Thursday, March 17, 2022

Kalau Bisa Sulit, Mengapa Harus Mudah?

SAYA bertanya-tanya, siapa sih yang mulai menggagas bahwa pencapaian suatu cita-cita harus dengan usaha yang keras? Apakah itu hukum alam atau kelakuan seseorang yang iseng ngerjain teman atau saudaranya? Saya rasa, kok keinginan apa pun yang kita punya bisa terwujud tanpa perlu ada usaha keras dari pihak kita sendiri. Saya rasa, duduk berpangku tangan dapat “menarik” sesuatu yang kita inginkan agar mendekat ke kita.

Saya melihat pola-pola di dunia ini bahwa sebagian orang suka mempersulit segala sesuatu, yang pada gilirannya akan memberi mereka otoritas, yang dengan itu mereka akan menjadi referensi bagi publik dan dihormati setinggi-tingginya. Mereka hanya butuh popularitas (yang tujuannya tak lain dan tak bukan adalah uang), dan popularitas hanya dimiliki oleh golongan “segelintir” (the few). Agar tidak ada atau berkurang persaingannya, maka sesuatu yang seharusnya mudah harus dibuat sulit. “Kalau bisa sulit, mengapa harus mudah?” demikian prinsip orang-orang yang menyedihkan ini.

Dalam suatu sharing moment, pada 17 Agustus 2017, bertempat di kafe milik seorang saudara Subud di Jl. Caringin Barat, Jakarta Selatan, saya berbagi pengalaman dan pengetahuan yang saya peroleh selama 23 tahun berkiprah di bidang branding kepada saudara-saudara Subud yang berminat. Hadir di antara para peserta satu saudara Subud yang (menurut pengakuannya) memiliki pengalaman pula dalam periklanan sebagaimana saya.

Dalam kesempatan serius tapi santai itu, ditemani steik, camilan, kopi dan aneka minuman segar, saya menyampaikan topik menyangkut ekuitas merek (brand equity), yaitu modal yang harus dimiliki untuk membangun merek (brand building atau branding). Pengalaman selama ini telah mengajarkan saya dan rekan saya sesama praktisi branding berlatarbelakang copywriter (kelak dia juga masuk Subud), bahwa para ahli teori komunikasi dan bisnis telah mempersulit apa yang seharusnya mudah dalam hal membangun merek.

Bersama rekan ini, bertahun-tahun lalu ketika kami bekerja di sebuah biro iklan papan atas di Surabaya, Jawa Timur, kami menyederhanakan teori ekuitas merek menjadi sesuatu yang akan mudah dipahami oleh orang awam atau para pemula. Kami rumuskan teorinya dengan suatu akronim yang terkesan iseng: NAKAL.

NAKAL itu singkatan dari Nama (bahwa produk yang akan dibangun mereknya harus memiliki nama yang mudah diingat dan diucapkan), Awareness (bahwa produk harus disadari eksistensinya oleh calon konsumen), Kualitas yang dipersepsikan (bahwa produk harus memiliki keistimewaan yang membuatnya berbeda dari pesaingnya), Asosiasi (agar produk mudah diingat oleh konsumen, ia harus diasosiasikan/dikaitkan dengan sesuatu yang merupakan tren massal), dan Loyalitas (bahwa produk harus mempertahankan kesetiaan konsumen terhadapnya).

Di tiap aspek dari NAKAL, saya beri contoh-contoh nyata dari kehidupan manusia, tidak melulu terkait dengan pemasaran produk. Bahkan, menurut saya, branding adalah cerminan hidup manusia sejak lahir hingga menjadi dewasa, sehingga dalam seminar-seminar branding yang saya berikan, saya selalu mengajak peserta untuk bercermin pada perjalanan hidupnya sendiri.

Di sesi tanya-jawab, saudara Subud yang merasa berpengalaman dan lebih ahli dari saya menyanggah saya dan seolah menegaskan kepada para peserta, “Nggak segampang itu ya! Ada tahap-tahap yang rumit. Kamu harus riset, harus ini, harus itu. Branding bukan hal yang mudah!” (Ketika sharing moment itu selesai, di parkiran motor, saudara Subud itu berbisik ke saya, memperingatkan saya agar jangan memberi gambaran ke para peserta bahwa branding itu mudah.)

Pada saat itu, saya langsung merasa, itu orang sedang mempertahankan otoritasnya. Ia tidak mau bidang keahliannya dianggap mudah hingga semua orang bisa mengaksesnya, dan dengan begitu ia tidak lagi memiliki otoritas. Hal itu wajar; dalam pemasaran, kita memang harus berjuang agar produk kita “keluar dari kerumunan”, harus unggul di atas yang lain, harus menjadi satu-satunya yang dicari.

Hal ini juga berlaku dalam bidang-bidang kehidupan lainnya. Agama, misalnya, meski nabi yang mengajarkannya telah sering mengatakan bahwa agama yang dibawanya adalah “mudah” (hanya perlu berbuat baik dan jujur), tak pelak oleh para pengikutnya di generasi yang pertama dan berikutnya dipersulit dengan ajaran-ajaran dan ritual-ritual yang tidak murni berasal dari nabi yang membawa agama tersebut pada awalnya.

Dengan ajaran yang dipersulit, agama tersebut menjadi terbatas aksesnya, sehingga golongan yang dapat mengaksesnya akan memiliki otoritas hingga aras yang membuat mereka berkuasa melampaui kekuasaan Tuhan. Inilah yang menjelaskan, setidaknya bagi saya, mengapa agama acap bersentuhan erat dengan politik—karena ada oknum yang bernafsu akan kekuasaan sekaligus dianggap saleh!

Satu saudara Subud, yang pernah magang di biro iklan tempat saya menjadi freelance copywriter, bertanya ke saya, apakah dengan royal berbagi pengetahuan berdasarkan pengalaman saya kepada banyak orang, tanpa bayaran, saya tidak takut kehilangan otoritas dalam bidang saya?

Saya katakan kepadanya bahwa saya sepenuhnya berserah diri kepada Otoritas Tertinggi, yang maha mengatur rezeki bagi hambaNya. Saya katakan juga kepadanya bahwa pengetahuan saya justru bertambah dengan sering-sering membaginya, karena saya menyadari bangsa Indonesia tengah dicengkeram keadaan “darurat membaca”, sehingga mereka yang rajin membaca, mencari informasi dan rajin membaginya kepada orang lain akan terus dipandang sebagai otoritas di bidangnya. Inilah rahasia sukses saya: Berbagilah, maka Anda akan menerima lebih banyak.©2022

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Maret 2022 

No comments: