Wednesday, July 27, 2022

Rumus Kepemimpinan

SEMASA kecil, saya bercita-cita menjadi perwira Angkatan Darat yang memimpin pasukan, mengikuti jejak ayah saya. Beliau pun berharap bahwa saya setamat sekolah menengah atas (SMA) akan melanjutkan ke Akademi Militer (Akmil) di Magelang, Jawa Tengah (dahulu dikenal sebagai Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Akabri).

Tetapi cita-cita itu sirna setelah di SMA saya masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan salah satu syarat untuk menjadi taruna Akmil adalah bahwa calon harus berijazah SMA jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan penekanan pada matematika dan fisika. Saat itu, saya mengira bahwa kedua ilmu itu memang prasyarat utama untuk sukses di dunia militer.

Belakangan, saya meragukannya. Saya rasa, mentalitas pemimpin lebih penting dalam memegang komando atas pasukan, dalam mengelola orang banyak sesuai fungsinya masing-masing, dan dalam menjaga kerja tim yang solid. Saya rasa, rumus kepemimpinan pun bukanlah sesuatu yang bersifat matematis.


Yang memastikan bahwa pemikiran saya itu benar adalah kisah hidup seorang jenderal Angkatan Darat Amerika Serikat dalam Perang Dunia Kedua. Courtney Hicks Hodges namanya. Hodges adalah seorang perwira “mustang”, sebutan untuk mereka yang menjadi perwira mulai dari pangkat terbawah, yaitu prajurit. Diterima menjadi kadet (taruna) di salah satu lembaga pendidikan tinggi bergengsi di Amerika Serikat, yaitu Akademi Militer AS (United States Military Academy/USMA) di West Point, New York, pada tahun 1904, Hodges terpaksa dropout setelah setahun lantaran ia kesulitan dalam matakuliah Ilmu Geometri.

Setelah dikeluarkan dari USMA, tidak berarti cita-cita Hodges menjadi tentara lantas surut. Ia sempat bekerja selama satu tahun di sebuah toko kelontong sebelum mendaftar menjadi prajurit di Angkatan Darat AS pada tahun 1906. Karirnya melesat dan pangkatnya dengan cepat naik menjadi sersan, dan pada 1909 ia berhasil lulus ujian masuk sekolah calon perwira. Ia dilantik sebagai Letnan Dua pada tahun yang sama, hanya beberapa bulan setelah rekan-rekan seangkatannya di West Point dilantik sebagai perwira remaja dengan pangkat yang sama.

Pangkat Hodges dinaikkan menjadi letnan kolonel ketika AS terlibat dalam Perang Dunia I dan dengan pangkat itu ia memimpin sebuah batalion infanteri di Prancis. Dari 1920 hingga 1924, ia ditugaskan sebagai staf di West Point, yang ironisnya merupakan akademi militer yang “menendangnya keluar” pada 1905.

Bulan Mei 1941, tujuh bulan sebelum Amerika masuk ke kancah Perang Dunia II, Hodges dipromosikan menjadi mayor jenderal. Tahun 1943, pangkat letnan jenderal telah disandangnya, dan pada 15 April 1945, si kadet USMA yang gagal itu dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal bintang empat. Ia menjadi yang pertama dari dua orang dalam sejarah AD AS yang merintis karir mereka dari prajurit hingga jenderal.

Menurut kesaksian para panglima Sekutu saat itu, termasuk Dwight Eisenhower dan Omar Bradley dari Amerika, serta Bernard Montgomery dari Inggris, Hodges adalah seorang perwira yang low profile, sederhana, pendiam dan cenderung menutup diri. Ia mengedepankan tugas yang diberikan kepadanya dan pasukannya, tidak mengejar citra yang cemerlang sebagaimana Letnan Jenderal George Patton yang flamboyan.

Atasannya, yang juga berpengaruh besar dalam karirnya, Jenderal Bradley, berkata tentang Hodges, “Tidak ada pemimpin lain dan tidak ada unit angkatan bersenjata lainnya dalam Perang Dunia II yang berhak atas penghargaan yang lebih besar daripada yang dimiliki oleh Jenderal Courtney Hicks Hodges yang pendiam dan sederhana dan Pasukan Angkatan Darat Pertamanya (First Army).”

Eisenhower menyebut Hodges sebagai “ujung tombak dan bintang yang cemerlang” dari gerak maju pasukan Amerika ke wilayah Jerman, dan berusaha untuk memastikan bahwa Hodges benar-benar diakui atas pencapaiannya meskipun “ia tampaknya diabaikan oleh wartawan”.

Nama Hodges memang jarang disebut di pemberitaan media massa, padahal prestasinya sebagai perwira senior sangat mengagumkan. Prestasinya ia torehkan bukan dengan rumus-rumus Geometri, melainkan dengan kemampuannya memimpin. Di medan tempur, ia dan pasukan yang dipimpinnya selalu bergeming menghadapi gempuran pasukan Jerman Nazi yang berkekuatan lebih besar.

Hodges menjadi inspirasi bagi anggota pasukannya maupun masyarakat Amerika pada umumnya bahwa satu kegagalan tidak harus menjadi penghambat untuk berusaha mencapai cita-cita. Ia mengafirmasi bahwa ketika kita ada kemauan, saat itulah tersedia jalan.

Pertanyaannya lantas, apakah rumus dari kepemimpinan?

Ada banyak rumus atau teori kepemimpinan, tetapi menurut pengalaman saya kepemimpinan itu hanya bisa mewujud dengan kemurahan Tuhan. Bila kita menyerah (tawakal) kepada pimpinanNya, niscaya kita akan dimampukanNya untuk memimpin orang lain. Dan untuk bisa menyerah, pertama-tama kita harus memimpin diri kita sendiri dulu. Prinsipnya sama dengan mencintai orang lain, memaafkan orang lain, atau rukun dengan orang lain, yaitu dengan belajar mencintai diri sendiri dulu, berdamai dengan diri sendiri dulu, dan rukun dengan diri sendiri dulu.

Menurut apa yang saya lihat dan rasakan, saya tidak bisa memimpin orang lain, kecuali saya dipimpin kekuasaan Tuhan untuk melakukan hal itu. Fakta ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk memimpin. Rumusnya hanya sabar, tawakal dan ikhlas menyerah kepada Tuhan yang pada gilirannya akan memimpin kita.©2022


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 28 Juli 2022 

No comments: