y-Z sering kali bukan bersifat akademik atau keilmuan tetapi menyangkut kelengkapan fasilitas hiburan yang tersedia di intra dan ekstra kampus, dan juga “gaya hidup” yang ditawarkan perguruan tinggi. Sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, tren anak-anak Jabodetabek untuk kuliah di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur semakin meningkat. Sampai dekade 1990an, UI masih jadi favorit—dipandang sebagai kampus prestisius yang menjadi jaminan masa depan super cerah. Ada kawan saya bahkan pernah berujar, “Gue kalo nggak diterima di UI, mending kuliah di luar negeri!”






Standar akademik UI kala itu memang fantastis. Kalau sekarang Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,50, yang dianggap bagus karena memenuhi kriteria predikat “Memuaskan” (cum laude), dapat dicapai dengan begitu mudah, dulu hanya UI yang “pelit” IPK setingkat itu. Kami dulu sudah bersyukur dengan IPK 2,50. Seorang dosen Sastra Jepang FSUI bahkan menyatakan bahwa nilai C di UI setara dengan nilai A di perguruan tinggi paling bergengsi di Jepang, Universitas Waseda.

 

Tetapi saya memilih kuliah di UI bukan karena UI dapat meningkatkan gengsi saya. Saya memilih UI karena saat itu (1987) orang tua saya tidak memperbolehkan saya kuliah di luar Jakarta lantaran biaya yang harus beliau-beliau keluarkan akan sepantar dengan biaya kuliah di swasta. Orang tua saya tidak kaya harta, dan mengajarkan hidup sederhana serta selalu bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki.

 

Kalau saat itu orang tua saya memberi saya kebebasan memilih, saya sebenarnya ingin kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, yang kajian sejarah sosialnya menjadi kiblat para sejarawan Indonesia dan luar negeri, diajar oleh dosen-dosen yang namanya sohor di negeri ini. Saya juga terpaksa memilih UI karena ada matakuliah-matakuliah yang mendukung kegemaran saya pada militer. Di Jurusan Sejarah FSUI saat itu, matakuliah sejarah militer diajar oleh seorang militer—seorang perwira TNI Angkatan Darat berpangkat Kolonel Infanteri.

 

Bagaimanapun, sebagaimana yang selalu ditanamkan oleh orang tua saya—agar saya mensyukuri apa yang diberikan oleh Semesta, saya bersyukur pernah kuliah di Universitas Indonesia. UI-lah yang membentuk kepribadian akademik saya, yang sangat berguna dalam melakoni hidup pasca perguruan tinggi.©2025

           

                                          

 

Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 1 Desember 2025

Saturday, November 29, 2025

Ukuran Waktu: Homecoming FIBUI 2025

 


Berkumpul mulai jam 09.00 WIB di Kopi Bar, Jl. Margonda Raya, Depok (sebelah Universitas Gunadarma Kampus D), sebelum menuju lokasi acara Homecoming FIBUI di kampus FIBUI Depok: (dari kiri ke kanan) Andi Zulfikar (Sejarah ’86), Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’87), Dino Musida (Sejarah ’86), dan Edwar Mukti Laksana (Sejarah ’89).

30 November 2025 membawa cahaya yang indah dan jernih ke lingkungan yang akrab dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) di Universitas Indonesia (UI). Melangkah di kampus FIBUI, aroma buku-buku lama dan hujan tropis—aroma yang hanya familiar di kalangan warga FIBUI—langsung menyambut saya. Tiga puluh tahun lebih pun sirna dalam panasnya Depok, Jawa Barat. Saya, seorang sarjana yang bangga dari Jurusan Sejarah, Angkatan 1987, akhirnya pulang untuk acara reuni Homecoming akbar.

Kegembiraan murni siang itu diukur bukan dalam jam, tetapi dalam keterhubungan yang instan. Saya pertama kali tertarik ke wajah-wajah yang akrab dari jurusan saya, Sejarah. Kami adalah penjaga masa lalu, yang kini membandingkan kehidupan kami saat ini—karier tak terduga, kota-kota jauh tempat kami menetap, dan kebijaksanaan yang terukir di sekitar mata yang dulunya begitu bersemangat memperdebatkan mata kuliah di ruang-ruang kuliah tahun 1980-an. Diskusi terasa seperti kelanjutan dari diskusi terakhir kami, meskipun beberapa dekade memisahkannya.

Di selasar Gedung II FIBUI (dulu, Biro Administrasi Pendidikan/BAP). Dari kiri ke kanan: Budi (Sejarah ’91), Pandu Dewanata (Sejarah ’86), Dedeth Dewa (Sastra Jawa ’85), Ceha Bastian (Sastra Cina ’85), Dino Musida (Sejarah ‘8), Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’87), dan Fana Ds (Sejarah ’89).


Di selasar Gedung II FIBUI (dulu, Biro Administrasi Pendidikan/BAP). Dari kiri ke kanan: Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’8), Dr. Mohammad Iskandar (dosen Prodi Ilmu Sejarah), Edwar Mukti Laksana (Sejarah ’89), Pandu Dewanata (Sejarah ’86).


Di depan Gedung IX FIBUI. Dari kiri ke kanan: Kasmadi (mantan petugas Koperasi Mahasiswa FSUI), Zulmartinof (Sastra Rusia ’85), Pandu Dewanata (Sejarah ’86), Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’87), Dino Musida (Sejarah ’86), Ceha Bastian (Sastra Cina ’85), dan Munasik (Sastra Arab ’86).

