TIGAPULUH enam tahun lalu, kaki saya menginjak tanah merah di lokasi yang waktu itu lebih tepat disebut tempat jin buang anak. Sebagai mahasiswa baru Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia atau FSUI (tahun 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI atau FIB UI), hasil penerimaan melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) tahun 1987.
Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok waktu itu masih cukup gersang, dengan pepohonan karet tua yang tersebar tidak merata, dikelilingi padang rumput ilalang. “Jalan Tikus”, jalan setapak yang menghubungkan jalan raya di depan Stasiun UI dengan jalan raya di depan kompleks bangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI yang bersisian dengan jalan menuju FSUI, rutin saya lalui. Jalan Tikus diapit ilalang yang lebih tinggi dari badan saya. Saat Kampus UI Depok baru diresmikan, pada 5 September 1987, jalan itu masih dilengkapi lampu-lampu taman yang memberi kenyamanan ketika kami melaluinya malam hari. Tetapi keberadaan lampu-lampu itu tidak bertahan lama; tangan-tangan iseng telah mencabut nyawanya.
Sebagai mahasiswa baru FSUI Angkatan 1987, saya dan rekan-rekan seangkatan lainnya mengikuti Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) yang dalam rangka itu kami diwajibkan membawa bibit tanaman untuk penghijauan kawasan FSUI yang masih tandus kala itu. Saya membawa bibit pohon jambu biji. Entah sekarang sudah setinggi apa pohonnya.
Bangunan-bangunan sarana perkuliahan di lingkungan FSUI saat itu masih ber-AC alam, dengan ventilasi lebar, yang cukup memberi kesejukan seperti halnya AC mesin. Mungkin karena daerah Depok saat itu masih bernuansa pedesaan yang belum ramai penduduknya dan belum ada bangunan tinggi seperti saat ini. Predikat bangunan tertinggi di Depok saat itu masih dipegang oleh gedung Rektorat UI, yang oleh mahasiswa FSUI dijuluki “Columbia” lantaran bentuknya menyerupai pesawat ulang alik NASA dengan nama itu.
Karena kampus baru dan berlokasi di kawasan bekas hutan karet (secara historis, merupakan perkebunan karet yang terbentang dari Mampang di Depok, hingga batas selatan kawasan Menteng di Jakarta Pusat, yang menyediakan bahan baku untuk pabrik sepatu Bata di Kalibata, Jakarta Selatan), tak pelak lagi legenda urban (urban legend) pun merebak santer di antara para mahasiswa. Entah siapa yang menyebarkan ceritanya pertama kali, tapi saudari Subud saya yang alumnus Arkeologi FIB UI Angkatan 2012 menanyakan saya beberapa bulan lalu, “Apakah zaman Mas Arifin di UI sudah ada si Setan Merah?”
Saya mendapat detail di balik legenda hantu perempuan bergaun merah itu dari Babeh, bapak tua Betawi yang membuka warung nasi mungil di ujung Gang Stasiun UI (sekarang Jalan Sawo), di luar pagar besi bercat kuning setelah rel KRL Jakarta-Bogor, yang merupakan tanda batas Kampus UI Depok. Gang Stasiun UI bermuara di timur ke Jl. Raya Margonda. Warung nasi Babeh bertetangga dengan tempat saya kos selama 1992-1993.
Alkisah,
demikian Babeh bertutur, perempuan itu adalah warga Kukusan, Depok, yang ketika
pulang dari pasar malam di tempat yang sekarang berada di dalam Kampus UI
Depok, mengalami pemerkosaan dan kemudian dibunuh. Ketika mengalami kejadian
tragis itu, si perempuan mengenakan gaun merah. Arwahnya pun bergentayangan,
sebagai Hantu Bergaun Merah di lingkungan Anak-anak Jin Berjaket Kuning.©2023
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2023
No comments:
Post a Comment