BEBERAPA waktu lalu saya melontarkan lelucon di sebuah grup WhatsApp Subud di Indonesia, mengenai adanya dua jenis anggota Subud. Yaitu “Subud Turunan” dan “Subud Tanjakan”.
Di Indonesia, terutama di daerah-daerah pinggiran kota yang permukaan tanahnya lebih tinggi daripada di pusat kota, terdapat jalan-jalan raya yang menurun (turunan) dan menanjak (tanjakan). Bagi para pengendara sepeda, turunan merupakan jalan paling menyenangkan karena mereka tidak perlu mengayuh pedal karena adanya daya dorong alami. Mereka menghindari tanjakan, karena itu berarti mereka harus mengerahkan segenap tenaga pada kaki mereka untuk membuat laju sepeda tetap stabil. Kaki mudah pegal saat mengayuh sepeda di tanjakan.
Subud Turunan mengacu pada anggota Subud yang merupakan keturunan dari orang tua, kakek-nenek, dan/atau kakek-nenek buyut yang juga di Subud. Proses kejiwaan mereka, menurut saya, relatif lebih mudah, ibarat kendaraan yang meluncur kencang di jalan turunan, yang terjadi dengan mudah dan tanpa mengeluarkan banyak tenaga, karena mendapat “dorongan dari leluhur mereka yang sudah menerima Latihan”.
Kalau saya termasuk Subud Tanjakan. Saya generasi pertama di keluarga biologis saya yang masuk Subud. Saya sering berbagi dengan para anggota Subud Tanjakan lainnya, dan terungkap proses kejiwaan mereka kurang lebih sama dengan saya: Berat, seperti mengayuh sepeda di jalan tanjakan dengan menggunakan tenaga sendiri. Bahkan, jika ada malaikat yang membantu mendorong sepeda kami pastilah mereka kelelahan.©2024
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 28 Juni 2024
No comments:
Post a Comment