PADA likuran malam ke-23 Ramadan 1444 H., yang jatuh pada hari Kamis, 13 April 2023, diadakan sarasehan kejiwaan di Pendopo Wisma Indonesia, di Wisma Subud Cilandak, Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan. Temanya masih sama, yaitu tentang manfaat puasa, tetapi pada malam ini tekanannya adalah pada laku prihatin.
Semua hadirin sepakat bahwa puasa merepresentasi laku prihatin dalam pengertian “membatasi diri dari segala kesenangan atau kenikmatan duniawi”. Saya pribadi sebenarnya tidak setuju jika prihatin diletakkan dalam konteks itu. Berbeda dengan arti “prihatin” versi Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu (1) “bersedih hati, waswas, bimbang (karena usahanya gagal, mendapat kesulitan, mengingat akan nasibnya, dan sebagainya)” dan (2) “menahan diri”, kata itu dalam bahasa Jawa mengacu pada “hidup dalam kesederhanaan” serta “hati-hati” (mawas diri).
Di tengah ramainya pelontaran pendapat saat sarasehan kejiwaan itu, saya, yang lebih banyak MLM (merem, lerem, marem), menerima pemahaman bahwa secara etimologis (asal-usul pembentukan kata), kata “perhatian” dalam Bahasa Indonesia adalah ekuivalen dari “prihatin”, atau, sebaliknya, bahwa asal kata “prihatin” adalah “perhatian”.
Dalam tradisi Buddhisme, “perhatian penuh” (mindfulness) adalah landasan dari semadi/meditasi, untuk membiasakan kita hidup di saat ini secara sadar. Dengan kesadaran, apa pun yang kita lakukan selalu disertai mawas diri, agar pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan kita tidak melebihi kapasitas. Dengan begitu, kita dimampukan secara spontan untuk membatasi diri dari kesenangan duniawi tanpa merasa terbebani, malah justru daya nikmatnya bertambah besar dan langgeng.
Menurut apa yang pernah dan sering saya alami, makan makanan dengan kesadaran (atau dengan “perhatian”) akan memberi kita rasa lezat tiada tara, dibandingkan bila kita makan tanpa perhatian sama sekali. Tanpa perhatian yang menumbuhkan kesadaran, makanan hanya lewat mulut kita begitu saja, masuk ke pencernaan, tanpa sensasi yang berkesan kuat. Dengan perhatian, sebaliknya, makanan kita “surgakan” melalui proses memakannya, menghasilkan rasa lezat yang sangat kuat.
Jadi, dalam konteks
tulisan ini, “laku prihatin” membentuk kondisi pembatasan diri dari kesenangan
duniawi yang dengan itu kita memperoleh kenikmatan surgawi. Saya rasa, karena
itu, puasa sejatinya adalah cara Alam membawa kita kepada kebahagiaan yang
hakiki dalam menjalani hidup di dunia ini.©2023
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 14 April 2023
No comments:
Post a Comment