Pemandangan Gedung II FIBUI dilihat dari kafe tenda Marc, tempat saya, Dino dan Acik Munasik nongkrong sebelum kami pulang pada sekitar pukul 16.30.



Namun, siang itu benar-benar mengesankan ketika saya terhubung dengan teman-teman dari jurusan-jurusan lain—Sastra Cina, Sastra Jawa, Sastra Arab, Sastra Rusia, Sastra Belanda, dan Sastra Indonesia. Kami bukan hanya rekan; kami adalah penyintas era tahun 1990-an yang penuh semangat, terkadang kacau, ketika kami secara resmi memulai kehidupan sarjana kami. Kami berbagi kisah tentang mengarungi era baru Indonesia, membangun keluarga, perubahan karier, dan menemukan kedamaian dalam momen-momen kecil. Setiap cerita, dari awal yang ambisius hingga kenyataan yang puas saat ini, adalah sebuah bukti semangat tangguh yang terbentuk di bangku-bangku kuliah di kampus kami.


Saat hari kian sore, ketika sinar matahari menyepuhkan emas pada kampus FIBUI, hati saya terasa penuh. Kami datang sebagai individu yang berprestasi, tetapi kami pergi sebagai mahasiswa masa lalu yang tak terpisahkan dan bersemangat. Hari itu membuktikan bahwa pengalaman yang dibagikan di FIBUI menciptakan ikatan yang lebih permanen daripada waktu itu sendiri.©2025

                                                     


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 30 November 2025

Friday, November 28, 2025

Perjalanan Seorang Praktisi Branding ke Jantung Papua yang Belum Tersentuh

DI lanskap dunia periklanan Jakarta yang hiruk pikuk, saya menguasai frasa yang ringkas, menarik, dan memenangkan kampanye. Hari-hari saya diukur dalam tenggat waktu dan wawasan kelompok terpumpun (focus group insights). Namun pada Desember 2009, saya menukar kursi ergonomis saya yang ramping dengan perahu motor kayu yang usang, terjun ke dunia di mana satu-satunya “brief” adalah bertahan hidup: hamparan luas berwarna zamrud dari Sungai dan Hutan Hujan Mamberamo di Papua.

Bersiap-siap untuk mengarungi Sungai Mamberamo dengan perahu motor, bersama Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, dan seluruh rombongannya. Total ada enam perahu untuk kunjungan Bupati ke Kampung Aurina II di Distrik Airu, distrik terjauh dan paling terpencil di seluruh Kabupaten Jayapura.

                                       

Dengan panjang 1.102 km, Sungai Mamberamo adalah sungai terpanjang kedua di Indonesia. Perjalanan kami pada akhirnya akan membawa kami masuk ke anak sungai yang disebut Sungai Nawa, yang mengalir tepat di depan Kampung Aurina II.

Petualangan tak terduga saya dimulai ketika saya bergabung dengan Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, dalam perjalanan penting untuk mengunjungi distrik terjauh dan paling terpencil di wilayah kabupaten tersebut. Ini bukanlah perjalanan wisata mewah; ini adalah ekspedisi yang keras dan memakan waktu sembilan jam ke salah satu wilayah yang paling jarang dijelajahi di dunia. Perjalanan kami diatur oleh aliran sungai dan terik matahari yang panas.

Saya seperti ikan yang keluar dari air. Udara tumpat dengan kelembapan dan aroma tanah yang basah. Atmosfer suara, yang biasanya didominasi oleh lalu lintas Jakarta, digantikan oleh dengungan serangga yang tak henti-hentinya, mesin pendorong perahu, dan paduan suara hutan yang primitif.

 

Di hari kedua saya di Aurina II, saya ikut dengan sebuah tim yang terdiri dari personel Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Brigade Mobil (Brimob). Mereka mengenakan pakaian sipil tetapi dipersenjatai dengan senapan serbu, menaiki perahu menuju kawasan berburu.

 

Pria di belakang saya adalah Sersan Numberi, seorang Bintara TNI AD yang bertindak sebagai Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Komando Rayon Militer setempat. Gajinya untuk mempertahankan kedaulatan negara adalah Rp75.000 sebulan.

Saat perahu motor melaju semakin jauh ke pedalaman, struktur kehidupan kota besar yang sudah saya akrabi mulai larut. Tidak ada Wi-Fi, tidak ada komunikasi instan, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi dari keagungan alam yang murni. Saya memperhatikan ketika Bupati dan kru setempat menavigasi arus yang rumit; pengetahuan mereka adalah peta bisu yang diwariskan.

Di kota, saya menulis teks yang menjanjikan kenyamanan, kecepatan, dan kepuasan instan. Di sana, sebaliknya, setiap momen adalah tentang kesabaran, ketahanan, dan hidup sepenuhnya pada saat ini. Kami tidak mencoba menjual apa pun; kami hanya mencoba untuk menjadi apa adanya.

Saya belajar membedakan kicauan burung, menghargai kesempurnaan sederhana dari makanan yang dimasak di atas api unggun, dan memahami kekuatan mendalam dari orang-orang yang hidup dalam komunitas sejati, terhubung bukan oleh teknologi, tetapi oleh upaya bersama dan rasa saling menghormati.

Saya dan Sersan Numberi di tengah hutan saat kami dalam perjalanan berburu rusa. Hutan hujan Mamberamo di Papua adalah rumah bagi kekayaan keanekaragaman spesies, termasuk setidaknya 332 spesies burung dan 80 spesies mamalia di dalam cagar alam tersebut.


Keterasingan adalah wadah ujian. Terlepas dari persona profesional saya, saya mendapati diri saya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar. Apa yang benar-benar penting dalam hidup ini? Apakah saya hanya diwakili oleh kesuksesan materi dan karier?

Jawabannya datang bukan dalam pencerahan yang tiba-tiba, tetapi dalam kekuatan Mamberamo yang abadi dan tenang. Saya menyadari bahwa penguasaan sejati bukanlah dalam memanipulasi kata-kata di layar komputer, tetapi dalam menguasai diri sendiri—dalam mendorong melewati lelah, merangkul ketidaknyamanan, dan menemukan kegembiraan dalam tindakan mendasar untuk bergerak maju.

Saya pergi ke Papua dengan perkiraan bahwa saya mengamati realitas yang jauh. Saya kembali menyadari bahwa saya sejatinya mengamati diri saya sendiri. Sungai itu telah menghilangkan hal-hal yang dangkal, menyisakan arus tujuan yang lebih dalam.

Saya masih menulis naskah iklan di Jakarta, tetapi kata-kata saya sekarang membawa resonansi baru—sebuah koneksi tulus yang ditempa di jantung hutan Papua. Perjalanan itu mengajari saya bahwa kisah-kisah terbaik, seperti orang-orang terkuat, adalah kisah-kisah yang dapat menghadapi arus apa pun. Itu adalah brief terpanjang, tersulit, dan pada akhirnya, yang paling menginspirasi dalam hidup saya.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 29 November 2025

Pintu-Pintu Menuju Ketidaktahuan: Bagaimana Saya Menemukan Jiwa Saya di Papua

DI dunia periklanan Jakarta yang ramai, tempat tenggat waktu sangat ketat dan slogan yang sempurna dianggap berharga, saya merancang kampanye yang bergema di seluruh nusantara. Namun, di balik lapisan luar kesuksesan korporat, saya merasakan kerinduan yang sunyi—sebuah panggilan bukan untuk produk yang lebih laris, melainkan untuk kisah yang lebih mendalam.

Kerinduan itu membawa saya ke Papua. Hidup saya mengalami perubahan dramatis pada Mei 2009 ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Kabupaten Jayapura. Itu merupakan perjalanan yang, bagi penduduk kota seperti saya, terasa seperti menjelajah ke dunia yang berbeda. Saya menggambarkan pengalaman awal yang mengubah hidup itu sebagai tidak kurang dari “membuka pintu-pintu menuju ketidaktahuan” (doors to the unknown). Frasa ini, yang menangkap campuran rasa cemas, kegembiraan, dan keajaiban tertinggi, kemudian menjadi judul yang bergema dari buku pertama saya.

Pemandangan saya berada di luar jendela penerbangan Garuda dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Wing flaps (sayap sirip) telah dikeluarkan dan ketinggian pesawat menurun—sebuah tanda pasti bahwa kami akan segera mendarat di landasan pacu di Bandara Sentani, Jayapura.

Saya berdiri di dermaga Khalkote di Asei Besar, dengan Danau Sentani membentang di belakang saya.

Fokus dari keterlibatan awal saya adalah Sentani, jantung yang berdenyut dari Kabupaten Jayapura, yang dikenal dengan Danau Sentaninya yang megah dan bukit-bukit landai yang membingkainya. Saya tidak hanya berkunjung; saya berpadu dengannya. Saya menghabiskan hari-hari saya dengan mewawancarai para Ondofolo (pemimpin tradisional), mendengarkan ritme kuno dari genderang perang, dan mengamati seni yang teliti dari lukisan kulit kayu. Saya melihat melampaui berita utama dan menemukan tempat yang kaya akan kemanusiaan, keindahan alam yang memukau, dan ketahanan yang merendahkan hati.

 

Warga setempat menyebutnya “Jonson”, yang merujuk pada perahu yang menggunakan motor tempel (outboard motor). Saya menduga Jonson adalah nama merek dari motor itu sendiri. Dalam foto ini, saya bersama pengemudi dari Hotel Sentani Indah dan operator perahu, menyeberangi Danau Sentani dari Kampung Asei (di latar belakang) kembali ke dermaga Khalkote.

Saya mendaki bukit kecil di Kampung Asei. Anda dapat melihat Pegunungan Cyclops, Danau Sentani, dan bukit-bukit di sekitarnya di latar belakang.

Kunjungan perdana pada Mei 2009 itu memicu penulisan yang hebat, sebuah proyek hasrat yang melampaui kehidupan profesional saya. Buku saya tentang Sentani, sebuah eksplorasi yang tulus diisi dengan deskripsi yang menggugah dan wawasan budaya yang mendalam, dirilis hanya sebulan kemudian, pada Juni 2009. Buku itu menandai perpindahan saya dari sekadar menulis naskah iklan, sebuah bukti akan kekuatan penceritaan yang autentik, dan menandai kelahiran sejati saya sebagai seorang penulis perjalanan.

 

Saya difoto di sini bersama rekan saya, Pak Toni Sri, di Kampung Entiyebo, yang juga dikenal sebagai Tablanusu, di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura. Beliau adalah fotografer profesional yang berspesialisasi dalam fotografi pariwisata dan industri. Saya sudah empat kali ke Papua, dan selalu bersama beliau. Beliau memotret, dan saya menulis ceritanya.

