Friday, August 16, 2024

Tanda Jasa Untuk Akhlak Mulia


KETIKA ayah saya meninggal dunia pada 1 November 1995, seorang perwakilan dari Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) datang ke rumah orang tua saya di Jl. Pondok Jaya VII, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Mengatasnamakan asosiasi dimana ayah saya selaku purnawirawan perwira menengah TNI Angkatan Darat menjadi anggotanya, bapak tua yang pengurus Pepabri Cabang Jakarta Selatan itu menawarkan jasa Pepabri secara cuma-cuma untuk membantu agar ayah saya dapat dimakamkan dengan upacara kehormatan militer di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.

Syaratnya, keluarga yang ditinggalkan dapat menunjukkan tanda jasa Bintang Gerilya yang mungkin pernah diperoleh ayah saya. Meskipun ayah saya memiliki tanda jasa tersebut, tetapi kepada perwakilan Pepabri itu saya katakan “tidak ada”. Salah satu pesan yang pernah disampaikan ayah saya jauh sebelum wafat, adalah bahwa beliau tidak menghendaki dimakamkan di TMP Kalibata, agar keluarga bisa kapan saja menziarahi makam beliau.

Bintang Gerilya adalah tanda kehormatan yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menghormati jasa seseorang dalam mempertahankan negara dengan cara bergerilya. Bintang ini salah satunya diberikan kepada rakyat Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi antara tahun 1945-1950, terutama saat Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947-22 Februari 1948) dan Agresi Militer Belanda II (18 Desember 1948-27 Desember 1949). Penghargaan ini ditetapkan secara resmi pada tahun 1949. Bintang ini berada setingkat di bawah Bintang Mahaputera dan tidak memiliki kelas di dalamnya.

Sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga, tentu saja sayalah yang kerap menjadi teman berbagi ayah saya ketika beliau menceritakan kisah-kisah perjuangan semasa Perang Kemerdekaan RI 1945-1949 yang beliau alami sendiri—sebagai anggota Brigade XVII Tentara Pelajar Cie (Kompi) Purwokerto dan kemudian, ketika dibentuk pada 3 Juni 1947, bergabung di Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal inilah yang kelak menginspirasi saya untuk menulis skripsi di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia/FIBUI) dengan judul “Aksi-Aksi Gerilya dan Anti Gerilya di Jawa Tengah Bagian Barat Selama Agresi Militer Belanda II, 1948-1949: Studi Awal Terhadap Perang Urat Saraf Selama Perang Kemerdekaan RI” (1993).

Beliau pernah memperlihatkan sederet tanda jasa yang beliau peroleh selama berkarir di TNI, mulai dari medan juang gerilya hingga pasca periode Perang Kemerdekaan, antara lain Bintang Gerilya, Satyalancana Wira Dharma, dan Bintang Kartika Eka Paksi Utama. Tanda-tanda jasa itu beliau simpan dalam tas kopor terkunci rapat yang beliau sembunyikan jauh di sudut lemari paling bawah. Ayah saya mengatakan, tanda jasa itu hanya untuk menunjukkan peran seseorang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tapi tidak bisa menjadi saksi atas niat dan kegigihannya. Singkat kata, beliau menekankan, tanda jasa itu hanya pengakuan pemerintah dan tidak bisa mewakili sebenar-benarnya kiprah pemegangnya di medan juang.

Sebagai anggota TNI yang merintis karirnya di Staf Teritorial dan kemudian di Intelijen (mulai dari Staf Umum Angkatan Darat [SUAD]-1 Intelijen Markas Besar Angkatan Darat [MBAD] hingga Badan Koordinasi Intelijen Negara [BAKIN]), ayah saya menutup mulut rapat-rapat berkenaan dengan peran dan jasa beliau sebagai pribadi. Karena itu pula, beliau tidak pernah mengobral aksi heroik yang pernah beliau lakukan selama bergerilya. Beliau hanya bercerita tentang sulitnya kehidupan gerilya, keluar-masuk hutan, naik-turun gunung, kadang menyamar sebagai petani atau pedagang sayuran untuk menyelundupkan senjata ke para anggota gerilya yang bertahan di kota Purwokerto, melalui akses-akses ke kota yang dijaga ketat oleh tentara Belanda. Bila ketahuan, bisa dipastikan nyawa si pejuang sudah ditentukan akhirnya.

Ayah saya (kanan) menyambut uluran tangan Jenderal Gatot Subroto yang baru mendarat di Bandara Safdurjang (Delhi), India, tahun 1960. Menurut cerita ayah saya, keduanya sempat mengobrol akrab selaku mantan pejuang gerilya yang sama-sama berasal dari daerah Banyumas.