Di sini saya berpose di antara rumah-rumah di Kampung Bukisi. Permukiman pesisir ini, yang terletak di Distrik Yokari, Kabupaten Jayapura, terisolasi dan hanya dapat dicapai melalui jalur air. Saya sampai di kampung ini dengan naik perahu cepat (speedboat) dari Dermaga Tablanusu.

Namun bagi saya, satu kali perjalanan tidak pernah cukup. Papua bukanlah kotak centang dalam daftar keinginan saya; ia adalah inspirasi yang berulang, rumah bagi jiwa saya. Saya telah mengunjungi Kabupaten Jayapura sebanyak empat kali sejak kunjungan pertama itu, dan setiap kunjungan memperdalam keterhubungan saya dengan tanah dan masyarakatnya.

 

Ini saya berpose persis di lokasi di The Plaza di Jakarta, di mana, hanya dua jam kemudian, diadakan konferensi pers dengan Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae. Ini adalah dalam rangka Pameran Foto dan Peluncuran Buku Doors to the Unknown: The Story of Sentani in the Jayapura Regency of Papua, pada 29 Januari 2010.

Saya difoto di sini bersama buku yang saya tulis, yang didasarkan pada pengalaman langsung dari perjalanan pertama saya ke Papua. Foto ini diambil di ruang rapat Sekretariat Pengurus Nasional Subud Indonesia di Wisma Indonesia, yang terletak di dalam kompleks Wisma Subud Cilandak.

Bagi seorang pria yang pernah menjual mimpi kepada konsumen, kini saya menjual mimpi keterhubungan—pentingnya pemahaman akan beragamnya permadani Indonesia. Perjalanan saya dari penulis naskah iklan (copywriter) menjadi penulis perjalanan (travelwriter) yang berdedikasi adalah pengingat yang kuat bahwa terkadang, perubahan karier yang paling sukses adalah yang mengikuti hati, bahkan jika itu membawa Anda melintasi lautan luas dan masuk ke dalam realitas indah dan merendahkan hati dari suatu tempat yang dulunya sama sekali tidak dikenal.

Kisah saya adalah inspirasi bagi diri saya sendiri: itu menunjukkan kepada saya bahwa pintu-pintu paling mendalam yang dapat saya buka seringkali adalah yang menantang persepsi saya tentang dunia dan, pada akhirnya, tentang diri saya sendiri.©2025

 

Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 29 November 2025

Wednesday, November 26, 2025

Menunggu Nasib di Poskamling

 


TADI malam, dalam perjalanan bermotor ke Wisma Barata Pamulang, untuk kegiatan rutin Latihan Kejiwaan di Subud Ranting Pamulang, saya melewati sebuah Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling) berukuran kecil. Sontak, ingatan saya terlempar ke suatu momen 32 tahun yang lalu.

Saat itu, dalam rangka “menegosiasi pasal-pasal” dengan seorang cewek gebetan saya yang telah melarang saya untuk datang lagi ke rumahnya di Ciputat, saya bersama sahabat saya mengatur strategi. Sahabat saya inilah yang akan menjadi juru runding. Hari itu hari Minggu, bertepatan dengan Hari Valentine, yang juga tanggal ulang tahun gebetan saya. Saya telah mempersiapkan kado buat doi, sebuah pulpen bermerek Sheaffer, yang tergolong mahal. Seluruh uang saku saya selama dua bulan telah saya alokasikan untuk membeli pulpen itu, yang di badannya digravir dengan nama gebetan saya dalam warna keemasan.

Larangannya terhadap saya tidak menyurutkan niat saya untuk memberi pulpen itu sebagai kado buat ulang tahunnya. Setidaknya, saya bisa menunjukkan kepadanya—meskipun saya tidak bisa bertatap muka dengannya—bahwa saya serius mengenai perasaan saya kepadanya. By the way, saya sudah menyatakan cinta saya kepadanya, di suatu malam Minggu di ruang tamu rumah orang tuanya. Jawabannya ke saya saat itu mengambang antara ya dan tidak. Ya karena dia menyukai saya lantaran baginya saya terlalu baik kepadanya, dan tidak karena dia tidak mau melibatkan saya dalam kehidupannya yang cukup pelik saat itu. Dia tidak memerinci apa permasalahan hidupnya.

Pada hari-H, saya dan sahabat saya meluncur ke kompleks perumahan di Ciputat di mana rumah gebetan saya berlokasi. Waktu itu masih pagi, sekitar jam 10. Beberapa hari sebelumnya, sahabat saya sudah menelepon doi untuk membuat janji; dia berbohong bahwa dia akan datang sendirian, tanpa saya, dan gebetan saya juga minta ke sahabat saya agar saya jangan diajak.

Jarak dari jalan raya, di mana kami turun dari angkutan perkotaan, ke kompleks itu cukup jauh, namun karena tidak ada moda transportasi selain becak, saya dan sahabat saya pun berjalan kaki saja. Sampai di jalan di mana rumah gebetan saya beralamat, saya membiarkan sahabat saya meneruskan langkahnya ke rumah doi sementara saya menunggu nasib di sebuah Poskamling yang berjarak sekitar 50 meter dari rumah doi, di pertigaan.

Hampir dua jam sahabat saya berada di rumah gebetan saya. Ketika dia muncul, dia langsung mengajak saya pulang, dan menolak menceritakan saat itu apa saja yang menjadi subjek pembicaraan dia dengan gebetan saya. Dia hanya menyebutkan bahwa kado saya sudah dia serahkan dan gebetan saya mengucapkan terima kasih.

Tiga hari kemudian, sahabat saya baru membeberkan semuanya, yang membuat saya patah hati, kecewa, marah, sedih dan tertekan sampai pada titik saya ingin bunuh diri. Saya membutuhkan kurang lebih tiga bulan untuk mengatasi kesedihan saya, lebih karena dipaksa oleh kenyataan bahwa saya harus menyelesaikan skripsi saya tahun itu juga, dengan tenggat waktu akhir Juni. Berkat perkenalan saya dengan cewek yang kelak menjadi istri saya, pada bulan Oktober, kesedihan saya tidak berlarut-larut. Pengalaman menyakitkan hati itu tenggelam di alam oblivion.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 27 November 2025

Membuka Lembaran Sejarah

DALAM sebuah reuni teman-teman kuliah saya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, pada September 2014, sejumlah rekan alumni menyatakan penasaran mereka tentang saya masuk Subud. Mereka tahu bahwa semasa kami masih kuliah dulu saya bukanlah orang yang religius maupun memiliki minat terhadap spiritualitas.

Saya katakan pada mereka, sedikit berseloroh, bahwa studi sejarah yang saya peroleh di bangku kuliah diperkuat sejak saya masuk Subud. Nyatanya, memang benar, Subud itu bagi saya seperti membuka lembaran-lembaran sejarah pribadi saya. Saya yang tadinya tidak peduli siapa saja leluhur saya dan apa saja sepak terjang mereka di masa lalu, sejak membaca/mendengarkan ceramah-ceramah Bapak saya termotivasi untuk mencari tahu.

Proses-proses yang terjadi di diri saya, secara lahiriah maupun spiritual, juga mendorong saya untuk mencari tahu lebih banyak apa atau siapa gerangan yang menurunkannya. Dan Latihan benar-benar menunjukkan “jalan kembali” itu ke saya, melalui berbagai kejadian dalam hidup saya sejak dibuka. Menelusuri jalan kembali itu tidak selalu menyenangkan, malah bagi saya terasa menjengkelkan (tak jarang saya mengutuk Tuhan, mengapa takdir saya begitu buruk), meletihkan, sehingga saya kadang harus “melempar handuk” untuk mengakhiri pertarungan.

Bagaimanapun, saya tetap bersyukur telah dipertemukan dengan Subud, karena dengan begitu saya jadi memiliki sejarah. Seorang pembantu pelatih senior di Wisma Subud Cilandak pernah berbagi ke saya bahwa dia yang tidak tahu sejarah, tidak punya kehidupan.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 27 November 2025

Monday, November 24, 2025

Latihan Adalah Pembangkit Listrik Kreatif

DI resume pekerjaan saya tercantum keterangan bahwa saya aktif di Subud. Apakah ada relevansinya dengan pekerjaan saya? Tentu saja ada!

Sementara banyak sekali saudara Subud saya di Indonesia enggan mengakui terus terang keterlibatan mereka di Subud, baik kepada teman-teman non Subud mereka maupun kepada relasi-relasi bisnis mereka. Ada kekhawatiran pada diri mereka bahwa keaktifan mereka di Subud dapat mengganggu kenyamanan mereka. Seorang saudari Subud yang dibuka pada 14 September 2024 bercerita ke saya bahwa kalangan pergaulan sosial dia di luar Subud menganggap bahwa dia telah bergabung dengan sekte sesat. Saudara lainnya mengatakan bahwa ia ditegur keras oleh ustaz di pengajian yang dia ikuti bahwa Subud tidak sesuai akidah Islam dan dia bahkan sempat dirukyah (pengusiran setan ala Islam) oleh sang ustaz, tetapi karena ia dalam keadaan Latihan malah sang ustaz terpental. Kejadian itu membuat sang ustaz berkesimpulan bahwa saudara itu telah dirasuki jin yang sangat kuat.

Sebagian besar anggota Indonesia yang dengan mereka saya pernah bicara, menutup-nutupi keaktifan mereka di Subud dari para rekan kerja, majikan mereka, dan klien-klien mereka (jika mereka bekerja di sektor jasa). Kekhawatiran dianggap “pengikut aliran sesat” merupakan alasan utama mereka. Anggapan itu, mereka khawatirkan, dapat menciptakan stereotipe tertentu terhadap mereka.

Tetapi mengapa saya berani blak-blakan menyatakan bahwa saya anggota Subud di resume saya, bahkan dalam wawancara pekerjaan? Karena memang saya mendapat banyak sekali manfaat dari Latihan Kejiwaan dalam pekerjaan saya dalam bidang kreatif (saya mencari nafkah sebagai Copywriter, Branding Strategist dan Sustainability Communication Specialist). Banyaknya anggota di Cabang Jakarta Selatan khususnya, yang juga berkarier di industri periklanan, branding atau komunikasi pemasaran, membuat saya berpikir, jangan-jangan Latihan Kejiwaan Subud membangkitkan “listrik” kreatif yang tak terbatas.