Setelah Indonesia Merdeka, setiap tahun ayah saya menghadiri upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI. Mulai dari yang ke-1 hingga yang ke-44. Saat peringatan HUT ke-45, tahun 1990, beliau hanya duduk di depan televisi di rumah, menonton siaran langsung pelaksanaan upacara di Istana Negara dengan raut muka yang mewakili keengganan. Karena penasaran, saya, yang waktu itu duduk di sebelah beliau, bertanya mengapa beliau tidak menghadiri upacara di kantor beliau, di markas BAKIN Senopati, Jakarta Selatan.

“Bapak ini,” ucap ayah saya dengan nada datar, “menghadiri upacara Hari Kemerdekaan yang pertama sampai yang keempatpuluh empat. Bapak ini mempertaruhkan nyawa menembus blokade tentara Belanda di Banyumas demi menghadiri upacara bendera dan nyanyi Indonesia Raya.”

Begitu saja kalimat-kalimat yang keluar dari mulut ayah saya sebagai respons atas pertanyaan saya. Tidak ada elaborasi, tetapi saya tidak bertanya lebih lanjut, melainkan larut dalam pengembaraan pikiran, mencoba menghayati semangat rela berkorban apa saja bahkan nyawa dari para pejuang kala itu demi mempertahankan kemerdekaan negeri kita. Kemerdekaan yang saat ini mungkin dinikmati oleh generasi terkini yang tak pernah merasakan kesulitan dan tantangan bertaruh nyawa sebagai pejuang di medan gerilya.

Saat itu, saya membatin, hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang dapat membalas akhlak mulia para pahlawan kita.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 16 Agustus 2024

Thursday, August 8, 2024

Aku di Situ

Kamu bisa melihat isi hatiku?

Tanyamu

Aku dibisakan, bukan bisa

Jawabku

Biasanya memang tidak bisa

Belum ada yang bisa tembus,

meski mencoba

 

Kamu berkata begitu saja

aku sudah tahu isi hatimu

 

Ada aku di situ...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 Agustus 2024

Sunday, August 4, 2024

Sekar Arum

Seluruh diriku terselimuti rasa lembut itu

Eksotisme cinta terraih lewat kalbu

Karya agung Tuhanku mengisi diri

Akmal dalam kulit dan isi

Rajut rasaku menjadi sebabku menorehkan puisi

 

Mata jiwaku dari jauh meraih adamu

Ingin kusampaikan kata-kata bersalut rindu

Rancangan kalimat indah pun rupanya tak mampu

Aku hanya bisa diam membisu, menyusuri rasa yang berpadu

 

Cahaya berpendar dari jiwa yang mengalunkan lagu

Alkamar di malam bersuara merdu

Hadirkan wajahmu dalam mimpi yang gelisah

Yakinkan diriku bahwa ini anugerah

OlehNya dicipta sebagai bentuk bakti

Puja niskala untuk Ilahi

Ekspresi hati yang berkelindan

Nikmat terasa menyeluruhi badan

Indah terlukis pada kanvas perjalanan

 

Harum tercium dari rangkaian namamu yang bermakna bunga

Egoku terkikis saat menghirup wangi cinta

Rahap ke tanah yang tandus

Asalnya yang menjerumus

Nikmat kemabukan pada Yang Kuasa

Doaku bersenandung lirik semesta

Abadi dalam rangkaian nada irama

Rasa damai menjelmai semadi

Untuk Sang Adikodrati aku rendahkan hati

Diriku tak menanti, karena jiwamu abadi

Embun di kelopak bunga harummu sejukkan rindu

Walau hanya dalam mimpiku kasih itu mengada

Ingin kusimpan rasa ini selamanya...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 Agustus 2024

Saturday, August 3, 2024

Kesempatan yang Tidak Pernah Dimiliki


KETIKA saya sodorkan lirik jingle ciptaan saya, lengkap dengan jumlah bar (sejumlah beat tertentu dari durasi yang diberikan) pada setiap barisnya, seorang saudara Subud menyatakan kekagumannnya. Pasalnya, dia tahu bahwa saya tidak bisa memainkan alat musik. Lantas, bagaimana saya dapat menentukan ketukan-ketukan (beat)-nya? Oleh dia dicoba pada gitarnya dan memang pas, demikian dia berkata.

Gue dengerin suara musik dari dalam diri gue, bro,” kata saya. “Jiwa gue ngarahin gue.”

Perihal saya tidak bisa memainkan alat musik bermula ketika saya duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Atas. Saat itu, satu sepupu saya dibelikan gitar oleh ibunya untuk dia belajar cara memainkannya. Ibu saya terdorong untuk membelikan saya gitar juga, dan menanyakan saya apakah saya mau belajar gitar.