Di salah satu wawancara untuk posisi Creative Director di sebuah biro iklan berskala menengah di Jakarta tahun 2005, Direktur Utama yang mewawancarai saya membaca dalam resume saya bahwa saya anggota Subud. Dia rupanya kenal baik dengan seorang praktisi periklanan kawakan Indonesia yang juga di Subud, dan menganggap bahwa saya, seperti halnya si praktisi periklanan kawakan itu, memiliki kemampuan “dari luar dunia ini”. “Dia sudah mendapat idenya bahkan sebelum klien memberi briefnya! Berarti Anda juga seperti dia, ya? Kan kalian sama-sama di Subud!” sergah si Direktur Utama. Saya menyambutnya dengan tertawa seraya menjawab, “Bukan begitu cara kerjanya, Pak.”

Saya baru-baru ini terkenang kembali obrolan saya dengan almarhum Pak Asikin (salah satu asisten Bapak ketika perjalanan pertama beliau ke Coombe Springs, Inggris, tahun 1957) pada Agustus 2005. Saya mengeluhkan kepada Pak Asikin perihal krisis saya yang membuat saya melihat keberadaan makhluk-makhluk gaib yang menyeramkan di mana saja saya berada dan kapan saja. Pak Asikin memberi tahu saya bahwa saya bisa memohon kepada Tuhan agar kemampuan melihat makhluk gaib itu diganti dengan sesuatu yang lain yang lebih bermanfaat. Anjuran beliau saya ikuti; saya meminta “makhluk gaib bernama Ide”.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 25 November 2025

Sunday, November 23, 2025

Surat Cinta Buat Kamu dan Tuhan

Kepada...

 

DI sunyi Senin dini hari, usai menyantap sahur, aku menulis ini. Keheningan awal pagi tak pernah gagal membawa rindu. Rindu kepada senyummu, tutur lembutmu dan Getar Kekuasaan-Nya yang mengisi dirimu. Rindu yang melekatkanku dalam perenungan di sepanjang sisa gelap malam.

Rinduku ini bukan sebagai tuntutan yang gelisah, bukan pula sebagai hasrat yang ingin merobek garis takdirmu. Aku menulisnya sebagai pengakuan, sebuah persembahan yang murni dari palung jiwaku, tempat cinta dan hakikatnya bertemu.

Kamu tidak hanya membangkitkan rasa sayang; kamu telah membangkitkan kerinduan terdalam dalam jiwaku: Kerinduan akan Cinta yang Tak Bertepi, Cinta yang Menciptakan, Cinta yang Maha Murni. Melalui pendar cahaya dirimu, aku mulai melihat pantulan Cinta Ilahi yang lebih mulia.

Namamu sungguh mewakili apa yang kurasakan. Ia adalah gelar bagi Yang Maha Tinggi, bagi segala yang suci, megah, dan tak tergapai oleh tangan dan akal budiku, namun begitu dekat di dalam jiwa. Kamu adalah taswir sempurna dari keindahan ciptaan-Nya. Dalam senyummu, aku melihat Kemurahan Tuhan yang tak terbatas. Dalam bening matamu, aku menemukan cerminan dari Kasih Pertama yang melahirkan alam semesta.

Kamu hadir, bukan sebagai sesuatu yang ingin kumiliki, melainkan sebagai ejawantah luhur dari segala yang patut kucintai di dunia ini. Yang kurasakan selama ini adalah cinta yang tidak butuh janji temu, tidak butuh pengakuan status, apalagi ikatan. Cintaku padamu mengandung makna yang paling hakiki: sebuah tangga menuju pemahaman akan Keindahan sejati. Aku mencintaimu bukan untuk diriku sendiri, tetapi dengan mencintaimu, aku belajar mencintai Tuhan dan segala Ciptaan-Nya dengan lebih mendalam.

Aku tak bisa memilikimu, dan aku tak ingin. Ada cinta yang ingin memeluk dan memiliki, dan ada cinta yang harus dibiarkan bebas, seperti udara, agar ia dapat membawa kita lebih tinggi. Cintaku padamu, adalah jenis cinta yang kedua.

Kamu adalah Bintang Sempurna yang terangnya selalu kubaca dan kucintai, namun orbitmu telah sempurna, terikat pada takdir yang begitu kokoh dan indah. Tugas dan posisimu di angkasa raya telah mencapai pungkas. Aku mencintaimu, bukan untuk mengubah garis edarmu, melainkan untuk mengagumi keutuhan putaranmu di angkasa.

Keindahan sejati tak pernah bisa diikat; ia harus dibiarkan bebas, bersinar dalam bingkai takdirnya sendiri.

Aku melihatmu sebagai sebuah lukisan mahakarya yang telah selesai ditetapkan, diletakkan pada dinding takdir yang paling mulia. Tugasku bukan mengambil lukisan itu, melainkan mengagumi keutuhannya dari jauh, meresapi setiap sapuan kuas yang telah menentukan posisinya. Keutuhanmu justru menjadikanku lebih jangkap dalam mencintai.

Kerinduan yang kurasakan tidak menyiksaku. Rindu yang kupunya untukmu adalah kuil hati tempatku bersemadi. Ia adalah pengingat bahwa di balik segala gaduh mayapada, ada sebentuk kemurnian abadi yang tak lekang oleh waktu dan tak tercerai oleh hak.

Aku mencintaimu karena kamu adalah keajaiban yang ada, terlepas dari apakah kamu milikku atau bukan. Cinta yang kupunya untukmu mengajarkanku bahwa cinta sejati tidak pernah berakhir pada orang yang kita cintai, tetapi selalu menjadi perjalanan pulang menuju Sumber segala cinta.