Saya menolak. Saya ingin belajar biola. Hal itu karena pada saat itu saya baru membaca sebuah artikel di majalah tentang riwayat Antonio Stradivari, seorang pembuat, ahli memperbaiki, dan pengrajin instrumen berdawai seperti biola, cello, gitar, biola, dan harpa asal Italia. Nama Stradivari lekat sebagai jenama (brand) biola klasik yang mahal. Yang membuat saya juga kesengsem adalah nama depannya yang mirip nama saya.

Apa boleh buat, ibu saya tidak mau membelikan biola karena lumayan mahal saat itu, dan mengatakan saya aneh-aneh saja karena tidak mau mengikuti tren anak-anak muda seusia saya saat itu yang suka bermain gitar. Saya tetap keukeuh tidak mau dibelikan maupun les gitar dan alat-alat musik lainnya, selain biola. Demikianlah, hingga saat ini saya tidak bisa memainkan alat musik.


Harapan saya kini pada Nuansa, yang Mei lalu mendapat biola bekas dari Surabaya. Saya jadi bisa menyalurkan rasa penasaran saya untuk memegang biola, meskipun tidak bisa memainkannya. Mudah-mudahan Nuansa memiliki minat untuk belajar biola, suatu kesempatan yang tidak pernah saya miliki.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 4 Agustus 2024

Thursday, August 1, 2024

“Road to Mulyaland”


PADA 18 Juli lalu, 13 anggota Subud, sebagian besar dari Surabaya, ditambah dari Sidoarjo dan satu orang dari Cabang Jakarta Selatan melakukan perjalanan bersepeda motor dari Surabaya ke Palangkaraya dengan semangat “Road to Mulyaland”. Mulyaland adalah sebutan untuk lahan luas di sebelah Rungan Sari, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang dirancang untuk pemukiman anggota Subud. Dalam kurun waktu 19 hingga 29 Juli di kota terluas di Indonesia itu digelar dua acara Subud: Kongres Dunia Subud dan Musyawarah Nasional (Munas) PPK Subud Indonesia. Tetapi ke-13 anggota itu menempuh perjalanan tersebut untuk menikmati kebersamaan dan meresapi persaudaraan kejiwaan Susila Budhi Dharma, melampaui “pagar-pagar” kedua acara akbar tersebut.

Melalui foto-foto yang diunggah ke Grup WhatsApp Sumeleh Sedulur (Subud Margodadi Surabaya & Beyond) saya pribadi merasakan di diri saya kekuatan optimisme dan antusiasme mereka dalam menjalankan misi yang bermuatan bimbingan Latihan Kejiwaan. Yang malah tidak saya rasakan pada semua peserta dan kegiatan-kegiatan lainnya di ajang Kongres Dunia dan Munas lewat berbagai foto yang diunggah di media sosial (Facebook, Instagram dan WhatsApp).

Dan makin kuat terasa vibrasinya pada kaus biru berlogo Kalimantan 2024 (yang aslinya merupakan logo Kongres Dunia Subud ke-16, yang sesuai harapan saya telah dihapus tulisan “16th Subud World Congress”-nya di bawah tulisan “Kalimantan 2024”) ukuran 5L yang saya terima tadi malam dari saudara Subud Jakarta Selatan yang ikut serta dalam perjalanan itu. Keren sekali kausnya, dibordir euy.

Puji Tuhan, saya bisa turut merasakan (terasa sekali!) semangat saudara-saudara Subud yang menempuh perjalanan bermotor Surabaya-Palangkaraya pergi pulang.©2024

 


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Agustus 2024

Celaka Malah Tertawa

PULANG dari Wisma Subud Cilandak jam 00.15 tadi ini, saya mengalami kecelakaan. Tidak tahu bahwa daerah Pondok Cabe baru hujan, bagaimanapun saya pacu motor matic milik keponakan saya dalam kecepatan rendah, terlebih di tikungan.

Di sebuah tikungan di Jl. Cabe I, yang berjarak sekitar 1 km dari rumah saya, ada tanah galian yang berceceran di jalan yang karena terkena siraman air hujan menjadi licin. Ban motor pun selip dan motor terguling ke aspal bersama badan saya. Saya jatuh dalam posisi tengkurap. Puji Tuhan, saya tidak mengalami luka apa pun, bahkan tidak tergores sedikit pun. Hanya pakaian saya berlumuran tanah merah.

Warga sekitar datang membantu saya, memeriksa motor maupun diri saya. Tidak ada kerusakan berarti pada motor, hanya beset. Aneh bin ajaib, saya malah menahan tawa—ingin rasanya tertawa keras, tapi nanti disangka gila, kok kecelakaan malah tertawa. “Dasar orang Subud!” batin saya.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Agustus 2024