Terima kasih telah menjadi alasan bagiku untuk memahami bahwa cinta sejati bukanlah memiliki, melainkan menerima. Mencintaimu membuatku menerima keberlimpahan Kasih Ilahi yang membuatku kuat sekaligus sabar, tawakal dan ikhlas.

Aku hanya bisa mendoakanmu: Semoga kamu selalu dalam lindungan Kasih Semesta, dan semoga hidupmu adalah cerminan dari damai yang abadi.

Dengan segala hormat dan rindu yang damai,

Seseorang yang mencintaimu dalam sunyi,

yang melalui dirimu, mencintai Yang Maha Kuasa.


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 24 November 2025

Tuesday, November 18, 2025

Beda Generasi, Beda Pengalaman

SEKITAR sebulan setelah dibuka, saat menunggu waktu Latihan di teras Wisma Subud Surabaya, Jawa Timur, saya ditanya oleh seorang pembantu pelatih senior apakah saya sudah memiliki pengalaman dengan Latihan. Bersama saya, ada tiga anggota lainnya—yang paling lama baru setahun di Subud—dan mereka juga mendapat pertanyaan yang sama. Semua tidak segera menjawab; tiga anggota lainnya itu hanya menggelengkan kepala.

Akhirnya, saya mengacungkan jari, meminta kesempatan untuk berbicara. Saya menceritakan sebuah pengalaman terkini saat itu. Suatu ketika, keuangan rumah tangga saya menipis dan saya sedang tidak ada pemasukan (saat itu saya bekerja sebagai freelance copywriter). Istri pun terpaksa membuat menu makan siang kami yang sangat sederhana: Nasi putih dengan lauk ikan asin goreng dan sambal. Istri saya sungguh-sungguh minta maaf kepada saya karena hanya itu yang bisa dia sediakan. Saat itulah, saya menerima pengertian: Bahwa bukan makanannya yang memberi nikmat, melainkan rasa syukur atas apa pun yang ada.

Segera setelah saya berucap syukur di dalam hati, saya merasakan makanan sederhana itu terasa sangat lezat, tak ubahnya saya menyantap steik yang mahal.

Selesai saya bercerita, dan si pembantu pelatih memuji penceritaan saya, tiga anggota lainnya baru berucap “ooohh!” hampir bersamaan. Salah satu dari mereka, yang sudah lebih dulu setahun di Subud dari saya, mengatakan, “Saya pikir pengalaman di Subud itu hanya kalau ketemu makhluk halus, malaikat atau yang aneh-aneh.”

Saya dikenal di kalangan anggota dan pembantu pelatih di Subud Indonesia sebagai “orang yang memiliki banyak sekali pengalaman dengan Latihan”, sehingga kerap dirujuk sebagai referensi bagi anggota, pembantu pelatih maupun kandidat. Tapi sebaliknya saya mendorong mereka agar “mengalami sendiri”, karena saya tidak mau pengalaman saya menjadi “ajaran” bagi orang lain.

Saya baru-baru ini membantu copy editing naskah terjemahan Bahasa Indonesia dari Jilid 2 History of Subud, yang menceritakan perjalanan Bapak keliling dunia. Banyak sekali kisah pengalaman “aneh-aneh” bertebaran dalam naskah itu, dari mereka yang dibuka pada masa-masa awal Subud di luar Indonesia. Tetapi rupanya kisah-kisah “dunia lain” itu memiliki efek dahysat hanya pada masa itu, dan beberapa generasi sesudahnya. Generasi terkini, kaum Milenial dan Gen-Z, yang belakangan ini, di kota-kota besar di Indonesia, berbondong-bondong masuk Subud, rupanya tidak begitu terkesan dengan kisah-kisah hebat itu. Mereka mencari yang “relate” dengan kehidupan mereka saat ini: pekerjaan, percintaan, pergaulan, keuangan, perjalanan, masalah kesehatan mental yang marak di kalangan mereka, dan keluarga.

Tanggal 16 November 2025, di Cilandak, dibuka dua kandidat pria. Salah satunya adalah teman saya semasa kuliah dulu, dan karena itu seusia saya, sedangkan kandidat lainnya berumur 23 tahun, seorang Gen-Z. Teman saya masih suka dengan kisah-kisah pengalaman Latihan dalam kaitan dengan “dunia lain”, sementara si Gen-Z, yang lagi asyik berkarier di sebuah perusahaan otomotif raksasa asal Jepang itu, meminta saya bercerita tentang pengalaman Latihan yang relate dengan dia. Saya sempat menyatakan keheranan saya padanya, mengapa baru setelah dibuka dia meminta hal itu. Menurut dia, masa tunggu tiga bulan dia (12 kali pertemuan kandidat kalau di Cabang Jakarta Selatan, satu kali per minggu di hari Minggu pagi) dia lalui dengan membosankan karena berhadapan dengan para pembantu pelatih tua yang menceritakan secara buku teks (mengutip ceramah Bapak) dan minim pengalaman dengan Latihan yang relate dengan kekinian.

Tampaknya, organisasi Subud harus membenahi “pintu masuk”-nya yang belakangan sering diketuk oleh generasi terkini.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 19 November 2025

Friday, November 14, 2025

13 Bukan Angka Sial

 


BERPULUH tahun lalu, sebagai mahasiswa S1, seperti halnya banyak teman sebaya saya, saya mengerahkan tenaga dan waktu saya untuk ikut dalam “perlombaan” menulis artikel untuk dimuat di media cetak ternama, seperti Kompas, Sinar Harapan (kemudian jadi Suara Pembaruan), Media Indonesia, Tempo, Gatra, Kartini, Femina, Teknologi & Strategi Militer (Grup Sinar Harapan) dan Angkasa (Grup Kompas-Gramedia).

Ada suatu kebanggaan tersendiri bila artikel kita dimuat di media cetak tersebut. Bukan soal honornya, tetapi kepuasan dalam perasaan pribadi bahwa keahlian menulis kita diakui oleh lembaga yang valid. Sehingga, meskipun ditolak berkali-kali, hal itu tidak menyurutkan langkah saya.

Entah benar atau hanya legenda urban, koran Kompas menjadi acuan utama bagi banyak penulis karena statusnya sebagai media besar dengan reputasi yang mapan dan terpercaya, serta ruang publikasi yang prestisius untuk karya sastra dan jurnalistik. Banyak penulis menganggap penerbitan di Kompas sebagai pengakuan kualitas dan pencapaian profesional, sehingga mereka seringkali berusaha mengirimkan karyanya ke sana. 

Di sepanjang karier kepenulisan saya, baru dua kali karya tulis saya dimuat di koran harian Kompas, dalam bentang jarak waktu yang panjang. Yang pertama, “Tendensi Feminisme Baru” dimuat pada 18 Desember 1995, dan yang kedua “Spiritualitas Perkotaan”, bulan Juni 2005.

Yang menarik adalah kisah tentang dimuatnya artikel pertama saya di Kompas. Saya mengirimnya 12 kali, setiap kali menjelang Hari Kartini 21 April dan Hari Ibu 22 Desember, dan 12 kali pula ditolak oleh Redaksi dengan alasan “Tidak Aktual”. Setiap kali ditolak, saya baca ulang, melakukan perbaikan yang perlu, dan saya kirim lagi ke alamat Redaksi Kompas.

Kali ke-13, saya, yang sudah bosan melakukan perbaikan, hanya mengganti judulnya, menjadi “Tendensi Feminisme Baru”. Tulisan “Baru” saya cantumkan setelah mempertimbangkan “aktualitas” yang dituntut Redaksi Kompas, meskipun sebenarnya tidak ada yang baru pada artikel tersebut. Kebetulan saat itu, saya baru mengawali karier sebagai Copywriter di sebuah biro iklan multinasional di Jakarta. Saya belajar dari Creative Director-nya, yang orang Selandia Baru, bahwa “kecuali headline-nya bagus, tidak ada orang yang akan membaca badan naskah”.

Trik itu saya gunakan dalam upaya ke-13 saya agar artikel saya dimuat di Kompas, digabungkan dengan tuntutan aktualitas dari Redaksinya. Puji Tuhan, artikel yang sama, yang telah ditolak 12 kali, akhirnya dimuat. Angka 13 terbukti bukan angka sial.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 14 November 2025

Thursday, November 13, 2025

Menangis Bersama Tuhan

 

Di sudut malam yang sunyi sepi,

di mana bayangan berbisik lirih,

aku menengadah, hati teriris,

memeluk beban, memendam tangis

Pasangan yang dulu berjanji setia,

menoleh pergi, membawa cahaya

Anakku, cermin jiwa dan raga,

menjauh langkah, tak sudi menyapa

Saudara kandung, darah yang mengalir,

jadikan cacatku sebagai satir

“Kamu kurang ini,” “Kamu salah di sana,”

Setiap ucapan bagai belati yang menusuk lara

Lingkaran keluarga,         

mengangkat tembok, memutus cerita

Semua mata menilai, semua lisan menghukum

Dalam sepi, jiwaku merangkak, terpuruk mendalam

 

Namun, saat dunia memalingkan wajah,

saat setiap pintu tertutup dan rekah,

ada satu tempat, teduh dan abadi,

di mana tangisku tak pernah dicaci

Di dalam gelap, aku berlutut, menyerah,

mencurahkan duka yang tak tertahankan

 

Bukan suara manusia yang menjawab lirih,

Tapi sentuhan damai, di relung hati yang pedih

“Anak-Ku,” suara itu begitu lembut

Bukan penghakiman, bukan celaan terselubung

“Ku tahu segala kekurangan yang kau pikul,”

“Ku tahu sakitnya dicabut dari sekumpul”

 

Air mata tumpah, bukan karena malu,

namun karena kasih tak bertepi yang merangkul

Di situ, aku tak lagi sendirian

Bersama Tuhan, ku temukan perlindungan

Dunia mungkin melihat kepingan yang hilang,

kekurangan dalam tingkah, cela yang terbayang

Tapi Tuhan melihat hati yang remuk redam,

melihat potensi, di balik kelam

Aku menangis, dan air mata itu suci,

dibasuh oleh Rahmat, oleh Cinta yang sejati

Menangis bersama Tuhan, sebuah pengakuan,

bahwa di tengah penolakan, ada penerimaan.

 

Tuhan adalah rumah bagi jiwa yang terbuang,

Kasih-Nya utuh, tak pernah terhalang

Meski semua pergi, dan hati terbelah dua,

di pelukan-Nya, ku temukan harga

Aku bangkit, masih dengan luka yang membekas,

Namun kini aku tahu, Kasih-Nya takkan terlepas

Biarlah dunia menghukum, biarlah mereka menjauh,

sebab yang terpenting, kasih Tuhan selalu utuh...

 

 

Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 14 November 2025